Oleh: Siti Murlina, S.Ag.
Suaramubalighah.com, Opini — Dewan Masjid Indonesia (DMI) meminta agar semua masjid, musala, langgar, dan surau harus steril dari tarik-menarik kepentingan politik saat memasuki bulan Ramadan 1444 H/ 2023. Hal itu tertuang di surat edaran nomor 030.D/III/SE/PP-DMI/II/2023 tanggal 5 Februari 2023 yang ditandatangani oleh Ketum DMI Jusuf Kalla dan Sekjen DMI Imam Addaquruni. (tempo.co, 26/02/2023)
Dan pada kesempatan yang lain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut bahwa masjid dan pesantren tidak boleh dipakai sebagai sarana berpolitik.
“Mari kita bahas ini agar jangan dikatakan pesantren itu tidak boleh politik. Boleh. Di masjid tidak boleh berpolitik, boleh! Tapi politik apa dulu?” ungkap Mahfud dalam acara pembukaan Halaqoh Nasional Alim Ulama MP3I di kawasan Slipi. (detik.com, 24/02/2023)
Lebih lanjut, ia mengatakan boleh untuk politik inspiratif (kebangsaan) yaitu upaya memengaruhi politik kebijakan agar pemerintah dan negara berjalan dengan baik. Untuk politik praktis tidak boleh dilakukan, kaitannya dengan ajakan atau larangan memilih kandidat tertentu dalam pemilu.
Menyikapi fakta dan pernyataan di atas menjelang pemilu 2024, muncul kekhawatiran penggunaan masjid yang kerap dijadikan sebagai tempat politik praktis bagi para caleg maupun capres. Dan kekhawatiran muncul terpecah belahnya umat.
Merupakan suatu keniscayaan dalam negara demokrasi, dalam pemilihan wakil-wakilnya di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara langsung menjadikan sekularisme sebagai jalan hidup (way of life). Mereka membatasi tempat ibadah hanya untuk mengatur urusan privat manusia dengan penciptanya. Sementara itu, di ruang publik, peran agama dihilangkan atau dijadikan sebagai spirit dan formalitas belaka.
Juga merasa miris, dengan pernyataan yang disampaikan oleh para tokoh Islam atau pejabat muslim yang notabene dianggap sebagai simbol mewakili (representasi) suara umat Islam. Tentu saja pendapat atau pernyataan mereka akan berpengaruh bagi pengikutnya dan umat.
Terlebih ketika akan memasuki bulan Ramadhan 1444 H/2023 ini, bersamaan memasuki tahun-tahun politik yang makin memanas menjelang pemilu 2024. Mereka sering menyampaikan berbagai pandangan yang justru membingungkan umat dan bukan tidak mungkin akan memicu konflik di internal umat.
Sadar atau tidak, mereka telah membonsai dan memenjarakan Islam dalam ranah ibadah mahdhah semata. Padahal, Islam adalah sebuah mabda atau way of life yang mengatur urusan ibadah mahdhah juga urusan masyarakat dan negara. Dengan kata lain, akidah Islam adalah akidah ruhiyah dan siyasah.
Mereka telah memisahkan akidah ruhiyah dan siyasah, serta berupaya memunculkan salah paham dan mengaburkan (bias/ ambiguitas) tentang makna politik dan masjid di tengah umat. Berarti secara perlahan dan pasti mereka makin menjauhkan umat dari politik Islam. Lalu kekhawatiran terpecah belahnya umat akibat masjid dijadikan tempat berpolitik muncul karena lemahnya pemahaman umat akan politik itu sendiri.
Islam mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk permasalahan politik atau dikenal dengan siyasah. Berdasar terminologi, siyasah berarti mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Secara asal-usul kata, siyasah mempunyai makna yang berhubungan dengan negara dan kekuasaan.
Rasulullah saw. sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhum al-anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memerhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadis terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah saw..
Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad saw. bersabda: “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah, maka ia bukanlah (hamba) Allah. Dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memerhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR Al Hakim)
Pelaku politik dalam Islam, pertama adalah negara. Yakni dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam mengatur interaksi masyarakat, baik terkait ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Kedua adalah rakyat, aktivitas politiknya adalah melakukan pengawasan dan pengoreksian pelaksanaan syariat Islam oleh negara. Yakni aktivitas amar makruf nahi mungkar rakyat kepada penguasa, baik secara individu maupun berjamaah/ berkelompok.
Pada zaman Rasulullah dan khulafa ar-rasyidin dapat dipastikan mereka adalah pemimpin agama sekaligus pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda memelihara agama sekaligus mengatur dunia dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja, dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antarmasyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasaan.
Politik dalam Islam bukan sesuatu yang baru bagi umat Islam. Bahkan Islam sudah memiliki konsep yang khas dan istimewa yang berbeda dengan konsep politik demokrasi. Justru pada momentum Ramadan inilah sebenarnya upaya yang tepat untuk memahamkan umat tentang politik Islam, terutama di masjid-masjid. Umumnya syiar dan syu’ur serta ghirah umat mengalami peningkatan, dalam upaya untuk mengamalkan syariat Islam seperti tarawih, tadarus, iktikaf, ceramah, zikir, dan lainnya banyak terkonsentrasi di masjid.
Pembatasan aktivitas di masjid-masjid, apalagi terkait penyampaian konten materi, justru mengebiri fungsi dan peran masjid itu sendiri. Selama konten materi tidak bertentangan dengan Islam, semestinya tidak perlu menjadi hal yang dikhawatirkan. Karena masjid adalah tempat untuk menyiarkan dan menyebarkan pemahaman Islam ke tengah umat. Masjid juga adalah salah satu sarana yang sangat strategis untuk membina dan mencerdaskan umat, mengajak umat kepemahaman Islam yang lurus.
Rasulullah saw. beserta sahabatnya telah mencontohkan kepada kita cara memosisikan masjid. Selain masjid sebagai tempat orang beribadah dan berbuat kebaikan, masjid pun berperan dalam pembinaan umat Islam yang sangat penting dan dibutuhkan.
Di Masjid Nabawi dan Masjid Quba, generasi Islam pertama di Madinah ditempa oleh Rasulullah saw.. Di sanalah mereka dididik untuk mendapatkan pelajaran, berlatih keterampilan, mengatur siasat, serta menyelesaikan permasalahan kaum muslim. Di masjid, hati mereka terpaut dan sebagian hidup mereka berada di masjid.
Jadi jelas bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah mahdhah, seperti salat dan zikir semata. Tapi masjid juga bertempat sebagai pembinaan dan pendidikan, pemberian santunan sosial, latihan militer dan persiapan perang, pengobatan para korban perang, mendamaikan dan menyelesaikan sengketa, menerima utusan delegasi/ tamu, serta pusat penerangan dan pembelaan agama.
Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk memakmurkan masjid, yakni meramaikan masjid dengan berbagai perkara yang memberikan kebaikan bagi Islam dan kaum muslim, terutama pada momentum Ramadan nanti. Firman-Nya yang berbunyi:
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah: 18)
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]