Lomba Melamun: Kapitalisasi Masyarakat Sakit

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini — Melamun merupakan kondisi saat terputusnya pikiran seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Dimana kontak seseorang menjadi kabur dan sebagian digantikan dengan khayalan visual, khususnya khayalan mengenai hal-hal yang menyenangkan, harapan atau ambisi, yang dialami ketika kondisi terjaga.

Sebenarnya melamun merupakan kegiatan yang tidak bermanfaat dan hanya menguras waktu dan pikiran seseorang. Namun di Korea Selatan sekitar tahun 2014, justru melamun dijadikan lomba. Karena dianggap sebagai solusi dari persoalan yang sedang dihadapi oleh rakyat Korea yang mengalami banyak tekanan sosial. Lomba ini dikenal dengan sebutan kompetisi Space Out (Perlombaan Melamun), kemudian viral di tahun 2021 dan akhirnya menjadi event tahunan hingga sekarang. (kompas.com, 09/06/2021)

Dan kini, lomba ini diadaptasi di Indonesia oleh Jinju Academy, sebuah tempat kursus bahasa Korea yang ada di Solo, Jawa Tengah. Menurut admin Jinju Academy, kegiatan ini merupakan salah satu cara dalam mempromosikan tempat kursusnya. (kompas.com, 24/02/2023)

Dan ironinya lomba ini, kini menjadi viral dan mulai diikuti oleh beberpa manajemen event di Indonesia. Dan tampak mulai menjamur ke berbagai wilayah di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada apa dengan lomba melamun?

Munculnya Fenomena Lomba Melamun

Kompetisi Space Out (Perlombaan Melamun) di Korea Selatan, berawal dari bentuk penolakan masyarakat Korea Selatan terhadap kondisi sosial mereka. Yang disebabkan oleh pergeseran pola kehidupan masyarakat akibat diterapkan sistem kapitalisme. Sistem ini telah menciptakan pola kehidupan yang serba cepat dan penuh dengan persaingan. Sehingga hal ini berdampak pada pola kehidupan masyarakat yang hidup penuh dengan tekanan.

Budaya kompetitif melahirkan obsesi, gaya hidup materialistik, dan konsumerisme yang berdampak pada sistem kehidupan sosial di masyarakat Korea Selatan. Kehidupan mereka rentan mengalami depresi. Karena tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi ditambah jumlah pensiun dini yang meningkat. Bahkan angka perceraian dan gangguan kesehatan juga kian memburuk. Hal inilah yang telah mendorong masyarakat Korea Selatan mengalami stres, depresi, hingga berpengaruh pada tingkat kriminalitas dan bunuh diri yang sangat tinggi.

Sebab, menurut laporan Statistik Korea pada tahun 2022, yang dikutip dari Korea Joong Ang Daily, satu dari tiga warga Korea menderita isolasi sosial dan merasa kesepian. Sekitar 34,1 persen warga Korea mengalami kesulitan menemukan dukungan mental. Angka itu naik 6,4 poin persentase dari 2019. Bahkan sekitar 27,2 persen warga Korea saat disurvei, mereka menjawab bahwa mereka tidak memiliki siapa pun yang dapat mereka mintai bantuan ketika mereka sakit. Dan tidak memiliki siapa pun untuk diajak bicara ketika mereka merasa stres. 

Inilah realitas kerusakan masyarakat modern di Korea Selatan yang telah menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-sekuler. Agar dapat mewujudkan keinginan, harapan, dan istirahat saja, mereka membutuhkan ketenangan dengan cara melamun. Dan menjadikan melamun sebagai healing (sarana penyembuhan) untuk membebaskan diri dari tekanan kehidupan sosial masyarakatnya. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Secara kultur sosial, Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan. Sistem kapitalisme-sekuler juga telah diterapkan di negeri ini. Sehingga dalam beberapa kasus negeri ini cenderung menjadi pembebek terutama kalangan generasi muda. Kebudayaan yang berasal dari asing maupun aseng telah menjadi role model dalam sistem kehidupan. Termasuk di antaranya adalah demam “korean wave“. Masyarakat Indonesia telah terpengaruh oleh paham liberalisme sehingga karakter masyarakat yang individualis juga tampak nyata di tengah-tengah masyarakat.

Demikian pula dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi oleh negara ini juga telah menciptakan realitas kehidupan kapitalistik yang kian berat. Hampir di seluruh wilayah negeri ini, masyarakat mengalami tingkat kesulitan hidup dan persaingan dalam mendapatkan pekerjaan semakin kompetitif. Contohnya dalam hal biaya kehidupan juga sangat mahal, kemiskinan dan pengangguran telah menjadi penyebab tingkat stres di masyarakat yang mengalami kenaikan secara signifikan.

Jadi tidaklah mengherankan jika dampak dari kondisi ini, karakter masyarakat negeri ini menjadi pragmatis dan cenderung pembebek terhadap tradisi dan budaya Barat baik asing maupun aseng.

Fakta dan Dampak Aktivitas Melamun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melamun diartikan sebagai sebuah keadaan saat kita termenung sambil pikiran melayang ke mana-mana.  Menurut beberapa ahli, aktivitas melamun memiliki dampak positif untuk kesehatan. Melamun memiliki efek relaksasi yang akan membantu otak dalam memecahkan masalah. Sehingga akan memaksimalkan bagian otak untuk meningkatkan kreativitas. Apakah benar melamun berdampak positif? Ini fakta atau mitos?

Faktanya, aktivitas melamun menurut Eli Somer seorang profesor psikologi, melamun bisa membentuk karakter seseorang pada perilaku disosiasi ringan sampai pada maladiptif. Itu artinya bahwa fakta melamun lebih banyak mudaratnya dibandingkan pada dampak positifnya. Sebab perilaku disosiasi ringan adalah perilaku seseorang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan keadaan sekitarnya secara wajar.

Bahkan di dalam jurnal Culture, Medicine, and Psychiatry (2008), dijelaskan bahwa disosiasi  psikologis merupakan perubahan kesadaran secara tiba-tiba yang menyugesti ingatan dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak dapat mengingat berbagai kejadian pribadi yang sangat penting, baik sesaat atau selama beberapa saat. Penderita akan lupa pada identitasnya dan akan membentuk identitas baru. Itu berarti bahwa perilaku seseorang yang biasa melamun akan berdampak pada gangguan memori, kesadaran diri, identitas, dan lingkungan bagi pengidapnya.

Terlebih lagi ketika aktivitas melamun pelaku sudah berada pada tingkatan maladiptif, hal ini lebih berbahaya. Karena maladiptif merupakan gejala seseorang atau sebagian orang yang mengalami perasaan “terputus” dari diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Maka secara umum aktivitas melamun jika terus dibiarkan akan meningkat pada fase akut. Sehingga akan menyebabkan pelaku mengalami gejala gangguan mental.

Jika faktanya demikian, masihkah lomba melamun akan terus diselenggarakan di tengah-tengah masyarakat negeri ini, lalu di mana peran negara?

Butuh Solusi Sempurna: Islam Solusinya

Tekanan kehidupan yang muncul dari penerapan sistem ekonomi kapitalis-sekuler dan liberal telah menciptakan ruang dan iklim persaingan yang sangat ketat. Mengubah nilai dan tujuan kehidupan masyarakat pada standardisasi materialistik. Namun demikian, aktivitas melamun bukanlah solusi yang tepat.

Aktivitas melamun hanya solusi pragmatis yang tidak dapat menyelesaikan persoalan kehidupan bahkan dapat memicu persoalan baru yang lebih berbahaya. Aktivitas melamun dalam Islam dianggap sebagai aktivitas sia-sia. Oleh karena itu, aktivitas melamun harus diganti dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Karena Allah dan Rasul-Nya telah mencela sifat panjang angan-angan (melamun). Di dalam Al-Qur’an Al-Karim, Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Janganlah kalian seperti orang-orang yang telah diberikan kitab (Ahlul Kitab) sebelumnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka sehingga rusak hati mereka. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid: 16)

Kemudian di dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Solusi mendasar mengatasi segala macam tekanan hidup adalah menguatkan keimanan yang lahir dari proses berpikir sehingga terbentuk pola pikir Islam berlandaskan akidah Islam, kemudian pola sikapnya pun senantiasa terikat dengan syariat Islam. Sebab, dalam kehidupan sosial manusia, agama tak bisa dipisahkan. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT berarti mempunyai naluri beragama. Dalam QS Ar-Ra’d ayat 28 disebutkan, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya  dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Masyarakat didorong untuk peduli dengan amar makruf nahi mungkar sebagai wujud kasih sayang sesama manusia, membantu kesulitan sesama. Dan peran negara sangat penting dalam menjaga keimanan dan kewarasan rakyatnya dengan menerapkan sistem Islam yang kaffah guna mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman.

Khatimah

Maka dari sini tampak semakin nyata bahwa lomba melamun sejatinya merupakan bagian dari upaya kapitalisasi masyarakat sebagai solusi tambal sulam sistem kapitalisme-sekuler. Oleh karena itu, sudah selayaknya negeri ini mulai berbenah. Negara harus berperan untuk menjauhkan masyarakat dan generasi dari setiap aktivitas yang akan menyebabkan pada kerusakan. Sudah saatnya sistem kapitalisme ini dicampakkan dan diganti dengan sistem yang sempurna yaitu sistem Islam kaffah. Dan sistem ini hanya dapat diterapkan oleh negara Khilafah Islamiyah.

Karena hanya melalui Khilafah dan penerapan syariat secara kaffah, mental masyarakat akan terjaga kesehatannya. Selain itu penerapan syariat dan Khilafah juga merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslim dan termasuk hak Allah SWT yang harus segera ditunaikan. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, kesejahteraan dan keselamatan masyarakat akan terjamin di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]