Fitnah Keji terhadap Khilafah Adalah Upaya Sistematis Mengokohkan Negara Sekuler

  • Opini

Oleh: Kartinah Taheer

Suaramubalighah.com, Opini — Ide Khilafah semakin menggelinding bak bola salju. Ide ini semakin diterima oleh umat. Para ulama dan mubalighah terus membangun kesadaran umat untuk ber-Islam kaffah dengan memperjuangkan Khilafah sebagai konsekuensi syahadat mereka. Seruan ini terus menggema di berbagai negeri.

Pada bulan Rajab, tepatnya 28 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan 3 Maret 1924, adalah waktu yang tidak pernah dilupakan oleh umat. Satu abad yang lalu, Khilafah diruntuhkan oleh Inggris melalui anteknya Mustafa Kemal Attaturk. Sejak saat itulah umat Islam kehilangan perisai/ junnah-nya.

Karena itu, bulan Rajab dengan semangat Isra’ dan Mi’raj, gelora semangat perjuangan penegakan Khilafah semakin kuat. Kerinduan menyambut bisyarah Rasulullah membuat umat makin bersungguh-sungguh untuk memperjuangkannya.

Hanya saja seiring dengan kerinduan umat akan tegaknya Khilafah, upaya propaganda negatif terhadap Khilafah pun semakin santer. Fitnah keji mereka lontarkan untuk menyerang Khilafah. Tujuannnya adalah agar umat menolak Khilafah dan mempertahankan sistem sekuler liberal.

Sebuah situs yakni Harakatuna memuat berbagai fitnah keji di laman mereka. Khilafah dituduh akan membuat Indonesia kacau.

Padahal berbagai persoalan yang menimpa negeri ini, baik itu politik, ekonomi, maraknya korupsi, ketidakadilan hukum, disintegrasi bangsa, utang negara yang makin menggunung, lemahnya nilai rupiah, pengangguran yang meningkat, dan masih banyak lagi bukan karena Khilafah. Ditambah  lagi persoalan sosial seperti menjamurnya kriminalitas, narkoba, seks bebas, dan sebagainya juga bukan akibat diterapkan sistem Khilafah.

Berbagai persoalan yang menimpa negeri ini adalah akibat penerapan sistem sekuler liberal yang sudah cacat sejak lahir. Lantas dari mana dikatakan perjuangan menegakkan Khilafah akan mengakibatkan kekacauan? Sungguh ini adalah narasi yang menyesatkan.

Mereka juga memfitnah bahwa upaya menerapkan syariat Islam kaffah adalah dengan cara merebut kekuasaan dari orang-orang nonmuslim. Sungguh ini adalah fitnah keji.

Karena upaya perjuangan menerapkan Islam kaffah dalam sistem Khilafah itu mengikuti metode kenabian. Perjuangan ke arah sana tidak melalui kekerasan apalagi perebutan kekuasaan.

Upaya yang dilakukan semata-mata adalah dakwah. Dakwah bilhikmah, mau’idhah hasanah, serta hujah yang kuat sebagaimana disyariatkan dalam QS. An-Nahl ayat 125. Dakwah dengan lisan yang mencerdasakan umat, membangun kesadaran umat untuk ber-Islam kaffah sebagai realisasi dari syahadat umat Islam. Demikianlah yang dicontohkan Rasulullah saw..

Pernyataan bahwa nonmuslim tidak mendapat kebaikan oleh syariat, juga merupakan tuduhan yang tidak mendasar. Nonmuslim yang hidup sebagai warga negara Khilafah statusnya adalah kafir dzimmi. Mereka memiliki hak yang sama dengan muslim. Mereka diberi jaminan kesejahteraan, perlindungan, dan keamanan oleh Khilafah. Nonmuslim diberi kebebasan terkait dengan keyakinan dan ibadah mereka. Tidak ada paksaan masuk agama Islam seperti yang mereka tuduhkan selama ini. Sejarah membuktikan bahwa nonmuslim sejahtera di bawah naungan Khilafah.

Bahkan hal ini diakui oleh sejarawan Barat yang nonmuslim. Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh newsdetik.com tahun 2010 yang berjudul  “Saat Umat Kristen Hidup dalam Naungan Islam“, di sana ditulis bahwa sejarawan dari Barat, Will Durrent bertutur dengan jujur. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi. Fenomena seperti itu setelah masa mereka” (The Story of Civilization)

Secara syariat pun dilarang menyakiti kafir dzimmi. Rasulullah bersabda,

 مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ

“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (nonmuslim yang tidak memerangi umat muslim), maka sungguh dia telah menyakitiku. Barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR Ath-Thabrani)

Seorang ahli fikih, Maliki Syihabudin AlQarafii ketika menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu adz-dzimmah, beliau mengatakan, “Kaum muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”


Jadi jelas sudah bahwa penerapan syariat Islam itu membawa kesejahteraan terhadap muslim maupun nonmuslim.

Tuduhan yang lain pun dilontarkan, mereka mengatakan bahwa Khilafah itu tidak penting, karena hanya cocok pada masa Nabi hingga pemerintahan Turki Utsmani. Sementara peradaban sekarang diatur PBB.

Pernyataan tersebut bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama yang justru mengatakan Khilafah adalah taj al-furudh atau mahkotanya kewajiban. Sebaliknya ketiadaan Khilafah adalah induknya jarimah/ kejahatan.

Dengan Khilafah maka aturan Islam bisa diterapkan secara menyeluruh, tidak hanya berkaitan dengan persoalan individual tetapi juga politik, sosial, ekonomi,pendidikan, hudud, jinayah dan aturan lainnya. Pada saat itulah terwujud rahmatan lil ‘alamin sekaligus terealisasi maqashid syariat.

Al-Imam Jamaluddin Al-Ghaznawi Al-Hanafi (w. 593 H), dalam kitabnya Ushûl Ad-Dîn menuturkan:

الإمامة
فصل، لابد للمسلمين من إمام يقوم بمصالحهم من تنفيذ أحكامهم وإقامة حدودهم وتجهيز جيوشهم وأخذ صدقاتهم وصرفها إلى مستحقيهم، لأنه لو لم يكن لهم إمام فإنه يؤدي إلى إظهار الفساد في الأرض.

“Bab Imamah/Khilafah.”
“Pasal; Merupakan keharusan bagi umat Islam untuk memiliki seorang imam/ khalifah, yang memelihara kemaslahatan mereka berupa penerapan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menerapkan hudud, menyiapkan pasukan jihad, dan memungut zakat, serta menyalurkannya kepada mereka yang berhak. Sebab jika mereka tidak memiliki seorang imam/ khalifah maka hal itu akan menyebabkan timbulnya kerusakan di muka bumi.”

Jadi Khilafah yang dibutuhkan oleh Indonesia dan dunia, bukanlah PBB. Berbagai persoalan terus menimpa dunia hari ini meski ada PBB. Karena PBB sejatinya hanyalah alat legitimasi negara adidaya untuk makin menguasai dunia, terbukti dengan adanya hak veto bagi negara-negara besar.

Dilihat dari sejarahnya PBB juga lahir bukan untuk kepentingan umat Islam. Jadi bagaimana mungkin lebih menyerahkan kepemimpinan peradaban ini pada PBB? Hari ini dunia dipimpin kapitalisme sekuler yang digawangi AS, inilah yang menyebabkan kerusakan di mana-mana. Hanya dengan tegaknya Khilafah-lah dunia akan selamat.

Selain fitnah-fitnah keji, pun mereka membela diri bahwa menolak Khilafah bukan berarti membenci syariat. Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fiqh Tata Negara, bahwa bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersurat dan terperinci dalam teks wahyu. Namun hanya berbicara soal prinsip negara secara universal, seperti al-‘adalah (keadilan), asy-syura (permusyawaratan), al-musawah (kesetaraan), dan al-hurriyyah (kebebasan). Karena itu menurut mereka menolak Khilafah bukan membenci syariat. Benarkah demikian?

Sistem Kenegaraan dalam Islam Adalah Khilafah

Khilafah adalah ajaran Islam, bagian dari syariat Islam. Menolak Khilafah berarti membenci syariat. Khilafah ialah kewajiban dari Allah SWT, dalilnya terdapat dalam Al Qur’an, hadis/ As-Sunnah, ijmak sahabat. Khilafah adalah sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw.. Bahkan para ulama pun sepakat akan hal ini dan banyak pembahasan dalam kitab fikih siyasah.

Pembahasan fikih siyasah ada dalam berbagai kitab para ulama muktabar.Al-Ahkam As-Sulthaniyyah ini merupakan karya monumental Al-Mawardi, ditulis atas permintaan Khalifah Al-Qa’im bin Amrillah (422–467 H). Kitab ini memuat hukum-hukum yang sangat dibutuhkan oleh para penguasa, khususnya khalifah dan jajarannya. Selain dibutuhkan oleh aparatur pemerintah sebagai rujukan untuk menjalankan tugas dan kewajiban mereka, juga menjadi pegangan masyarakat untuk mengetahui hak dan kewajiban para penguasa atas diri mereka. Dengan begitu, mereka mempunyai pedoman untuk melakukan check and balance.

Kitab ini terdiri dari dua puluh bab dan membahas banyak hal, seperti akad imamah, pengangkatan wizarat (pembantu khalifah) -bukan wizarat dengan konotasi kementerian seperti dalam sistem demokrasi-, pengangkatan imarahala al-bilad (kepala daerah), pengangkatan imarah ‘ala al-jihad (panglima perang), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan jizyah dan kharaj, hukum ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati), eksplorasi air (termasuk tambang), hima dan irfaq (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga diwan (administrasi), ahkam al-jara’im (hukum tindak kriminal), dan hisbah.

Penerapan syariat Islam tidak hanya subtansinya saja. Tetapi wajib diterapkan secara nyata. Apakah itu kewajiban dakwah dan jihad, hudud, jinayat. Sistem seperti ini sudah dipraktikkan oleh Nabi dan dilanjutkan oleh para sahabat.

Khalifah adalah pengganti Nabi bukan dalam hal urusan kenabian, karena Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad saw., setelah itu tidak ada lagi. Khalifah adalah pengganti dalam mengurus dunia dengan risalah Nabi. Dalam hadis dinyatakan,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «كانت بنو إسرائيل تَسُوسُهُمُ، الأنبياء، كلما هلك نبي خَلَفَهُ نبي، وإنه لا نبي بعدي، وسيكون بعدي خلفاء فيكثرون»، قالوا: يا رسول الله، فما تأمرنا؟ قال: «أوفوا ببيعة الأول فالأول

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu-“Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.” (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama dan yang pertama..”

Fitnah Keji terhadap Khilafah, Kokohkan Sistem Sekuler

Demikianlah berbagai fitnah dan tuduhan yang dilontarkan terhadap Khilafah. Tujuannya adalah memunculkan keragu-raguan umat terhadap Khilafah sebagai sebuah sistem yang wajib diperjuangkan. Sehingga sedikit demi sedikit umat akan menolak Khilafah dan merasa cukup berada dalam sistem pemerintahan sekuler liberal.

Hanya saja upaya mereka itu tidak akan berhasil. Karena umat hari ini makin cerdas dan mengetahui kebobrokan sistem sekuler. Berbagai kerusakan yang menimpa negeri ini akibat dari penerapan sistem kehidupan yang memuja hawa nafsu. Kasus kekerasan yang marak akhir-akhir ini bahkan di luar nalar manusia adalah akibat dari agama yang dipisahkan dari kehidupan. Kebebasan bertingkah laku telah mematikan fitrah manusia bahkan lebih kejam dari binatang. Agama yang seharusnya jadi pengendali nafsu telah ditempatkan pada ruang sempit persoalan ibadah saja. Inilah cara pandang sekuler yang menjadi asas pemerintahan negeri ini. Maka wajar jika fasad di mana-mana. Umat Islam butuh sistem sahih, dan Khilafah-lah yang dibutuhkan hari ini untuk menjawab semua persoalan yang ada.

Di satu sisi ketika mereka terus mengopinikan negatif Khilafah di kanal-kanal mereka, justru umat semakin ingin lebih mencari tahu kebenaran tentang Khilafah. Khilafah ajaran Islam yang mulia tak terbantahkan. Umat akan memahami siapa yang berada dalam barisan Islam dan siapa yang berada dalam barisan penentang Islam. Meski sekalipun mereka berhujah menolak Khilafah bukan berarti membenci syariat. Karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Sekuat tenaga penentangan terhadap Khilafah, maka cahaya kemenangannya makin tampak. Karena tegaknya Khilafah adalah janji Allah.

Allah berfirman,

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nuur: 55)

Maka dari sini, peran para ulama dan mubalighah ialah harus berada di garda depan untuk terus mencerdaskan umat dengan Islam kaffah. Bersama-sama berjuang menegakkan Khilafah sebagai sistem kenegaraan yang menerapkan Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]