Oleh: Zakiya Amin
Suaramubalighah.com, Opini — Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mencanangkan 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama 2023 di Surabaya.
Kementerian Agama menggelar Jalan Sehat Kerukunan Umat dan Deklarasi Damai Umat Beragama yang digelar serentak di seluruh Kantor Wilayah Kemenag Provinsi di Indonesia. Deklarasi ini menurut Fesal Musaad selaku ketua panitia menyampaikan pesan tentang pentingnya upaya bersama dalam penguatan moderasi beragama dalam rangka meningkatkan kerukunan umat beragama. Juga komitmen menghindari hoaks dan tindakan intoleransi. “Ini sesuai tema HAB ke-77 Kemenag, yaitu “Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat” dan relevan dalam menyongsong tahun politik,” tandasnya. (kemenag[dot]go[dot]id, 12/01/2023)
Ada empat poin yang ditekankan dalam deklarasi itu. Yakni pertama, memperkuat komitmen kebangsaan untuk merawat kebhinekaan yang menjadi anugerah terbesar bangsa Indonesia. Kedua, mengukuhkan gerakan moderasi beragama untuk seluruh umat beragama guna mewujudkan kehidupan sosial yang rukun dan harmonis. Ketiga, menghindari segala bentuk ujaran kebencian, berita bohong, dan tindakan yang dapat mengakibatkan pembelahan sosial akibat polarisasi politik. Keempat, berkomitmen untuk tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat kampanye atau aktivitas politik praktis sebagaimana larangan yang tertuang dalam Undang-undang Pemilu.
Lalu muncul pertanyaan, mungkinkah persatuan umat terwujud dengan deklarasi damai umat beragama? Benarkah ketidakharmonisan disebabkan agama, atau justru kepentingan politik kapitalisme demokrasi “sengaja” memecah belah umat beragama?
Untuk menjawab itu, perlu memahami terlebih dahulu gambaran politik secara global sehingga kita bisa mengetahui sumber dari perpecahan dunia termasuk dunia Islam dan di antaranya di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim. Sebab hal ini tidak lepas dari konstelasi politik internasional.
Memahami berbagai teror yang terjadi pasca Perang Dingin, menjadi ahistoris bila tidak dikaitkan dengan apa yang terjadi setelah konstelasi politik global berubah pasca runtuhnya komunis. Peristiwa ini menjadi starting point bagi proses perubahan sejarah dunia, dimana kaum liberalis-kapitalis berhasil mempertahankan hegemoninya atas isme global sejak abad 15 lalu.
Konsekuensi dari perubahan konstelasi global tersebut telah menempatkan Amerika Serikat sebagai promotor kaum liberalis-kapitalis menjadi penguasa tunggal di tengah hegemoni dunia. Kehadiran organisasi internasional made in AS dan negara-negara kapitalis seperti PBB, selain dijadikan sebagai escalator penghancuran blok timur (komunis), juga sebagai justificator gerakan hegemoni mereka.
Ketidakberdayaan organisasi internasional dan sebagian besar negara-negara yang tergantung pada bantuan Amerika dalam menghadapi tekanan politik AS dan sekutunya sebagai “Pemilik Utama” PBB, merupakan bukti bahwa kehadiran organisasi tersebut lebih bermuatan ideologis daripada membawa misi humanis.
Dan teror yang terjadi di World Trade Centre, AS 2001 dan Tragedi Bali, Indonesia 2002 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pergulatan panjang antara liberalisme-kapitalisme melawan berbagai isme yang mengancam eksistensi isme mereka. Dan Islam, sebagaimana dianalisis oleh Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilization, menjadi kekuatan potensial yang mengancam hegemoni mereka.
AS sebagai negara adidaya pengusung utama kapitalisme menggunakan politik pecah belah antarbangsa, suku, dan agama sebagai upaya menjaga penjajahannya. Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik kekuasaan.
Dan strategi ini terus dijalankan oleh negara penjajah saat ini di bawah naungan oligarki kapitalis, untuk mengeruk sumber daya alam di negeri muslim dengan isu deradikalisasi dan moderasi beragama. Dimana sasaran utamanya adalah umat Islam. Oleh karena itu, deklarasi damai antarumat beragama sejatinya mengalihkan perhatian umat kepada penjajah sebenarnya yakni kapitalisme demokrasi.
Konflik horizontal yang terjadi di tahun politik, sebenarnya disebabkan oleh politik demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan pribadi maupun partai sekadar meraih kekuasaan. Dan politik demokrasi tidak ada sangkut pautnya dengan politik Islam itu sendiri.
Ketika menginginkan perdamaian dan persatuan umat manusia, justru harus menempuh jalan politik Islam. Politik Islam mengatur urusan kehidupan dalam negeri dan urusan politik luar negerinya sesuai dengan syariat Islam. Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, sebagaimana Firman Allah SWT,
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS Al-Ma’idah: 3)
Syaikh Syaltut dalam kitab Al-Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan, mendefinisikan syariat sebagai aturan (nizham) yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai sebuah aturan untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan sesama muslim, hubungan dengan sesama manusia nonmuslim, manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan. Keterikatan terhadap syariat Islam secara kaffah adalah manifestasi dari keimanan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw..
Syariat Islam bukan hanya mengurusi masalah ruhiah, namun juga masalah politik (siyasah). Rakyat (umat) dan pemerintah (negara) melakukan aktivitas politik. Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis (‘amali) dan umat mengontrol sekaligus mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan hal tersebut, sudah sangat jelas bagaimana Islam menawarkan solusi tuntas terhadap semua problematika umat. Baik penguasa maupun rakyatnya, tidak perlu membuat solusi yang aneh yang justru mendatangkan mudarat. Dalam sistem Islam kaffah, penguasa akan lebih objektif dan adil dalam mengurusi rakyatnya.
Jika negara sudah me-riayah rakyatnya sesuai standar syar’i, maka secara otomatis problematika umat tidak hanya teratasi dengan baik tapi juga rakyat akan sejahtera dan hidup tenang. Karena sesungguhnya Islam adalah rahmatan lil ‘alamiin. Sebagaimana dalam Al-Qur’an
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam .”(QS Al-Anbiya: 107)
Imam Al-Baydhawi (w. 685 H) di dalam tafsir Anwar At-Tanzil wa Asraru At-ta’wil atau tafsir Al-Baydhawi menjelaskan, “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,” (QS Al-Anbiya: 107), menurutnya karena risalah yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad saw. merupakan sebab untuk kebahagiaan dan menjadi sebab untuk kebaikan kehidupan di dunia maupun di akhirat mereka.
Inilah solusi yang akan mendatangkan kemaslahatan umat, bukan yang lain. Islam kaffah adalah solusi tuntas bagi semua persoalan manusia, kehadirannya mengalahkan kekuatan sistem kapitalisme dan mampu mewujudkan persatuan yang hakiki di bawah institusi politik Islam yakni Khilafah Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]