Oleh: Lulu Nugroho
Suaramubalighah.com, Opini — Kembali peringatan Hari Perempuan Internasional memberi janji manis dengan menjadikan perempuan sebagai pemegang kunci untuk menciptakan perubahan di dunia, membentuk masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Selain itu, perempuan pun digadang-gadang sebagai pemegang kunci untuk membangun dunia yang bebas dari kelaparan dan kemiskinan.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini kecenderungan kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia telah mencapai jumlah yang sangat besar. Pada tahun 2017, sekitar 815 juta orang menderita kelaparan, sedangkan 1,3 miliar orang hidup di bawah garis kemiskinan. Komunitas dunia berusaha mencarikan solusi bagi permasalahan ini.
Sebagian besar laporan menyatakan bahwasanya kunci untuk menangani kelaparan dan kemiskinan dengan memberi perempuan hak dan kesempatan yang lebih besar di rantai pasokan masyarakat. Juga menjadikannya sebagai pemegang kendali bagi perubahan sosial melalui proyek teknologi, pemberdayaan komunitas dan pedesaan, serta pemangku kepentingan dalam permasalahan global. (Mubadalah[dot]id, 11/03/2023)
Solusi Sekularisme terhadap Masalah Dunia
Wacana ini masih sarat dengan ide kesetaraan gender, yakni seputar keterlibatan perempuan di dalam pasar kerja. Tujuannya untuk melebarkan jangkauan layanan kesehatan dan pendidikan, membuka akses ekonomi dan pemilikan tanah, demi meningkatkan standar hidup dunia, serta melawan kelaparan dan kemiskinan.
Hal tersebut sejalan dengan International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional, sebagai hari perayaan sekaligus peringatan atas prestasi perempuan di seluruh dunia dalam bidang politik, ilmu pengetahuan, budaya, olah raga, teknologi dan lainnya. Peringatan ini digagas oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 8 Maret 1978.
Tema pada 2023 yang diusung oleh UN Women adalah DigitALL: Inovation and Technology for Gender Equality. Sementara tema dari IWD sendiri yaitu #EmbraceEquity. Meski mengusung dua tema yang berbeda, tetapi keduanya memiliki esensi yang sama yaitu menyuarakan kesetaraan dan kesempatan bagi perempuan.
Sementara terjunnya perempuan dalam kehidupan publik dengan memutar roda perekonomian, justru memunculkan persoalan baru. Alih-alih sejahtera dengan ide pemberdayaan perempuan, malah akan bermunculan kasus kejahatan seperti upah yang tidak memadai, waktu kerja yang panjang, kekerasan seksual, bahkan bisa jadi berujung pada kematian.
Secara keseluruhan, survei ILO mengungkap bahwa dunia kerja di Indonesia sedang berada dalam keadaan darurat kekerasan dan pelecehan. Sebanyak 70,93% dari total 1.173 responden mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Satu hal yang ajek adalah korban tetap didominasi oleh perempuan (656 orang). (GreenNetwork, 13/03/2023)
Maka tampak di sini bahwa peringatan IWD masih sebatas selebrasi belaka, yang jauh dari solusi mengakar terhadap permasalahan yang berkelindan pada kehidupan perempuan. Kapitalisme selamanya tidak mampu mewujudkan kesejahteraan. Bersandar pada tembok pemikiran sekularisme hanya akan menghasilkan harapan semu.
Islam Solusi Hakiki
Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia, yang lahir dari Allah Sang Pengatur, Al Mudabbir. Dalam Islam, perempuan akan dikembalikan pada peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait dan ummu ajyal, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta ibu generasi.
Posisi mulia yang diberikan Islam kepada seorang ibu, tidak dapat dilakukan sendiri. Akan tetapi memerlukan kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak, yakni keluarga, masyarakat dan juga negara. Tujuannya agar ibu fokus pada tugas utamanya sebagai pencetak generasi pemimpin. Maka ibu pun tidak lagi dibebankan pada tugas mencari nafkah.
Tugas itu diberikan kepada para ayah sebagai kepala keluarga. Maka negara wajib memfasilitasinya dengan memberi kesempatan kerja yang luas, pelatihan, modal atau lahan bagi para petani atau penggarap tanah. Jaminan yang diberikan Islam kepada warganya sejalan dengan kewajiban syariat.
Jika kemudian ditemukan persoalan kelaparan atau kemiskinan di tengah masyarakat, itu merupakan tanggung jawab negara untuk menuntaskannya. Islam memberi jaminan kesejahteraan masyarakat, melalui harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam dan kepemilikan negara berupa pemasukan jizyah, ghanimah, kharaj, dan sebagainya, yang dikelola oleh khalifah.
Islam Melahirkan Perempuan Hebat
Islam pun mendukung perempuan untuk menopang peradaban tanpa tercerabut dari fitrahnya. Bisa melalui kasih sayang tangannya dengan membentuk anak-anak generasi, pun melalui dirinya sendiri yang berkiprah dengan keahliannya. Di samping itu ia juga bertanggung jawab mengisi benak dan kalbu umat dengan aktivitas dakwah, amr ma’ruf nahy munkar.
Hasilnya, banyak perempuan mampu berkarya di ranah publik meski tanpa ide kesetaraan, seperti Syifa binti Sulaiman, seorang Qadhi Hisbah di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Ada juga Rufaidah binti Ka’ab Al-Aslamiyah, shahabiyah yang piawai di bidang pengobatan. Serta Mariam Al-Asturlabi Al-Ijilya, seorang ilmuwan dan penemu di dalam bidang astronomi.
Islam memberi kesempatan pada perempuan untuk mengakses pendidikan baik di rumah, di sekolah, masjid, perguruan tinggi, dan lembaga pendidikan lainnya. Maka ditemukan 8.000-an lebih ulama hadis perempuan oleh Mohamed Akram, cendekiawan muslim modern India, dalam sebuah proyek yang menghantarkannya menelusuri kamus biografi, teks-teks klasik, sejarah madrasah, dan lain-lain. (Disarikan dari “A secret History” oleh Carla Daya diterbitkan dalam majalah New York Times, 25/02/2007)
Ini menunjukkan bahwa dalam pemerintahan Islam tidak hanya membentuk masyarakat sejahtera, tetapi juga melahirkan banyak perempuan terpelajar. Maka saatnya menanggalkan kapitalisme, dan beralih pada Islam. Allahumma ahyanaa bil-Islam. [SM/Ah]