Hafshah Binti Sirin: Sang Penjaga Sumber Hukum Islam

Oleh: Marni Rosmiati

Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif – Kedudukan seorang budak atau hamba sahaya mungkin adalah posisi yang dianggap rendah di  pandangan manusia. Sistem perbudakan sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhaj Al-Muslim menyebutkan bahwa masa lalu seseorang bisa menjadi budak karena tiga kondisi yaitu perang, kefakiran, dan perampokan/pembajakan.

Jika terjadi perang maka kelompok yang menang akan menjadikan kelompok yang kalah sebagai budak. Kefakiran dapat memaksa terjadi perbudakan melalui perdagangan manusia. Begitu pula dengan perampokan dan pembajakan, orang yang merampok atau membajak dapat menjadikan korbannya sebagai budak.

Islam datang mengatur perbudakan. Bahkan Islam memberikan pahala yang besar bagi mereka yang membebaskan budak. Rasulullah saw. bersabda: “Tiga golongan akan diberi pahala dua kali lipat. Pertama, orang-orang ahli kitab yang beriman kepada nabinya kemudian bertemu dengan Nabi saw., maka ia beriman kepadanya, mengikutinya, dan membenarkannya, maka ia mendapat dua pahala. Kedua, seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya, maka ia mendapat dua pahala. Dan ketiga, seorang laki-laki yang memiliki budak wanita, kemudian dia memberikan makanan, pendidikan, dan pelajaran yang baik, kemudian dia membebaskannya dan menikahinya, kemudian dia mendapat dua pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sehingga tidak mengherankan di masa Islam meskipun berlatar belakang budak tapi banyak dari mereka menjadi orang-orang hebat dan mulia di mata Allah. Salah satunya adalah Hafshah binti Sirin. Ayahnya seorang budak, namun beliau adalah ulama perempuan dari kalangan tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis.

Di masa kekhilafahan Utsman bin Affan, Hafshah lahir pada tahun 31 Hijriyah. Ayah Hafshah seorang budak milik sahabat Anas bin Malik ra. yang telah dibebaskan. Awalnya Sirin, ayahnya Hafshah, dijual kepada Khalid bin Walid ra.. Kemudian Khalid menjualnya kepada sahabat Anas bin Malik sebagai balas budi atas kebaikan Anas. Kemudian Anas membebaskan Sirin dan memperbolehkannya kembali kepada keluarganya.

Ibunya Hafshah bernama Shafiyyah. Shafiyyah seorang ulama terkemuka pada saat itu. Shafiyyah mumpuni dalam ilmu Islam didapat dari sahabat Abu Bakar ra., karena dulu Shafiyyah pernah menjadi budaknya Abu Bakar. Saat Abu Bakar telah wafat, Shafiyyah melanjutkan belajarnya kepada Aisyah ra., putri Abu Bakar. Dengan tekun Shafiyyah berhasil mewariskan ilmunya kepada putrinya yaitu Hafshah.

Usia 12 tahun, Hafshah mampu menghafal Al-Qur’an bahkan menguasai semua qira’at. Kecerdasan dan ketekunan beliau sama seperti ibunya, Shafiyyah. Kehausannya kepada ilmu tak pernah surut, beliau kemudian memulai untuk belajar hadis.

Dalam kitab Tahdzib Al-Kamal dikisahkan bahwa ada seseorang bernama Iyas bin Muawwiyah pernah berkata tentang Hafshah. Iyas mengatakan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan yang lebih ia sukai kecuali Hafshah. Iyas mengagumi keilmuan Hafshah di bidang hadis.

Begitu pun dengan Hasan Al-Basri yang mengungkapkan kesukaan atau kekagumannya kepada Hafshah. Bukan hanya dari sisi ilmu hadisnya, tetapi juga dari sisi hafalan Al-Qur’an serta mampu menguasai semua qira’at. Selanjutnya apresiasi lainnya datang dari Ibnu Hibban pada kitab Al-Tsiqat. Ibnu Hibban mengakui bahwa Hafshah adalah seorang muhaddisin perempuan sekaligus ahli di bidang hukum.

Kemudian pendapat lain datang dari seorang mufasir perempuan yang bernama Zainab binti Yunus. Ia pernah mengutip ucapan syekh Muhammad Akram Nadwi tentang Hafshah yang ditulis pada kitabnya yang berjudul Al-Muhaddits.

Sepeti ini, meskipun Hafshah terlahir dari orang tua sebagai budak, justru Hafshah binti Sirin ini memanfaatkan keadaannya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Sehingga menjadi salah satu ulama terpenting pada masanya.

Hafshah tinggal di Basra, aktivitasnya ialah mengatur dan mengisi halaqah untuk siswa-siswanya yang jumlahnya banyak. Karena pengetahuannya yang mendalam tentang Al-Qur’an, hadis, serta aspek praktis hukum Islam, menjadikan ia memiliki murid yang banyak. Bahkan muridnya tidak hanya kaum perempuan, akan tetapi juga kaum laki-laki.

Ummu Athiyyah, Abu Al-‘Aliya, dan Salman bin Amir adalah beberapa murid Hafshah yang juga dikenal sebagai ahli hadis. Mereka semua melanjutkan jejak Hafshah dengan turut menyebarkan keilmuan tentang hadis.

Hafshah memiliki musala khusus di dekat rumahnya. Beliau akan masuk ke musala itu saat salat Zuhur dan tidak keluar lagi hingga subuh esok harinya. Seusai salat Subuh, Hafshah tidak langsung meninggalkan musala, tetapi beliau menunaikan salat Duha terlebih dahulu baru kemudian keluar musala untuk menyelesaikan berbagai urusannya. Menurut sebuah riwayat, hal tersebut hampir tak pernah ia tinggalkan selama 30 tahun.

Tak hanya salat, Hafshah juga adalah hamba Allah yang rutin berpuasa. Diriwayatkan bahwa dirinya berpuasa selama setahun penuh kecuali pada hari-hari yang diharamkan berpuasa. Hafshah juga senantiasa menghiasi malam-malamnya dengan membaca paling sedikit setengah Al-Qur’an.

Ketakwaannya kepada Allah membuat Hafshah telah menyiapkan kain kafan untuknya. Kain tersebut akan dipakai saat dirinya melaksanakan ibadah haji atau berihram. Hafshah juga akan memakai kain tersebut pada saat beribadah di 10 hari terakhir Ramadan. Hal tersebut dilakukan salah satunya untuk mengingat kematian yang bisa datang kapan saja. Dengan mengingat kematian beliau dapat dengan tulus mengharap ampunan dan rida Allah.

Selain dikenal akan ahli ibadah, penguasaannya terhadap penggalian hukum Islam menjadikan Hafshah sosok yang sering kali dimintai pendapat mengenai sebuah permasalahan. Saudaranya, Muhammad bin Sirin pernah ditanyai mengenai suatu hal oleh muridnya, namun ia kesulitan dalam mengambil keputusan. Muhammad pun meminta muridnya untuk datang dan menanyai Hafshah. “Pergilah kalian kepada Hafshah. Bertanyalah kepadanya bagaimana dia mengkajinya (masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an). Sebab, ia bagaikan orang yang telah meminum bahtera keilmuwan yang ada dalam Al-Qur’an,” kata Muhammad bin Sirin.

Banyak sekali buah pikiran atau perkataan Hafshah yang sangat peduli terhadap pendidikan, tak terkecuali untuk para pemuda. Beliau senantiasa mengingatkan kepada muridnya bahwa pengetahuan itu untuk laki-laki maupun perempuan, tidak ada perbedaan dalam Islam terkait menuntut ilmu.

Salah satu perkataan Hafshah lainnya yang paling terkenal adalah pesannya bagi para pemuda agar memanfaatkan masa muda mereka dengan beribadah. “Wahai para pemuda, manfaatkanlah masa mudamu. Sesungguhnya aku tidak melihat amal perbuatan (yang dapat dikerjakan dengan baik) kecuali di masa muda,” katanya.

Semangat, kepedulian, dan kesungguhan Hafshah dalam mempelajari, mengamalkan, menggali, dan mengajarkan Al-Qur’an, hadis, dan hukum-hukum Islam, sungguh menjadi inspirasi bagi kita semua. Semoga kita semua bisa melanjutkan perjuangan Hafshah dalam membumikan Al-Qur’an dan hadis untuk senantiasa menjadi pedoman dan sumber hukum bagi umat, tak digantikan dengan yang lain. Apalagi dengan kesepakatan buatan manusia seperti Piagam PBB misalnya. Sungguh kebodohan yang nyata memosisikan piagam PBB sebagai sumber hukum Islam.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]