Oleh: Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Opini — Kegagalan sistem sekuler kapitalisme telah terbukti di berbagai bidang. Salah satunya ketakmampuan kapitalisme mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakat, bahkan tidak memiliki konsep makna kebahagiaan itu sendiri.
Kapitalisme yang mengukur kebahagiaan dari sisi kepuasan fisik dan jasmani dengan nilai banyaknya harta yang dimiliki, telah melahirkan masyarakat yang rakus, individual, dan materialistis. Ditambah pijakan (asas)-nya yang sekuler —memisahkan agama dari kancah kehidupan— membuat jiwa masyarakat gersang dan kering, selanjutnya melahirkan kondisi masyarakat rentan depresi/ stres.
Negara kapitalis pun berusaha mewujudkan kebahagiaan semu dengan menetapkan 20 Maret diperingati sebagai Hari Bahagia Sedunia (International Day of Happiness) yang disahkan oleh PBB pada 28 Juni 2012. Kapitalisme baru memperbincangkan tentang kebahagiaan manusia ketika telah melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh penerapan kapitalisme.
Pada 2011, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mengakui kebahagiaan sebagai tujuan dasar manusia. Menyerukan pendekatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, adil, dan seimbang untuk kebahagiaan dan kesejahteraan.
Bhutan adalah negara pertama yang meluncurkan inisiatif mengakui kebahagiaan sebagai tujuan nasional mengembangkan konsep Gross National Happiness pada 1972. Mengutip publikasi Bhutan’s Gross National Happiness Index dalam Oxford Poverty and Human Development Initiative, konsep itu disampaikan Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck pada 1972. Konsep ini coba dikembangkan oleh Bhutan pada 2011.
Pada tahun yang sama, Jayme Illien (penasihat khusus PBB) mengusulkan konsep yang juga menjadi cikal bakal Hari Bahagia Sedunia. Jayme mendirikan proyek Paradigma Ekonomi Baru PBB dan happytalism.
Meski Hari Bahagia Sedunia sudah dicanangkan, tetapi kapitalisme tetap tidak mampu menutupi kegagalannya dalam mewujudkan kebahagiaan. Terbukti, masyarakat yang sakit jiwa makin meningkat. Mirisnya, konsep kebahagiaan ala kapitalisme ini justru diadopsi oleh masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim di dunia.
Budaya Flexing dan Thrifting, Korban Kapitalisme
Budaya flexing (pamer) dan polemik thrifting (belanja produk bekas) membuktikan bahwa masyarakat telah kehilangan makna kebahagiaan yang hakiki. Flexing, sebagaimana dikutip dari Cambridge Dictionary, merupakan tindakan menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih, tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Di AS, Kanada, dan Inggris, kata “flex” dan “flexing” dipakai untuk menjelaskan ‘orang yang suka memamerkan kemampuan dan kelebihannya di media sosial’.
Maraknya anak-istri para pejabat, bahkan pejabatnya sendiri, hingga kalangan pengusaha dan selebritas yang memamerkan hartanya yang berlimpah di media sosial membuka mata kita bahwa flexing menjadi budaya di negeri ini. Mereka pamer baju-baju mahal, kendaraan mewah, perjalanan mahal ke luar negeri, hingga rumahnya yang bertabur harta.
Ironisnya, ini terjadi di tengah puluhan juta masyarakat berjuang untuk bertahan hidup di tengah impitan ekonomi yang makin menyengsarakan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, bahkan masih banyak angka tengkes (stunting) di negeri ini.
Sementara itu, faktor penyebab fenomena flexing adalah karena masyarakat saat ini —yang sekuler— cenderung serba materialistis (mengukur segala sesuatu dengan uang/harta) dan individualis (mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan orang lain), menyebabkan sikap insecure (tidak percaya diri). Untuk menunjukkan eksistensi dirinya, mereka pun melakukan flexing.
Penegakan aturan yang memihak para pemilik modal yang mengakibatkan masyarakat sulit mengakses ekonomi, budaya korupsi dan suap akibat adanya kesempatan, serta merosotnya moral dan lemahnya pengawasan, memicu fenomena ini.
Oleh karenanya, belum reda dengan persoalan flexing, kini publik dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah yang anti-thrifting. Thrifting adalah aktivitas menjual dan membeli produk bekas yang masih layak pakai, umumnya pakaian. Pemerintah begitu khawatir masuknya 27.420 ton baju bekas yang pada 2021 bernilai hampir 32 juta dolar AS itu merusak tatanan industri tekstil dalam negeri. (Kompas, 20/03/2023).
Alih-alih mengkhawatirkan keselamatan gaya hidup generasi muda, pemerintah justru fokus pada kekhawatiran ekonomi akibat thrifting. Mengatasnamakan melindungi produk UMKM, industri tekstil dalam negeri, serta dampak kesehatan, pemerintah kembali mempertegas larangan impor baju bekas ilegal. Bahkan, Presiden Jokowi buka suara mengenai impor pakaian bekas yang kian marak belakangan ini.
“Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri, sangat mengganggu. Jadi yang namanya impor pakaian bekas mengganggu, sangat mengganggu industri kita,” katanya dalam Business Matching Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), Rabu (15/03/2023).
Thrifting memang merupakan gaya hidup generasi muda untuk tampil mewah dengan harga murah. Banyak yang mengandalkan thrifting sebagai pilihan untuk mematut diri dalam berbusana. Ini diakui oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki bahwa maraknya bisnis thrifting yang menjual pakaian bekas, termasuk impor, salah satunya disebabkan adanya peminat. Menurutnya, ada banyak peminat pakaian dan barang bekas impor ilegal, terutama kalangan muda.
Thrifting pun menjadi polemik, bahkan ada yang berkomentar bahwa thrifting tidak sekadar gaya hidup rakyat kecil untuk menyiasati mahalnya harga busana, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap kaum kaya dan pejabat yang tega mengumbar kekayaan di media sosial.
Ini semua membuktikan bahwa penguasa yang menerapkan kapitalisme tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, hingga rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan barang bekas, padahal kekayaan alam negerinya melimpah ruah.
Islam Pemilik Konsep Kebahagiaan Hakiki
Memang benar, kekayaan bukanlah sumber kebahagiaan. Namun, tercukupinya kebutuhan hidup manusia akan membawa kebahagiaan. Kekayaan alam yang melimpah ruah akan membawa kebahagiaan buat rakyat jika dikelola sesuai syariat Islam. Ini karena sumber kebahagiaan adalah ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw..
Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul-Islam, kebahagiaan adalah meraih rida Allah Ta’ala. Kebahagiaan akan diraih tatkala seseorang menjalankan kehidupan ini sesuai perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya, semata untuk mencari rida Allah Ta’ala.
Firman Allah SWT dalam QS An-Nahl [16]: 112,
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلْجُوعِ وَٱلْخَوْفِ بِمَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”
Dalam salah satu karya tokoh terkemuka Imam Al-Ghazali, Mizanul-Amal, membahas secara komprehensif tentang kebahagiaan (lihat “Kata Pengantar Al-Ghazali”, 1989: 7). Dalam terminologi bahasa Arab, kata “bahagia” juga berarti sa’adah (سعادة), yang bermakna ‘ketiadaan derita’ (خلاف الشقاوة).
Imam Al-Ghazali di berbagai kitabnya menggambarkan tentang makna kebahagiaan. Sedangkan dalam pandangannya beliau menjelaskanbahwa bahagia atau kebahagiaan merujuk pada istilah sa’adah yang berhubungan dengan dua dimensi eksistensi, yakni dunia dan akhirat.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Âli ‘Imran: 14)
Dari Anas ra. berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda,
عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ثلاث مهلكات: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ.
“Tiga hal yang mencelakakan, yakni sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti, dan rasa bangga terhadap diri sendiri.” (HR Baihaqi, Syekh Albani menghasankan hadis ini)
Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan ketakwaan, keimanan, dan amal saleh. Bukan dengan tumpukan harta, kebesaran takhta, ataupun kecantikan wanita sebab semua itu semu. Oleh sebab itu, sungguh celakalah orang yang menjual agamanya demi kebahagiaan yang tidak hakiki ataupun menjual akhiratnya demi kepuasan hawa nafsu. Hanya kegundahan, kesedihan, dan kesempitanlah yang akan didapatkannya.
Allah Azza wa Jalla mengingatkan dalam (QS Thâhâ: 124),
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”
Sungguh, jika syariat Islam diterapkan secara kaffah (keseluruhan), mampu mewujudkan kebahagiaan (rahmat) bagi seluruh alam. Dalam QS Al-Anbiya: 107, Allah SWT berfirman,
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Flexing dalam pandangan Islam
Sebagai agama yang sempurna dan mengatur kehidupan secara menyeluruh, Islam menetapkan letak kebahagiaan adalah rida Allah Ta’ala. Ketika seseorang memiliki harta, harus dipastikan cara memperolehnya sesuai dengan syariat Islam. Islam melarang korupsi, suap, riba, dan jalan haram lainnya.
Islam pun mengatur pemanfaatan harta yang dimiliki oleh seseorang. Islam melarang seseorang berbuat israf (melampaui batas dan melanggar keseimbangan) dan tabzir (menghamburkan harta). Makna syar’i-nya adalah israf wa tabzir, yang berarti membelanjakan harta dalam perkara yang Allah larang/ haramkan. Bahkan, pelaku israf dan tabzir dianggap lemah akal sebagaimana dalam QS An-Nisa: 5.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Allah SWT juga berfirman dalam QS Al-A’raf: 31,
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Islam juga melarang berbuat foya-foya dan sombong dan memandang keduanya sebagai tindakan dosa dan pelakunya mendapat azab.
Allah SWT berfirman dalam (QS Al-Mukminun: 64),
حَتّٰٓى اِذَآ اَخَذْنَا مُتْرَفِيْهِمْ بِالْعَذَابِ اِذَا هُمْ يَجْـَٔرُوْنَ ۗ
“Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong.”
Allah SWT mengecam orang yang mementingkan kemewahan untuk dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain. Itu termasuk tindakan zalim.
Allah SWT berfirman dalam (QS Hud: 116),
“Maka mengapa tidak ada di antara umat-umat sebelum kamu orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (berbuat) kerusakan di bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang yang telah Kami selamatkan. Dan orang-orang yang zalim hanya menyuguhkan kenikmatan dan kemewahan. Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”
Perilaku flexing adalah bagian dari gaya hidup berfoya-foya dan merupakan bentuk kesombongan. Islam pun memerintahkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan karena ini bagian dari adab seorang muslim.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kesederhanaan adalah sebagian dari iman.” (HR Abu Dawud)
Peran Penting Negara dalam Mewujudkan Kebahagiaan Rakyatnya
Negara sebagai perisai umat berkewajiban menjaga rakyatnya senantiasa dalam rida Allah SWT. Sehingga akan melahirkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Terjaganya keimanan individu dan masyarakat merupakan tanggung jawab negara. Terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih dari segala bentuk kemaksiatan, seperti gaya hidup berfoya-foya, korupsi, suap, dan sebagainya adalah dengan melaksanakan penerapan syariat Islam secara kaffah.
Negara juga melindungi masyarakat dari segala propaganda yang merusak rakyat, seperti flexing dan segala bentuk liberalisasi budaya. Rakyat akan diarahkan pada aktivitas yang produktif dan bermaslahat bagi umat Islam, serta sesuai tuntutan syariat. Negara juga akan menegakkan hukum peradilan yang adil dan berefek jera bagi pelaku kemaksiatan. Dengan mekanisme tersebut, kebahagiaan hakiki akan terwujud di tengah masyarakat. Wallahu a’lam. [SM/Ah]