Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini — Sadis. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan berbagai kasus kekerasan dan kejahatan yang banyak terjadi di negeri ini. Ironinya, kekerasan dan perilaku jahat itu justru dilakukan oleh anak-anak.
Sebut saja kasus sekumpulan siswa berseragam sekolah menengah, yang beramai-ramai menendang seorang nenek di Tapanuli Selatan karena alasan iseng. Lalu seorang siswa SMK yang menendang siswi di Nganjuk, dengan alasan cemburu pada korban. Ada pula kasus pengeroyokan seorang siswa SD di Kabupaten Sukabumi oleh sekelompok pelajar SMP yang diakui karena salah sasaran, namun berakibat pada kondisi korban koma dan akhirnya tewas. Dan yang paling viral adalah kasus Mario anak mantan pejabat Ditjen Pajak (DjP) Kemenkeu, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap seorang remaja 17 tahun, anak dari salah satu pengurus pusat ormas kepemudaan di negeri ini.
Jika menelaah beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak dan remaja tersebut, publik pasti setuju bahwa perilaku mereka itu kasar, jahat, bahkan sadis. Bagaimana tidak, hanya karena alasan sepele seperti cemburu, bahkan iseng, atau salah sasaran, remaja tersebut sanggup melakukan tindakan kasar dan kejahatan yang bisa berakhir pada kondisi korban koma bahkan tewas.
Belum lagi banyaknya kasus bullying yang menimpa anak dan para pelajar, yang kerap dilakukan oleh teman atau kakak kelas mereka. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa di tahun 2022 kasus bullying dengan kekerasan fisik dan mental yang terjadi di sekolah sebanyak 226 kasus, termasuk 18 kasus bullying di dunia maya. Dan diakui oleh KPAI bahwa realitas kasus bullying di negeri ini jauh lebih besar dari angka yang terlaporkan. Ditambah lagi banyaknya perilaku remaja dari keluarga sultan atau anak pejabat yang suka pamer kekayaan dan gaya hidup mewahnya di media sosial. Semua ini makin mengonfirmasi bahwa kondisi anak dan remaja umumnya di negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Utang Pengasuhan
Mencermati berbagai kasus anak dan remaja yang kasar tersebut, publik pasti setuju bahwa hal tersebut terkait dengan pola asuh yang salah. Banyak riset menunjukkan bahwa anak dan remaja yang berperilaku antisosial seperti itu, adalah buah dari pola asuh orang tua yang tidak tepat. Akal dan jiwa anak menjadi kering, sehingga mudah bersikap kasar baik verbal maupun fisik pada orang lain. Emosinya mudah meledak-ledak, gampang mem-bully, cenderung cuek pada sekitar, hingga terlibat dalam aksi kekerasan atau kriminal lainnya. Ada pula yang akhirnya menjadi anak yang inferior, tidak percaya diri, introver, pemurung, menutup diri, dan kurang luwes dalam bergaul.
Psikolog Kory Floyd, Ph.D. dalam sebuah website Psycholog Today menyebutkan bahwa anak-anak dan orang dewasa yang berperilaku kasar seperti itu sebagai kelompok yang mengalami skin hunger (lapar sentuhan). Dikatakan bahwa tubuh manusia akan memberikan sinyal ketika lapar maka butuh makan, ketika haus membutuhkan minum, dan ketika letih membutuhkan istirahat. Demikian juga ketika mereka mengalami kekurangan kasih sayang, maka tubuh akan merespon dengan perasaan “lapar sentuhan”.
Anak dan remaja yang lapar sentuhan dalam hidupnya, cenderung merasa kurang bahagia, merasa kesepian, dan lebih mudah depresi bahkan stres. Mereka juga cenderung antisosial, punya kepuasan relasi sosial yang rendah, dan cenderung memiliki alexithymia, yaitu suatu kondisi yang mengganggu berupa kesulitan untuk mengekspresikan serta mencerna emosi. Sehingga mereka cenderung tidak membentuk keterikatan aman dengan orang lain dalam hidupnya. Dengan kata lain, kontak kasih sayang orang tua dengan anaknya sangat diperlukan untuk hidup dan mental yang sehat. Kita akan menderita ketika tidak mendapatkannya secara cukup.
Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa pengasuhan itu adalah utang orang tua pada anak. Orang tua yang dulunya jarang meluangkan waktu bersama anak, akan membuat anak merasa terasingkan dan mengalami kesulitan membangun relasi sosial dengan orang lain. Anak yang sering dapat panggilan buruk, dicela, dicap negatif, atau dimarahi oleh orang tuanya, akan menjadi anak yang kehilangan kepercayaan diri, mudah marah, tidak stabil emosinya, bahkan bisa mem-bully orang lain.
Saat anak beranjak dewasa, perilaku kasar itu bisa makin menjadi. Maka tak heran jika banyak orang tua direpotkan oleh perilaku anaknya yang tidak dewasa di usianya yang sudah bukan anak-anak lagi. Bertindak semaunya, minim tanggung jawab, tidak punya empati, tak ada keinginan berumah tangga. Bahkan ketika berumah tangga pun sering mengalami cekcok dengan pasangan, menelantarkan anak, tidak cakap dalam mengasuh, dan rentan mengalami perceraian.
Sungguh ini semua adalah “tagihan” terhadap utang pengasuhan yang mereka tuntut dari orang tuanya akibat absennya pengasuhan yang benar saat mereka berusia anak-anak. Anak dan remaja yang seperti itu benar-benar lapar sentuhan dan minim pengalaman kasih sayang. Maka saat dewasa, mereka tidak punya cukup pengalaman untuk berbagi kasih sayang, empati, atau sikap lembut lainnya. Setiap persoalan cenderung dihadapi dengan emosional, kemarahan, kasar, bahkan tega menyakiti orang lain. Itulah bahaya lapar sentuhan pada anak yang harus diwaspadai oleh setiap orang tua, karena dapat berefek buruk bagi masa depan anak.
Benarkan Soal Utang Pengasuhan Semata?
Jika ditelaah lebih jauh, sesungguhnya fenomena perilaku kasar anak dan remaja, tidak lahir dengan sendirinya. Ketidakmampuan orang tua menjadi teladan utama dalam kebaikan, pola asuh yang salah, absennya orang tua dalam mengasuh serta mendidik anak-anak mereka, tayangan media yang sarat dengan kekerasan, pergaulan anak dan remaja yang cenderung bebas dan serba boleh, dan sistem pendidikan yang tidak sepi dari aksi bullying, turut membidani lahirnya generasi yang kasar perilakunya. Ini semua adalah buah dari sistem kehidupan masyarakat yang sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan.
Diakui atau tidak, gaya hidup sekuler nyatanya begitu eksis di negeri ini. Hampir di semua sisi kehidupan masyarakat, corak sekularismelah yang dominan. Kini, banyak Individu yang mengaku muslim tapi tidak clear visi-misi hidupnya. Mereka jadi abai pada tugas hidupnya untuk beribadah dan menghamba pada Allah SWT. Mereka pun cenderung berpikir dan bertingkah laku bebas, tanpa memperhatikan lagi halal-haram. Akhirnya ketika menjadi orang tua, mereka cenderung abai terhadap tanggung jawabnya dalam mengasuh serta mendidik anak-anaknya dengan pola asuh Islam. Bahkan tidak sedikit dari orang tua yang tidak paham bagaimana tuntunan Islam tentang pengasuhan dan pendidikan anak yang benar. Akibatnya banyak anak dan remaja yang lapar sentuhan, akibat pola asuh yang salah. Padahal anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT, yang setiap orang tua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak.
Di masyarakat sekuler, kontrol sosial tidak berjalan dengan semestinya. Tabiat asli masyarakat Islam yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidak lagi tampak. Masyarakat cenderung cuek dan kehilangan kepekaan terhadap berbagai kemaksiatan yang terjadi.
Termasuk ketika banyaknya anak dan remaja yang lapar sentuhan lalu tumbuh menjadi sosok dengan perilaku kasar akibat kehilangan haknya untuk mendapatkan pola asuh yang sahih. Sementara media yang ada pun sangat bebas dan sekuler. Seolah tak peduli bahwa konten-konten kekerasan dan tak mendidik lainnya justru akan memperburuk kondisi generasi negeri ini di masa depan. Kapitalisasi media menjadikan para pelakunya sekedar berpikir keuntungan semata, dan tidak memikirkan efek buruk dari konten tayangannya yang merusak generasi.
Ditambah lagi kesempitan hidup yang menimpa mayoritas penduduk negeri ini karena kemiskinan struktural akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Sistem ekonomi yang nyatanya justru melegalkan eksploitasi dan perampokan sumber kekayaan alam bangsa ini atas nama investasi. Dan ironinya itu semua disahkan oleh UU. Sehingga kekayaan alam negeri yang melimpah tidak berkorelasi positif dengan kemakmuran rakyatnya.
Ketersediaan lapangan pekerjaan yang makin sempit, berpadu dengan meningkatnya kasus PHK akibat banyaknya usaha yang gulung tikar. Karena rentannya sistem ekonomi negeri ini terhadap inflasi, menjadikan angka pengangguran kian naik. Akibatnya para perempuan dan ibu pun terdorong untuk beramai-ramai keluar rumah demi bekerja menopang ekonomi keluarga. Ditambah dengan masifnya opini yang menyesatkan tentang pemberdayaan ekonomi perempuan.
Tentu keadaan ini dapat membawa pada tidak sempurnanya penunaian kewajiban orang tua terutama ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Jika pun para orang tua itu memerhatikan anak-anaknya, cenderung sekadar pemenuhan kebutuhan materi, tapi miskin perhatian pada akal, jiwa, dan agamanya.
Kesempitan hiduplah yang menjadikan orang tua merasa tidak punya cukup punya waktu untuk memberikan pengasuhan dan pendidikan yang seharusnya. Apalagi orang tua yang tidak paham tuntunan Islam tentang pola pendidikan anak, atau tidak merasa perlu untuk belajar Islam tentang pola pendidikan anak yang sahih, menjadikan pengasuhan dan pendidikan anak yang dilakukan sekadarnya saja tanpa ilmu. Sistem pendidikan yang sekuler yang diterapkan di negeri ini, juga turut andil dalam menyuburkan lahirnya generasi kasar yang lapar sentuhan dan niragama. Walhasil, generasi yang berperilaku kasar di negeri ini menjadi perkara serius yang harus diwaspadai bersama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan hanya pola asuh orang tua semata yang menjadi sebab lahirnya generasi berperilaku kasar. Kehidupan sempit akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekuler, lemahnya pemahaman agama para orang tua, lemahnya kontrol sosial masyarakat, serta media dan sistem pendidikan yang sekuler turut andil dalam hal ini. Artinya sistem kehidupan sekularisme yang menjadi alasan mendasar dari banyaknya generasi yang berperilaku kasar di negeri ini.
Maka, jika negeri ini berharap dapat mengakhiri lahirnya generasi yang berperilaku kasar secara tuntas, harus ada komitmen tegas untuk mengakhiri penerapan sistem kehidupan yang sekuler liberal di semua bidang. Lalu mulai menerapkan sistem Islam kaffah dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Individu, orang tua, dan keluarga yang bertakwa harus terus belajar Islam agar paham bagaimana mekanisme yang sahih dalam pola asuh anak. Masyarakatnya harus terus menghidupkan amar makruf nahi mungkar. Lembaga pendidikannya didesain ulang sesuai dengan pola sistem pendidikan Islam. Media pun dikawal ketat oleh negara agar hanya menayangkan berita atau konten-konten sesuai Islam dan produktif bagi terwujudnya generasi dan masyarakat yang taat dan mulia.
Negara pun menerapkan seluruh sistem hidup Islam yang men-support terwujudnya generasi tangguh yang berkepribadian Islam, berkarakter ulama, bermental pemimpin, dan siap membangun negeri ini menjadi salah satu pilar peradaban Islam yang tinggi dan mulia.
Untuk itu semua, butuh adanya aktivitas dakwah politik yang dijalankan secara serius demi terwujudnya kembali kehidupan masyarakat Islam dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]