Oleh: Najmah Saiidah
Suaramubalighah.com, Opini — Perbincangan tentang hubungan nonmuslim dan muslim dalam pandangan Islam, kembali muncul. Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Afifuddin Muhajir menyebutkan bahwa dasar hubungan antara muslim dan nonmuslim bukanlah konflik.
“Dasar atau prinsip dari relasi muslim dengan nonmuslim yang ditetapkan syariat adalah damai dan toleran sesuai prinsip maqashidusy-syar’iyyah,” ujar Kiai Afif dalam Muktamar I Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya (06/02/2023).
Kiai Afif menjelaskan, perdamaian itu dibangun atas dasar ajaran Islam yang mengharuskan umat Islam untuk memenuhi akad atau kontrak sosial politik damai. “Pemenuhan akad dijelaskan banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis. Semua dalil itu menunjukkan bahwa Islam mewajibkan umat Islam memenuhi akad meski terhadap orang kafir,” kata Kiai Afif. Ia menambahkan, tujuan pemenuhan kontrak sosial politik adalah menciptakan perdamaian dan pemenuhan hak-hak manusia. (satuharapan[dot]com).
Jika kita memperhatikan sepintas, apa yang disampaikan Kiai Afif tidak ada yang salah. Akan tetapi, jika kita mendetailkan maksud dari “damai atau perdamaian”, ada hal penting yang harus kita cermati. Ini karena makna “damai atau perdamaian” yang saat ini banyak diusung, justru mengesampingkan hukum Islam yang seharusnya dijadikan sebagai pijakan. Oleh karenanya, perlu adanya penjelasan terperinci mengenai hal ini dari kalangan para ulama muktabar, para ulama yang lurus yang diakui menurut pandangan Islam.
Tuntunan Islam tentang Hubungan Muslim dan Nonmuslim
Sesungguhnya, Islam telah sangat detail menjelaskan tentang siapa saja yang terkategori kafir, sekaligus membahas dengan detail pula tentang cara muamalah kaum muslim.
Tidak dimungkiri, berbagai istilah, seperti kafir harbi, musta’min, ataupun ahl adz-dzimmah, merupakan istilah yang kurang dikenal umat Islam sekarang. Padahal, ini merupakan hal penting yang harus dipahami oleh seorang muslim. Di sinilah pentingnya kita membahas tentang siapa sajakah yang terkategori kafir dan bagaimana muamalah terhadap mereka?
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-lslamiyyah juz 2 menjelaskan dengan terperinci tentang pembagian kaum kafir, serta perlakuan negara Khilafah (Daulah) dan umat Islam terhadap mereka.
Kaum kafir terbagi menjadi dua, yakni kafir harbi dan ahl adz-dzimmah (kafir zimmi). Kafir harbi terbagi lagi menjadi dua, yakni fi’lan dan hukman. Akan tetapi, hanya kafir harbi hukman yang bisa bekerja sama dengan kaum muslim dan itu pun tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah Taala.
Selanjutnya, dari sini akan muncul sebutan kafir mu’ahid dan musta’min. Seperti apa gambarannya? Bagaimana pula pengaturan Islam terkait muamalah Daulah dengan negara-negara kafir tersebut?
Perjanjian dengan Daulah
Ketika Daulah mengadakan perjanjian dengan negara kafir, warga negaranya disebut kaum mu’ahidin. Negara ini disebut ad-daulah al-mu’ahidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan Daulah).
Istilah lain kafir mu’ahid sebagaimana disebut oleh Al-Qayyim dalam Ahkam Ahl Adz-Dzimmah adalah ahl al-hudnah atau ahl ash-shulh. Orang yang tergolong mu’ahid ini tergolong kafir harbi hukman. Ini karena ketika perjanjian dengan Daulah berakhir, ia akan kembali menjadi kafir harbi sebagaimana kafir harbi lainnya, yakni yang negaranya tidak terikat perjanjian dengan Daulah.
Hubungan umat Islam dengan kafir harbi hukman didasarkan pada yang terkandung dalam teks-teks perjanjian. Hanya saja, dalam interaksi ekonomi, umat Islam (atau Daulah) tidak boleh menjual senjata atau sarana militer kepada kafir harbi hukman jika hal itu dapat memperkuat kemampuan militer mereka untuk mampu mengalahkan umat Islam. Jika tidak sampai tingkat tersebut, umat Islam boleh menjual senjata kepada mereka, khususnya ketika Daulah telah mampu memproduksi berbagai persenjataan militer dan menjualnya ke luar negeri sebagaimana dilakukan negara-negara adidaya saat ini.
Akan tetapi, jika dalam perjanjian ada pasal yang membolehkan penjualan senjata yang dapat memperkuat kemampuan militer kaum kafir harbi hukman—sehingga mereka mampu mengalahkan umat Islam—, pasal itu pun tidak boleh dilaksanakan. Pasal tersebut bertentangan dengan tuntunan syariat dan setiap syarat yang bertentangan dengan syariat adalah batal dan tidak boleh dijalankan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah juz 2).
Adapun kafir harbi haqiqatan adalah warga negara atau negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan Daulah. Negaranya disebut ad–daulah al-kâfirah ál-hárbiyàh (negara kafir harbi yang memerangi umat Islam).
Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, ia disebut ad-daulah al-kafirah al-harbiyah al-muharibah bi al-fi’li. Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam, ia terkategori ad-daulah al-kâfirah al-harbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah juz 2).
Perbedaan hukum di antara keduanya adalah jika suatu negara kafir masuk kategori pertama, asas interaksinya adalah interaksi perang; tidak boleh ada perjanjian apa pun dengannya. Perjanjian hanya boleh ada setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warga negaranya tidak diizinkan masuk ke wilayah Daulah, kecuali jika ia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam) atau untuk menjadi zimmi dalam naungan Daulah.
Warga negara dari negara kafir yang tetap memaksa masuk ke Daulah selain untuk tujuan tersebut, maka jiwa dan hartanya halal, boleh dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil. Sebaliknya, jika termasuk kategori kedua, yaitu tidak sedang berperang dengan umat Islam, Daulah boleh mengadakan perjanjian dengannya, misalnya perjanjian dagang, perjanjian bertetangga baik, dan sebagainya.
Warga negara tersebut juga mendapat izin masuk ke Daulah untuk berdagang, berekreasi, berobat, belajar, dan lain-lain. Jiwa dan hartanya tidak halal dan tidak boleh diganggu. Namun, jika warga negara tersebut masuk secara liar, hukumnya sama dengan warga negara yang sedang berperang dengan umat Islam, yakni jiwa dan hartanya halal. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah juz 2).
Sedangkan musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman). Kafir harbi yang meminta perlindungan boleh masuk ke dalam wilayah Daulah. Rasulullah saw. pernah memberikan jaminan keamanan kepada kaum kafir pada saat Futuhat Makkah. Beliau saw. bersabda, “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka berarti ia aman.” (HR Muslim).
Mereka diperkenankan tinggal di dalam Daulah maksimal setahun. Setelah genap setahun, ia akan diberi pilihan, mau tetap tinggal dengan membayar jizyah ataukah keluar dari Daulah? Jika ia membayar jizyah, ia menjadi ahl adz-dzimah atau warga negara Daulah. Jika ia keluar menjelang akhir tahun, ia tidak wajib membayar jizyah.
Kelompok kafir berikutnya adalah ahl adz-dzimmah atau zimmi. Mereka adalah setiap nonmuslim dan menjadi rakyat Daulah. Wajib atas ahl adz-dzimmah membayar jizyah dan tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam.
Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman, “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, ia tidak boleh dipaksa meninggalkannya dan wajib atasnya jizyah.” (HR Abu Ubaid).
Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, baik bukan Yahudi maupun bukan Nasrani. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan mereka, hanya saja tidak diperkenankan untuk menyiarkannya.
Boleh pula terjadi muamalah antara umat Islam dan ahl adz-dzimmah dalam berbagai bentuknya, seperti jual beli, sewa-menyewa (ijarah), syirkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. telah melakukan muamalah dengan seorang Yahudi di Tanah Khaybar, yakni si Yahudi mendapatkan separuh dari hasil panen kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan, hukum Islam semata yang wajib diterapkan, tidak boleh menerapkan selainnya.
Demikianlah pengaturan Islam terkait hubungan muslim dan nonmuslim ataupun Daulah dan negara kafir.
Benarkah Dasar Hubungan Muslim dan Nonmuslim Adalah Perdamaian?
Dengan begitu, penjelasan Kiai Afif terkait adanya hubungan muslim dan nonmuslim adalah benar adanya; mengharuskan umat Islam untuk memenuhi akad perjanjian atau kontrak sosial politik juga benar adanya.
Benar pula bahwa Islam mengatur hubungan muslim dan nonmuslim sesuai prinsip maqashidusy-syar’iyyah. Demikian halnya perjanjian antara Daulah dan negara kafir, harus memenuhi akad-akad yang telah disepakati kedua belah pihak dan tidak boleh menyalahinya.
Hanya saja, harus dipahami bahwa dasar hubungan muslim dan nonmuslim ini bukanlah prinsip damai dan toleransi, apalagi hak asasi manusia—sebagaimana dipahami dalam konsep Islam moderat yang cenderung pada toleransi kebablasan.
Dasar hubungan keduanya merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah Taala yang dilandasi akidah Islam dan bertujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Pelaksanaannya juga wajib sesuai syariat Islam. Terkait urusan ini, Islam telah membebankan tanggung jawabnya kepada seorang khalifah sebagai raa’in (pengurus umat). “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Jika kita mengkaji pemaparan sebelumnya, begitu jelas bahwa Islam mengatur muamalah muslim atau Daulah dengan nonmuslim. Daulah boleh melakukan perjanjian damai, bertetangga baik, perjanjian dagang dan ekonomi, dll. yang mendukung kepentingan penyebaran dakwah Islam dengan syarat-syarat yang diakui oleh Islam.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa di antara syarat-syarat tersebut adalah perjanjian tersebut dibatasi jangka waktunya, tidak menguatkan posisi negara kafir yang pada akhirnya akan menguasai Daulah, memberikan kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslim, dan sebagainya. Jika perjanjian ini tidak memberikan kemaslahatan bagi umat Islam, sebaiknya khalifah tidak mengadakan perjanjian damai dengan mereka.
Allah SWT berfirman dalam QS Muhammad: 35, “Maka janganlah kamu lemah dan mengajak damai karena kamulah yang lebih unggul dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia tidak akan mengurangi segala amalmu.”
Artinya, jika tidak memenuhi syarat yang diakui Islam, batallah perjanjian tersebut. Ini karena setiap perjanjian yang bertentangan dengan Islam otomatis batal meskipun diridai dan disetujui oleh khalifah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Syarat apa pun yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal.”
Ketika Daulah sudah melakukan perjanjian dengan negara kafir, keduanya harus memenuhi apa pun yang terdapat di dalam klausul perjanjian. Jika ada yang melanggar, batallah perjanjian tersebut dan status negara kafir tersebut kembali menjadi kafir harbi.
Demikianlah, betapa terperincinya Islam mengatur mengenai cara bertetangga baik, serta bekerja sama dan mengadakan perjanjian dengan negara kafir. Bukan dengan sembarang kafir, hanya kafir musta’min dan muahid yang diperkenankan, sedangkan kafir muharibah fi’lan tidak diperkenankan. Perjanjian yang terjadi pun bukan didasarkan pada perdamaian atau HAM, melainkan dilandasi aturan Islam dan siapa pun tidak boleh menyalahinya. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]