Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Seiring dengan jauhnya pemahaman umat terhadap Islam, maka budaya pamer harta (flexing) kian menyeruak. Bukan hanya dilakukan oleh orang bergelimang harta namun juga orang yang kurang berada. Sungguh ini merupakan fenomena yang perlu diwaspadai, karena tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.
Memang sejatinya manusia memiliki fitrah. Salah satunya adalah naluri mempertahankan diri atau gharizatul-baqa’. Penampakannya adalah ingin eksis, ingin memiliki harta dan kedudukan di masyarakat. Namun fitrah ini butuh pemenuhan yang tepat agar tidak terjebak pada pemenuhan yang keliru dan merusak. Jika tidak, akan mendatangkan masalah dan kesulitan bagi manusia sendiri. Sebagaimana yang terjadi saat ini, masyarakat gemar melakukan flexing hingga akhirnya berbohong dan berurusan dengan aparat.
Tentu saja hal ini tidak boleh terus dibiarkan. Islam telah memberikan batasan bagaimana cara sah dalam memenuhi naluri baqa‘ demi keselamatan dan kemaslahatan manusia. Islam tidak membebaskan manusia tanpa batas namun juga tidak mengekangnya.
Hukum-hukum Islam telah merinci bagaimana cara seseorang mendapatkan harta, mengelola harta, hingga mengeluarkan harta yang sah. Bahkan sikap wara‘ diajarkan agar senantiasa berhati-hati dari segala hal yang tidak sesuai dengan batasan Islam.
Definisi dan Keutamaan Wara‘
Wara‘ adalah salah satu sikap yang semestinya dipelihara dalam diri setiap umat, baik muslim maupun muslimah. Sikap ini mencerminkan ketaatan dan kepatuhan seorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala serta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan menurut istilah, wara‘ adalah meninggalkan segala sesuatu yang membuat ragu, menepis apa pun yang dapat menodai hati, memilih hal yang lebih meyakinkan, dan menggiring nafsu kepada hal-hal yang berat untuk dikerjakan. Sederhananya, wara’ adalah menjauhi hal-hal yang syubhat (samar-samar) dalam Islam.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara.’” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan. Syekh Al Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib 68 mengatakan bahwa hadis ini shahih lighairihi).
Wara‘ adalah sikap hati-hati terhadap hal-hal yang masih diragukan status keharamannya. Abu Usman mengatakan, pahalanya adalah kemudahan perhitungan di akhirat. Bahkan, dikatakan pula bahwa bobot sebutir wara‘ yang cacat lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan salat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qana’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR Ibnu Majah no. 4217. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim mengenai pengertian wara’, beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul Qayyim menjelaskan,
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في الورع
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadis ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadis tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Wara‘ dalam Masalah Harta
Salah satu bentuk wara‘ adalah dalam hal harta dan mata pencaharian. Maksudnya menjaga diri dari perolehan harta yang haram dan mengeluarkan harta dengan cara yang batil. Bahkan harus berhati-hati dalam hal yang subhat atau belum jelas kehalalannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari rezeki yang haram, neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ahmad)
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk makan makanan yang halal dan ath-thayyibat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ …
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik…” (QS. Al-Baqarah[2]: 172)
Maka perolehan dan pengeluaran harta harus menjadi perhatian, sehingga tidak terjerumus pada kemaksiatan dan kesia-siaan. Perolehan harta yang batil seperti dari hasil korupsi, memalak, riba, judi, muamalah yang tidak sah, dan lain sebagainya. Juga, pengeluaran harta yang batil seperti kikir, pamer, menghambur-hamburkan harta, berbangga-bangga dan sombong terhadap harta, merupakan sikap yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berhati-hati dalam masalah halal dan haram, mencerminkan ketakwaan seorang hamba. Karena dengan sifat ini, kebaikan agama seseorang akan selalu terjaga dengan izin Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Barang siapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut maka berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram (dilarang dalam Islam)…”. (HR Muslim, no 1599)
Sikap wara‘ ini telah dipraktikkan pada masa para sahabat. Sebagaimana kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.. Dari ‘Aisyah radhiallahu ’anha bahwa ayah beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar ra. (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar ra. memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar ra. balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?”. Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliah, aku pernah melakukan praktik perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang Anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”.(HR Bukhari no. 3629)
Membangun Sikap Wara‘ pada Muslimah
Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membangun sikap wara‘ khususnya pada muslimah.
Pertama, tanamkan keimanan yang kokoh. Bahwa manusia adalah hamba, ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan kembali kepada-Nya untuk dimintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuataannya selama di dunia. Apakah sesuai dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak. Barang siapa beriman dan beramal saleh maka balasannya surga, sedangkan siapa yang ingkar dan bermaksiat balasannya neraka.
Kedua, memahami seluruh hukum Islam dan beramal saleh sesuai ketentuannya. Keimanan yang kokoh harus disertai dengan pemahaman terhadap Islam kaffah dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Ketiga, menumbuhkan sikap berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat bahkan yang mubah karena khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
Keempat, selalu berjuang secara berjemaah dalam memperbaiki umat sehingga sikap wara‘ terus terjaga dan terus disebarluaskan di tengah masyarakat hingga terwujud sistem kehidupan Islam.
Kelima, bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dimudahkan untuk membangun sikap wara‘ tidak hanya bersifat individu, namun juga dalam masyarakat dan negara.
Demikianlah, sikap wara‘ harus terus dibiasakan oleh muslim dan muslimah agar selamat di dunia dan akhirat menggapai keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]