Oleh: Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Latar Belakang
Sejak Umat Islam kehilangan institusi politiknya yakni Khilafah Islam tahun 1924, maka umat Islam tidak memiliki gambaran yang jelas dan utuh tentang politik Islam yang sebenarnya. Umat Islam hanya memiliki gambaran politik demokrasi, baik yang dijalankan oleh sistem kapitalisme maupun sistem sosialisme-komunisme yang penuh tipu muslihat, kebohongan, bahkan menghalalkan segala cara.
Gambaran politik demokrasi yang buruk membuat sebagian dari kaum muslimin bersikap apolitis. Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat di lapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk.
Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, karena persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan pengorganisasian urusan masyarakat/ publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Politik dalam Islam
Politik Islam (bahasa Arab: سياسي إسلامي) adalah politik yang di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah.
Dalam Al-Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al-amra artinya dabbarahu (mengurusi/ mengatur perkara). Berarti secara ringkas maksud politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.
Rasulullah saw. sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «كانت بنو إسرائيل تَسُوسُهُمُ، الأنبياء، كلما هلك نبي خَلَفَهُ نبي، وإنه لا نبي بعدي، وسيكون بعدي خلفاء فيكثرون»، قالوا: يا رسول الله، فما تأمرنا؟ قال: «أوفوا ببيعة الأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، واسألوا الله الذي لكم، فإنَّ الله سائلهم عما اسْتَرْعَاهُم».
[صحيح] – [متفق عليه]
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”. (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka, dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (Hadis Muttafaq ‘alaih)
Politik atau siyasah itu maknanya adalah mengurusi urusan masyarakat. Pelaku politik itu negara dan masyarakat (rakyat). Negara mengatur urusan rakyat di dalam negeri dan luar negeri sesuai dengan syariat Islam. Sementara rakyat, perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, bahkan diperintahkan untuk memeranginya apabila penguasa secara sengaja melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) yakni menerapkan hukum selain Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. berikut,
مَنْ لَمْ يَتَّقِ اللَّهَ، فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً، فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Nabi saw. mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (HR. Imam Bukhari)
Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Pandangan Islam, Politik Adalah Kewajiban
Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh (syamil wa kamil) mengatur semua unsur kehidupan. Politik dan negara adalah bagian dari Islam. Tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.
Di dalam Islam, politik mendapat kedudukan dan tempat yang tinggi. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa “Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (ad-din wa al-sulthan tawamaan)”.
Lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.
Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan sempurna. Begitulah Islam memandang politik. Jadi berpolitik itu bagian dari kewajiban syariat, karena tugas-tugas syariat hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik.
Kaidah ushul mengatakan “Ma la yatimmul-wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, jika kewajiban mensyiarkan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.
Inilah yang menjadi dasar mengapa sejak awal turunnya Islam, umat Islam itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara. Dan Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, serta para pemimpin Islam terdahulu telah membuktikanya.
Institusi politik dalam Islam Adalah Khilafah Islam
Dengan mengkaji pembahasan politik baik dari Al-Qur’an, hadis, ijma, dan qaul ulama, maka kita akan mendapati bahwa sistem pemerintahan dalam politik Islam adalah Khilafah.
Dalam istilah para fuqaha terdahulu, Khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imâmah atau Dârul Islâm atau Imâratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517).
Khilafah itu sendiri telah didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai ragam redaksi, namun intinya sama, yaitu berkisar pada tiga susbstansi makna berikut ini:
Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadi pengganti atau penerus fungsi kepemimpinan Nabi saw.. Imam Mawardi, misalnya, berkata :
اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبوَّةِ
”Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian…” (Al-Mâwardi, Al-Ahkâmus Al-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Kedua, Khilafah merupakan sistem tunggal untuk seluruh umat Islam (kâffat al-ummah), yakni tak boleh ada lebih dari satu Khilafah bagi seluruh umat Islam. Ulama biasanya mengungkapkan ini dengan redaksi bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum” (ri`âsah ‘âmmah) atau “kekuasaan umum untuk seluruh umat” (al-wilâyah al-‘âmmah ‘ala kâffat al-ummah). Imam Al-Qalqasyandi, misalnya, berkata :
اَلْإِمَامَةُ هِيَ الْوِلاَيَةُ الْعَامَّةُ عَلَى كَافَّةِ الأُمَّةِ وَ الْقِيَامُ بِأُمُوْرِهَا وَ النُّهُوْضِ بِأَعْبَائِهَا
”Imamah (Khilafah) adalah kekuasaan umum atas seluruh umat Islam, pelaksanaan segala urusan umat, dan pengembanan segala tanggung jawabnya.” (Al-Qalqasyandî, Ma`âtsirul Inâfah fî Ma’âlim Al-Khilâfah, I/8).
Ketiga, Khilafah menerapkan hukum-hukum syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tiga substansi makna itulah, yang kemudian oleh Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî, dihimpun menjadi sebuah definisi komprehensif untuk Khilafah :
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئاسَةٌ عامَّةٌ لِلْمُسْلِمِينَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَميِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاميَّةِ إِلَى الْعاَلَمِ
”Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, 2/12).
Sistem politik Khilafah ini hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin untuk menegakkannya. Kewajiban Khilafah ini sungguh telah disepakati secara ijmâ’ (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.
Syekh Abdurrahman Al-Jazîrî dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah menegaskan :
إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ
”Telah sepakat para imam (Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syâfi’i, dan Imam Ahmad) –semoga Allah merahmati mereka– bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu…” (Abdurrahman Al-Jazîrî, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzâhib Al-Arba’ah)
Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil wajibnya Khilafah ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Kaidah Fikih (qâ’idah syar’iyyah).
Dalil Al-Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al-Baqarah: 30)
Imam Al-Qurthubî berkata :
وَهَذِهِ الآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمامٍ وَخَليفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ ، لِتَجْتَمِعَ بِهِ الكَلِمَةُ ، وَتُنَفِّذَ بِهِ أَحْكامَ الخَليفَةِ
“Ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati, agar terjadi kesatuan pendapat umat dan agar dapat diterapkan hukum-hukum Khalifah.” (Imam Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`ân, 1/81).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Umar ra. dari Nabi saw. :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتََةً جَاهِليَّةً
”Barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada seorang khalifah/ Imam) maka matinya adalah mati jahiliah.” (HR Muslim, no. 1851)
Syekh Ad-Dumaijî berkata: ”Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mensifati orang yang mati sedang di lehernya tidak ada baiat, sebagai mati jahiliah. Padahal baiat itu tidak ada kecuali bagi khalifah (imam). Ini adalah dalil yang jelas untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah, sebab jika baiat ini tidak ada pada leher setiap muslim, maka dia akan mati secara mati jahiliah. Maka hadis ini adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, antara lain dijelaskan oleh Imam Abdul Qâhir Al-Baghdâdî (w. 429/1037) yang berkata :
فَقَدْ اجْتَمَعَتْ الصَّحابَةُ عَلَى وُجوبِها وَلَا اعْتِبارَ بِخِلَافِ الفوَطيِّ وَالأَصَمِّ فِيهَا مَعَ تَقَدُّمِ الإِجْماعِ عَلَى خِلافِ قَوْلِهِمَا
”Sungguh para sahabat Nabi saw. telah bersepakat mengenai wajibnya Imamah (Khilafah), dan [dengan demikian] tidak teranggap pendapat berbeda dari Al-Fûthi dan Al-‘Ashamm dalam masalah Imamah ini, karena telah lebih dahulu terjadi ijma’ [shahabat] yang berbeda dengan pendapat keduanya.” (Abdul Qâhir Al-Baghdâdî, Ushûluddîn, hlm. 272).
Demikianlah makna politik dalam Islam dan sistem politk yang wajib ada menaungi umat Islam sedunia yakni Khilafah Islamiyah. Waallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]