Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini — Sebagaimana yang ramai diberitakan bahwa negeri ini telah menetapkan kebijakan mandatori halal bagi produk pangan dan perdagangan lainnya. Namun ironisnya, meski mayoritas penduduk negeri ini muslim, nyatanya kebijakan itu sama sekali bukan karena landasan Islam. Tapi demi menyukseskan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia.
Itulah kesan yang tertangkap dalam kampanye mandatory halal yang di-launching oleh Kemenag pada 18 Maret lalu. Kampanye tersebut merupakan implementasi dari amanat UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dan selanjutnya UU JPH tersebut dirubah menjadi UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan beberapa perubahan dan tambahan pasal-pasal krusial yang patut untuk dikritisi.
Dalam pengaturan UU JPH dinyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah RI wajib bersertifikat halal. Kewajiban bersertifikat halal ini merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat.
Dalam hal ini pemerintah melibatkan seluruh lapisan masyarakat di 1.000 titik lokasi di Indonesia untuk dapat menyampaikan pesan-pesan mandatory (kewajiban) sertifikasi halal pada tahap pertama yang mulai berlaku pada Oktober tahun 2024. Khususnya untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, serta bahan penolong untuk produk makanan dan minuman.
Jaminan Halal Produk Pangan, Wajib dan Perlu
Bagi setiap mukmin, mengonsumsi makanan dan minuman halal adalah wajib dan perlu, bahkan sebagai kebutuhan demi ketaatannya pada Allah SWT. Dalam Islam, manusia diperitahkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik (thayyib). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 168, “Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu”
Adapun sertifikasi halal, pada dasarnya untuk memberikan jaminan kehalalan bagi setiap muslim dalam mengonsumsi produk makanan. Saat ada jaminan halal bagi setiap produk pangan yang beredar, tentu masyarakat tidak lagi was-was. Karena sudah ada kepastian dan jaminan bahwa yang mereka konsumsi adalah halal menurut syariat Islam.
Sejatinya, masalah halal dan haram itu soal prinsip bagi kaum muslimin, bukan sekadar masalah sertifikat halal saja. Allah SWT telah menciptakan begitu banyak ragam makanan dan benda-benda untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maka sepantasnyalah manusia membatasi dirinya dengan hanya mengonsumsi yang halal saja.
Apalagi bagi mukmin, makan itu bukan sekadar memenuhi hajat rasa lapar. Juga bukan untuk memenuhi nafsu kuliner manusia yang ditumbuhsuburkan oleh life style kapitalisme sekuler. Maka aktifitas makan, menggunakan kosmetik, atau memanfaatkan berbagai hasil rekayasa teknologi, adalah bagian dari amal mukmin sebagai hamba Allah, yang wajib selalu terikat pada hukum syarak.
Ironi Mandatory Halal dalam Regulasi Kapitalisme
Dengan adanya kebutuhan terhadap kepastian kehalalan setiap produk pangan dan perdagangan bagi setiap muslim dan warga negara, maka keberadaan mandatory sertifikasi halal memang perlu dan wajib. Oleh karena itu, Islam sangat tegas menetapkan adanya jaminan halal tersebut. Dan dalam hal ini, negara wajib hadir sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam seluruh proses penetapan sertifikat halal demi terwujudnya jaminan halal bagi semua produk yang beredar di masyarakat.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah pihak satu-satunya yang diberi otoritas menerbitkan label halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Namun sejak Oktober 2019, Kemenag RI via BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), menggantikan LPPOM MUI dalam menerbitkan label halal ini. Hal ini merupakan implementasi dari UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster soal kemudahan perizinan usaha.
Jika ditelaah lebih jauh, ada aroma tak sedap di balik pemberian otoritas khusus terkait sertifikat halal oleh pemerintah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebagai konsekuensi dari UU Cipta Kerja tersebut. Ketentuan UU Cipta Kerja itu meniscayakan munculnya banyak LPH (Lembaga Penjamin Halal) baru selain LPPOM MUI. Meskipun hasil pemeriksaan LPH tersebut menjadi bahan bagi MUI untuk memfatwakan kehalalan, namun banyaknya substansi penetapan halal dalam UU JPH yang justru direduksi oleh UU Cipta Kerja, tak pelak membuat khawatir banyak pihak tentang proses penetapan jaminan halal tersebut.
Sebagai contoh, dengan alasan kemudahan perizinan usaha kerja, maka pengurusan izin dipermudah, waktunya diperpendek (dari 97 hari kerja untuk produk dalam negeri, dan 117 hari kerja untuk produk luar negeri, menjadi hanya 21 hari kerja saja) , dan pengakuan perpanjangan sertifikat halal bisa jadi tidak memerlukan pemeriksaan serta pengujian ulang. Sanksi penarikan barang dari peredaran pun dihapuskan dalam UU Cipta Kerja. Lokasi dan alat yang harus dipisahkan dengan unsur-unsur najis dan nonhalal juga dihapus, termasuk sanksi bagi yang melanggar pun dihapus.
Sementara syarat bagi auditor halal LPH (Lembaga Penjamin Halal) dan para penyelia (supervisor) dari perusahaan atau lembaga haruslah muslim, memiliki pemahaman soal kehalalan sesuai ketentuan syariat, serta mendahulukan kepentingan umat. Semua syarat itu dihapus dalam UU Cipta Kerja. Ini artinya tidak ada jaminan kredibilitas secara syar’i bagi para auditor halal LPH. Jangankan masalah ketakwaan sebagai perkara mendasar, kompetensi para auditor pun patut dipertanyakan.
Sungguh tampak warna kapiitalisme sekuler dalam implementasi kebijakan mandatory halal tersebut. Kebijakan ini nyatanya bukan untuk kemaslahatan 230 juta lebih umat Islam di negeri ini, karena memang kebijakan mandatory halal tersebut bukan dilandasi oleh ketakwaan untuk taat pada Allah. Bukan pula sebagai upaya pensyariatan Islam di Indonesia, sebagaimana yang ditegaskan oleh Kakanwil Departemen Agama Jatim, Bapak Husnul Maram. Rancangan mandatory halal ini hanyalah demi menyelamatkan para pelaku UMKM, dan sebagai langkah awal menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia.
Saat ini, negara memang menyediakan fasilitas berupa sejuta sertifikat gratis bagi pelaku UMKM. Namun jumlah ini sungguh tidak sebanding dengan jumlah pelaku UMKM di Indonesia, yang berdasarkan data Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2018 yang dilansir oleh portal berita djkn.kemenkeu.go.id mencapai 64,2 juta. Dengan fasilitas sertifikat gratis sebanyak 1 juta, berarti ada 63,2 juta pelaku UMKM yang harus membayar untuk mengurus sertifikat halal produknya. Belum lagi jika setiap pelaku UMKM tersebut punya lebih dari 1 produk yang harus diurus sertifikat halalnya. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pelaku UMKM untuk urusan sertifikat halal ini. Sungguh kebijakan yang memberatkan rakyat.
Jelaslah bahwa ini kebijakan yang sarat dengan corak kapitalisme. Dalam kapitalisme, industri halal dianggap sebagai ceruk besar untuk mendapatkan keuntungan materi. Apalagi faktanya, bisnis pangan tidak bisa dipisahkan dari pariwisata dan UMKM yang tengah dan terus digenjot oleh negeri ini sebagai sumber pemasukan riil demi mendongkrak ekonomi bangsa. Dengan kata lain, kebijakan mandatory halal ini bukan demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Tapi demi kepentingan ekonomi semata.
Inilah ironi mandatory halal dalam regulasi sistem kapitalisme sekuler. Kebijakan yang menyentuh ajaran Islam tentang pangan halal dan melibatkan kaum muslimin, tapi menolak syariat Islam. Apa yang menjadi harapan umat tentang jaminan pangan halal hanyalah harapan semu, karena pijakan kebijakannya yang sekuler, menghalalkan segala cara, dan mengedepankan keuntungan semata. Serta tanpa memerhatikan halal-haram dan berbagai titik kritis implementasi kebijakannya yang berpotensi melanggar ketentuan hukum syarak. Maka aturan yang dibuat terkesan seadanya, yang penting jalan, dan menguntungkan, tapi abai dari pemastian kesempurnaan implementasinya sesuai syariat.
Padahal jika mau menelaah lebih detil, jaminan kehalalan produk pangan dan semua barang perdagangan yang beredar di masyarakat, hanya bisa terwujud dalam masyarakat Islam yang hakiki, yakni dengan penerapan syariat Islam secara kaffah.
Pengaturan Islam
Secara prinsip, kebijakan mandatory halal adalah upaya memberikan jaminan kehalalan produk pangan, kosmetik, dan barang lainnya yang beredar di masyarakat. Dan ini bagian dari kemaslahatan yang memang menjadi hak setiap warga negara. Maka negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh implementasi dan prosesnya secara sempurna.
Karena mandatori halal ini adalah tugas negara, hendaknya terwujud prinsip-prinsip penting dalam pelaksanaan pengaturan urusan rakyatnya yang telah ditetapkan oleh Islam. Yaitu mudah dan tidak berbelit-belit dalam birokrasi, cepat dalam pelaksanaan tugas, dan didukung oleh SDM yang terampil dan kapabel di bidangnya. Prinsip-prinsip inilah yang sangat diperhatikan dalam Islam sebagaimana prinsip lembaga administrasi negara yang dijelaskan dalam kitab Ajhizah Daulah Al-Khilâfah fii Al-Hukmi wa Al-Idaarati.
Ketika negara menetapkan kebijakan mandatory halal sebagai bentuk jaminan kehalalan produk di tengah masyarakat, maka sudah selayaknya negara memberlakukan proses sertifikasi halal produk tersebut secara mudah dan gratis, sebagaimana pemenuhan hak-hak warga negara lainnya dalam Islam. Tersedianya produk halal dan thayyib itu kewajiban dan kebutuhan bagi rakyat terutama muslim. Dan negara adalah pihak yang wajib memenuhi itu semua sebagai bagian dari riayah terhadap rakyat.
Dalam hal ini, negara wajib memberikan edukasi pada seluruh rakyatnya tentang kewajiban mengonsumsi produk halal dan thayyib. Edukasi juga diberikan pada para produsen, sehingga mereka hanya memproduksi produk yang halal saja sebagai wujud takwa dan ketaatan pada Allah SWT. Rakyat juga dipahamkan tentang konsep rezeki sehingga selalu memperhatikan ketentuan syariat dalam bisnis dan usaha, keharaman berbuat dharar (bahaya), serta pola hidup sehat dengan mengonsumsi bahan pangan yang halal dan thayyib.
Edukasi ini dapat dimasukkan dalam materi kurikulum pendidikan yang dijalankan negara. Ditopang juga dengan berbagai arahan serta sosialisasi oleh negara melalui berbagai sarana media. Negara juga menerapkan sistem sanksi yang membuat jera bagi para pelanggar peraturan negara dan hukum syarak. Negara bahkan menjadi pengawas secara riil terhadap seluruh produk pangan dan barang-barang perdagangan yang beredar di masyarakat. Negara dapat mengaktifkan peran qadhi’ hisbah dan tentu saja dengan support dari syurthah (polisi), serta pemberlakuan sanksi bagi siapa saja yang melanggar ketentuan syarak dan negara.
Qadhi’ hisbah inilah yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap proses produksi dan distribusi bahan pangan, kosmetik dan barang perdagangan lainnya. Pengawasan tersebut dilakukan secara rutin ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, pabrik dan pusat produksi bahan olahan pangan, gudang pangan dan seluruh pusat penjualan produk pangan tersebut. Pengawasan itu dilakukan demi memastikan tidak adanya manipulasi atau kamuflase dalam proses produksi, dan segala proses yang melanggar ketentuan syariat tentang standar halal dan thayyib pada seluruh produk pangan. Sehingga negara dapat memastikan bahwa seluruh produk pangan yang beredar di masyarakat hanyalah yang halal, aman, dan thayyib.
Demikianlah mekanisme Islam dalam mewujudkan jaminan keamanan dan kehalalan produk pangan serta semua barang perdagangan yang beredar di masyarakat. Rakyat akan mendapatkan rasa aman dan tenang dalam mengonsumsi produk pangan yang ada di pasaran. Produsen pun terdidik dengan Islam sehingga hanya memproduksi produk pangan yang halal dan thayyib dengan landasan takwa. Masyarakat pun aktif melakukan kontrol sosial dengan amar makruf nahi munkar. Sementara negara, melalui qadhi hisbah dan support polisi, terus melakukan pengawasan ketat dan rutin ke seluruh wilayah negeri guna memastikan proses produksi dan distribusi produk pangan sesuai dengan standar syarak tentang halal dan thayyib.
Edukasi dan sosialisasi pun terus dijalankan oleh negara melalui kurikulum pendiidkan dan berbagai arahan via media informasi. Sistem sanksi yang diberlakukan negara juga turut men-support pelaksanaan semua kebijakan negara terkait produk pangan ini.
Dan itu semua membutuhkan support system politik Islam seutuhnya. Artinya, semua kebijakan hebat tersebut hanya akan bisa diimplementasikan secara baik dan sempurna dalam masyarakat Islam hakiki yang menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Jadi, demi terwujudnya jaminan keamanan dan kehalalan produk pangan, umat ini butuh Khilafah. Yaitu sistem pemerintahan agung berdasarkan wahyu Allah SWT, yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw. bagi umat ini.
Sistem negara yang benar-benar berkehendak me-riayah rakyatnya dan memberikan segala kemudahan bagi mereka karena landasan takwanya. Bukan negara yang bermental pedagang yang selalu menyulitkan rakyatnya, apalagi yang menetapkan kebijakan demi materi saja, menguntungkan para pengusaha kapitalis tapi menyulitkan rakyatnya. Dan untuk itu semua, harus ada dakwah politik yang diemban secara istikamah oleh umat ini demi tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalan naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]