Oleh: Ashaima Va
Suaramubalighah.com, Opini — Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para wali yang sanadnya sampai ke tabiin, lalu diajarkan turun temurun pada murid-muridnya hingga Islam bisa menjadi agama terbesar di negeri ini. Begitu pula dengan organisasi terbesar Nahdhatul Ulama atau NU. Sanad keilmuan NU melalui runutan yang jelas sampai ke Rasulullah saw. Sebagaimana disampaikan Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Banyuwangi, K.H. Masykur Ali. (timesindonesia.co.id, 10/04/2017)
Menurut beliau para pendiri pesantren NU merupakan murid dari KH. Hasyim Asy’ari yang pernah nyantri pada K.H. Kholil di Bangkalan, Madura. KH. Kholil sendiri merupakan murid dari Syaikh Nawawi Al-Bantani. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah seorang ulama yang secara langsung pernah berguru pada thabi’ut thabi’in yang merupakan murid dari tabiin. Tabiin sendiri berguru pada para sahabat Rasul yang diajarkan langsung oleh Rasulullah.
Begitulah tradisi keilmuan Islam terjaga sanadnya sampai ke Rasulullah. Namun terjaganya sanad keilmuan ini apakah bisa disamakan dengan sistem keilmuan di Eropa Barat? Sebagaimana yang disampaikan pimred NU Online, Ivan Aulia Ahsan. Menurut Ivan, sanad keilmaun para ulama NU bisa disamakan dengan sistem keilmuan Eropa Barat. Para ilmuan Eropa abad ini runutan keilmuannya bisa sampai ke zaman renaissance. Dari Stephen Hawking sampai ke Sir Isaac Newton pada abad ke-17.
Menyamakan sanad keilmuan Islam khususnya para ulama NU dengan sanad keilmuan di Eropa, secara implisit mengatakan bahwa keilmuan di Eropa itu lebih hebat. Sehingga ketika sama akan menjadi hebat juga.
Padahal jika diteliti lebih dalam dari sisi sanad dan sumber ilmu antara keilmuan Islam dengan keilmuan Eropa ialah berbeda. Ungkapan tersebut justru menunjukkan sikap inferiority complex, atau kompleks inferioritas. Yakni suatu keadaan dimana seseorang menganggap bahwa dirinya lebih rendah dari manusia di sekitarnya. Dalam hal ini merasa keilmuan Islam lebih rendah dibandingkan keilmuan Eropa. Hal ini jika dibiarkan akan melahirkan sikap terjajah, dan tidak percaya diri.
Dalam sistem Islam, keilmuan akan dibedakan terlebih dahulu antara tsaqafah dan ilmu pengetahuan (sains dan teknologi). Tsaqafah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan akidah Islam sebagai sebab dalam pembahasannya. Di dalam Syakhsiyyah Islamiyyah juz I karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani ra., menjelaskan bahwa tsaqafah Islamiyah ada berupa pengetahuan-pengetahuan yang mengandung akidah Islamiyah dan membahasnya seperti ilmu tauhid. Pengetahuan yang secara langsung menjadikan akidah Islamiyah sebagai pembahasannya.
Juga merupakan tsaqafah Islam yang berupa pengetahuan-pengetahuan yang terbangun dari akidah Islamiyah ( المعارف كانت مبنية على العقيدة الإسلامية ) seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu hadis. Tidak akan sempurna pengetahuan dan sikap kita tentang Islam tanpa dengan benar memahami ilmu-ilmu yang terbangun dari akidah Islamiyah ini.
Sumber tsaqafah ialah dari sumber hukum Islam yang muktabar yakni Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat dan qiyas. Metodenya dengan proses ‘aqliyah dan naqli (dalam hal akidah). Lalu menggali dari nas-nas syar’i (Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat dan qiyas) dengan proses ijtihad dan tarjih (mencari dalil terkuat) dalam perkara yang boleh berijtihad. Sehingga hanya ulama (ilmuwan) yang menggunakan sumber dan metode ini akan dijadikan sanad ilmu tsaqafah. Dalam hal ini tidak boleh menggunakan metode ilmiah (eksperimen).
Sementara untuk sains dan teknologi, seperti tekno, industri, pertanian, kedokteran, arsitektur, pertambangan, dll., maka Islam menggunakan metode ilmiah (eksperimen). Untuk sosiologi, ilmu pendidikan, psikologi, seni rupa, dan seni tari, masuk kategori tsaqafah bukan ilmu pengetahuan dan harus merujuk kepada nash-nash syar’i. Untuk sains dan teknologi maka sanad ilmu kepada ahlinya, termasuk boleh mengambil dari orang nonmuslim. Sebab sains dan teknologi tidak hanya dimiliki oleh umat tertentu, namun berlaku untuk seluruh umat di dunia.
Sementara keilmuan Barat (Eropa) tidak ada perbedaan antara tsaqafah dengan ilmu sains dan teknologi. Semua bidang ilmu diperoleh dengan metode ilmiah (ekperimen) berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Sehingga jika hanya berpijak pada metode ini akan tidak mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat idea/ abstrak. Metode ini pula sering kali mengabaikan maklumat sebelumnya yang berasal dari Sang Pencipta. Jadi jangan heran jika teori-teori keilmuan Barat kental dengan ide-ide sekuler atau bahkan atheisme.
Metode ilmiah menggunakan metode eksperimen, menggunakan perlakuan khusus sampai diperoleh kesimpulan. Dari thariqah ini lahir teori-teori keilmuan modern yang bermanfaat bagi kehidupan. Hanya saja metode ini sangat memungkinkan terjadi kesalahan. Sampai dilakukan eksperimen-eksperimen berikutnya yang mengoreksi eksperimen sebelumnya. Contohnya atom, dulu diyakini atom adalah zat terkecil yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Namun eksperimen kekinian menunjukkan atom masih bisa dibagi-bagi lagi.
Berbeda dengan Islam, metode pembelajaran Islam setidaknya dapat disimpulkan menjadi tiga perkara.
Pertama, Islam menggunakan thariqah ‘aqliyah atau metode rasional, yaitu suatu metode berpikir yang komprehensif dalam mengkaji hakikat sesuatu. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang fakta serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman terhadap fakta tersebut.
Begitulah metode yang digunakan dalam meyakini adanya Pencipta. Allah diyakini dengan pembenaran yang bersifat pasti. Keimaanan pada Allah, Rasul, dan Kitab-Nya dan diyakini dengan dalil ‘aqli. Dan dari dalil ‘aqli akan diyakini keberadaan sesuatu yang ghaib melalui dalil naqli. Keimanan pada malaikat, hari akhir, dan qadha-qadar adalah sesuatu yang diyakini melalui dalil naqli, yang sumbernya bisa dibuktikan secara rasional yaitu Allah SWT.
Dengan demikian pembelajaran Islam mesti diajarkan dengan cara talqiyan fikriyan yaitu pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan. Pembelajaran Islam terjaga secara bersanad atau bersambung dari Rasulullah yang mengajarkannya pada para sahabat, bersambung ke thabi’in, lalu thabi’ut thabi’in. Para ulama thabi’ut thabi’in akan mengajarkan pada murid-muridnya hingga bisa sampai ke umat saat ini.
Kedua, orang yang belajar mesti meyakini apa yang sedang dipelajarinya sehingga dia akan beraktivitas dengannya. Dengan demikian tsaqafah Islam akan memiliki pengaruh dalam jiwa yang akan menggerakkan seseorang untuk mengamalkannya.
Ketiga, Islam dipelajari sebagai pelajaran yang bersifat praktis. Islam bukan dipelajari hanya sebagai teori namun dipelajari untuk diaplikasikan dalam kancah kehidupan. Maka hukum syarak akan menjadi solusi yang akan diaplikasikan dalam kancah kehidupan.
Alhasil dalam Islam jika terkait aqidah dan syari’ah maka mutlak harus menggunakan metode ‘aqliyah atau rasional. Karena aqidah dan syari’ah mesti dibangun dari sesuatu yang bersifat pasti bukan dari sesuatu yang relatif. Lain halnya jika menyangkut ilmu pengetahuan sains maka masih bisa menggunakan metode ilmiah.
Menyamakan Islam dengan metode keilmuan Barat hanya akan membuat Islam menjadi sesuatu yang bersifat eksperimen yang bisa jadi mengandung kesalahan. Tentu itu bertentangan dengan prinsip keilmuan Islam yang sudah dibuktikan dengan pembenaran yang bersifat pasti.
Lebih berbahaya lagi jika Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah-nya dipelajari dengan metode pembelajaran Barat. Setiap hal akan dikaji secara eksperimental, menggunakan premis-premis yang berpijak pada akal semata. Maka tak heran jika nantinya Islam hanya akan diambil spiritnya saja.
Islam yang diajarkan secara talqiyan fikriyan sejak zaman Rasulullah sampai ulama-ulama mutaakhirin akan senantiasa terjaga kebenaran dan kepastiannya. Maka sungguh tak setara jika disamakan dengan sistem keilmuan Barat. Wallahu a’lamu bishshawab. [SM/Ah]