Kapankah Anak Terkena Taklif Syariat?

Oleh: Diana Wijayanti

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Sungguh Islam adalah agama yang sempurna, mengatur perilaku manusia secara detail dan tanpa cela. Sebab, aturannya diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat Yang Mahasempurna dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik dengan akhlak yang mempesona.

Ketika manusia bingung menghadapi berbagai fenomena kerusakan generasi, Islam hadir memberi solusi. Di antaranya adalah dengan seperangkat aturan untuk mencegah terjadinya kerusakan dan kriminalitas, serta penerapan sanksi hukum bagi pelakunya.

Dalam Islam, semua aturan dan hukum mulai berlaku ketika seseorang telah menjadi mukalaf. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban.

Hal ini berdasarkan hadis yang disampaikan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terkait dicatatnya amal manusia oleh malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkatlah pena (dosa) dari tiga golongan: (1) orang yang tidur hingga ia bangun; (2) anak kecil hingga dia ihtilam; (3) dan orang gila hingga dia berakal (sembuh).” (HR Abu Dawud 4402, Tirmidzi no. 1423, An-Nasa’i no. 3432, Ibnu Majah no. 2041, sahih)

Seseorang dianggap mukalaf setidaknya ada dua ukuran; pertama, aqil, maksudnya berakal. Cirinya adalah seseorang sudah dapat membedakan antara baik dan buruk, dan antara benar dan salah. Kedua, baligh, maksudnya sudah sampai pada ukuran-ukuran biologis.

Sementara, untuk tanda-tanda baligh sebagaimana dikutip dari kitab Safinatunnajah, tanda baligh dalam 3 macam, meliputi:

علامات البلوغ ثلاث :  تمام خمسة عشرة سنة فى الدكر و الاْنثي و الاحتلام في اللدكر والاْنثي

لتسع سنين والحيض لتسع سنين

“Tanda-tanda baligh ada tiga : 1) Telah mencapai umur 15 tahun (hijriyah) untuk laki-laki dan perempuan, 2) Mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan 3) Haid untuk perempuan yang berumur 9 tahun,”

Hal ini didasarkan pada beberapa hadis berikut: Pertama, berdasarkan hadis Nafi’, ia berkata,

حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي ، قَالَ نَافِعٌ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ وَهُوَ خَلِيفَةٌ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ، وَكَتَبَ إِلَى عُمَّالِهِ أَنْ يَفْرِضُوا لِمَنْ بَلَغَ خَمْسَ عَشْرَةَ

“Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam perang Uhud. Saat itu umurnya masih empat belas tahun, namun beliau tidak mengizinkannya. Kemudian dia menawarkan lagi pada perang Khandaq. Saat itu usiaku lima belas tahun dan beliau mengizinkanku.”

Nafi’ berkata, “Aku menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat itu dia adalah khalifah, lalu aku menceritakan hadis ini. Dia berkata, “Ini adalah batas antara anak kecil dan orang dewasa (baligh).” “Kemudian beliau menulis kepada para gubernurnya untuk membebani kewajiban bagi mereka yang telah berusia 15 tahun.(HR. Bukhari 2664 dan Muslim no. 1490)

Kedua, berdasarkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ia mengatakan :

فأولها خروج المني من قبله وهو الماء الدافق الذي يخلق منه الولد فكيفما خرج من يقظة أو منام بجماع أو احتلام أو غير ذلك حصل به البلوغ لا نعلم في ذلك اختلافا

“(Tanda baligh) yang pertama adalah keluarnya air mani dari kemaluan. Yaitu air yang memancar yang darinya tercipta anak keturunan. Ketika air tersebut keluar, baik dalam kondisi terjaga, tidur, karena jimak (hubungan biologis), ihtilaam, atau selain itu, maka sudah baligh. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di antara ulama dalam masalah ini.” (Al-Mughni, 4: 551).

Sedangkan untuk orang kafir bisa juga dengan melihat tumbuhnya rambut di kemaluan. Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

عن سمره ان النبي صل الله عليه وسلم : اقتلوا شيوخ المشركين واستحيوا شرحهم  والشرح الغلمان

الدين لم ينبثوا

Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Bunuhlah oleh kalian orang musyrik dewasa, dan biarkan hidup di antara mereka syarkhu (yang belum tumbuh kemaluannya).” (HR. At-Tirmidzi)

Menurut Imam Syafii, tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda baligh yang ditujukan untuk orang kafir, bukan untuk muslim.

Ketiga, berdasarkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ia berkata,

وأما الحيض فهو علم على البلوغ لا نعلم فيه خلا ف

“Adapun haid, itu adalah tanda baligh, kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.” (Al-Mughni, 4: 551)

Mengingat taklif hukum dalam Islam adalah pada saat sudah aqil dan baligh, tentu sangat dibutuhkan persiapan bagi anak untuk menghadapi masa itu. Persiapan itu tidak hanya dilakukan oleh keluarga namun juga masyarakat dan negara.

Keluarga, adalah lingkungan terkecil pendidikan anak. Dalam keluarga, bapak dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam menyiapkan anak menghadapi masa dewasanya.

Penanaman akidah atau keimanan kepada anak harus dilakukan sejak dini, latihan beribadah seperti salat, membaca Al-Quran dan puasa, mengenalkan aurat dan melatih menutup aurat, memisahkan tempat tidur bagi anak laki-laki dan perempuan, mengajarkan akhlak yang mulia, dan lain sebagainya harus dilakukan dalam keluarga.

Adapun salah satu kewajiban orang tua dalam mendidik anak sejak dini adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun; pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun; dan pisahkan mereka di tempat tidur.” (HR Abu Dawud)

Masyarakat, lingkungan di sekitar rumah juga berperan besar dalam menyiapkan anak memahami hukum syariat. Anak sangat mudah meniru lingkungan, maka masyarakat sekitar harus mencontohkan perilaku yang baik pada anak, menggalakkan baca tulis Al-Qur’an, memasyarakatkan pakaian islami, saling menghargai dan menghormati, membudayakan saling menasihati, saling menolong, dan lain sebagainya.

Bahwa lingkungan sangat dibutuhkan anak untuk belajar melaksanakan berbagai beban hukum. Lingkungan ini digambarkan seperti layaknya kawan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “

“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau  mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar  pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara, pihak yang paling bertanggung jawab memahamkan seluruh hukum Islam melalui sistem pendidikan, mengontrol sistem penerangan atau media, melaksanakan seluruh hukum Islam, dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran syariat.

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadis dari jalur Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain sebagai junnah, negara juga berperan sebagai pengurus atau penggembala. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentu saja ketentuan Islam ini, belum sejalan dengan hukum yang diterapkan saat ini, yang notabene tidak bersumber dari hukum Islam. Sehingga menimbulkan berbagai persoalan baru ketika dijadikan solusi atas masalah kehidupan. Sebagai contoh, perundangan yang berlaku di negeri ini dalam menentukan status mukalaf atau seseorang yang akan dikenai sanksi adalah usia 18 tahun. Semua dianggap anak atau belum mukalaf jika berada di bawah usia 18 tahun. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Serta Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, jika mereka melakukan pelanggaran.

Ketika kejahatan atau pelanggaran dilakukan anak yang berusia 12-18 tahun, negara jadi bingung. Akhirnya tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya atau hanya direhabilitasi. Sehingga pelanggaran yang dilakukan oleh ‘anak’ semakin marak. Rasa takut sirna akibat sanksi yang tidak ada, dan kalaupun ada tidak membuat jera.

Begitulah kenyataannya, sudahlah hukumnya tidak memberikan keadilan, tidak mampu mencegah dan menebus dosa karena dibuat manusia, ditambah lagi penegak hukumnya tidak amanah. Membuat keadilan di negeri ini ibarat barang langka.

Tentu hal ini tidak bisa terus dibiarkan, butuh amar ma’ruf nahi munkar terhadap masyarakat dan negara untuk kembali kepada hukum Islam yang paripurna. Bahwa sebagai seorang muslim, wajib menjadikan pijakan dalam menilai suatu perbuatan adalah hukum syara‘, yaitu hukum yang berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]