Oleh: Hj Padliyati Siregar, S.T.
Suaramubalighah.com, Opini — Aroma tahun politik semakin tercium. Umat Islam menjadi sasaran utama meraup suara. Ketika pejabat pemerintah melarang berbicara politik di masjid, namun di sisi lain mereka masif bergerilya ke pondok pesantren. Perempuan muslim pun menjadi salah satu targetnya, termasuk kalangan istri dan anak kiai pengasuh pondok pesantren, yang biasa dipanggil ‘Nyai’ dan ‘Ning’.
Pada Minggu, 26 Februari 2023 ratusan nyai dan ning dari 27 kabupaten/ kota di Jawa Barat menggelar doa bersama agar Indonesia diberikan pemimpin yang tepat dan amanah, dan secara gamblang mendukung salah satu bakal calon pemimpin bangsa ini.
Politik transaksional khas politik demokrasi pun nampak terlihat. Harapan dan asa disampaikan oleh salah satu nyai, berharap sang bakal calon ini mampu meningkatkan kualitas pondok pesantren di Indonesia. Mengingat pondok pesantren di Indonesia khususnya di Jawa Barat butuh uluran bantuan untuk pengembangan.
Muslimah pun dibajak oleh politik demokrasi. Seolah berpolitik hanya sebatas dukung mendukung calon presiden dan pesta demokrasi saja. Dengan iming-iming kesejahteraan dan kesetaraan, muslimah digiring ke arah politik demokrasi. Hanya melalui sosial media, pencitraan sang pemimpin dilakukan untuk menghipnotis masyarakat. Iming-iming dan janji manis penuh kebohongan pun dimainkan.
Sejujurnya, jika kita perhatikan kondisi perempuan Indonesia saat ini, tidak jauh beda dengan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat negeri ini tengah berada dalam keterpurukan di seluruh aspek kehidupan, jauh dari kata sejahtera. Negeri ini makin karut-marut, penguasa tidak mampu mengayomi rakyatnya.
Kebijakan yang lahir bukannya menyejahterakan rakyatnya justru membuat rakyat makin menderita. Pengangguran di mana-mana, kejahatan merajalela, harga barang-barang tak terkendali, utang makin menggunung. Penyebab permasalahan bangsa ini termasuk masalah pondok pesantren yang menimpa negeri ini sesungguhnya terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler.
Sistem yang menjadikan manfaat sebagai asasnya sangat jelas tidak memihak rakyatnya. Wajar jika kerusakan terjadi di mana-mana, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Lalu, dengan fakta seperti ini, apakah kita bisa katakan representasi perempuan negeri ini dalam politik hanya sebatas dukung-mendukung bakal calon pemimpin?
Realitas nya keterlibatan perempuan dalam politik sistim demokrasi saat ini hanyalah dimanfaatkan untuk mendulang suara. Jelas ini bentuk pembajakan peran politik perempuan yang dilakukan oleh sistem demokrasi.
Apa Makna Politik yang Sebenarnya?
Perkara ini penting untuk dijelaskan supaya tidak ada kesalahpahaman dalam mengimplementasikan makna politik tersebut, sehingga akan terang mana yang termasuk aktivitas politik dan mana yang berada di luar wilayah politik.
Kata politik dalam bahasa Arab sama dengan “sâsa-yasûsu-siyâsat[an]”; artinya mengurusi, dan bisa juga dimaknai memelihara. Telah banyak ahli yang mendefinisikan makna politik ini, di antaranya Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menyatakan bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.
Berdasarkan cakupan pengaturan urusan umat tersebut menurut Abdul Qodim Zallum meliputi urusan dalam negeri maupun luar negeri. Sementara pelaksananya adalah negara (pemerintah) maupun umat.
Negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya. (Abdul Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Al Izzah, 2001).
Tanggung jawab negaralah untuk memastikan semua urusan rakyatnya terselenggara dengan baik sehingga mereka mendapatkan hak-haknya secara sempurna sebagai warga negara. Islam telah menetapkan ketentuan yang lengkap untuk mengatur urusan umat ini.
Dalam pandangan Islam masalah politik bukan hanya terbatas pada jabatan resmi dalam pemerintahan atau wilayah legislasi semata. Dari dalil-dalil terkait sistem aturan yang ditetapkan Islam menunjukkan bahwa Islam mengatur semua urusan manusia secara tuntas dan menyeluruh.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT bukan hanya menjelaskan terkait ibadah mahdhah seperti kewajiban shaum Ramadhan yang tampak dalam lafaz “kutiba ‘alaykum ash-shiyâm” (QS Al-Baqarah [2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishash dalam perkara pembunuhan; “kutiba ‘alaykum al-qishâsh” (QS Al-Baqarah [2]: 78).
Demikian juga Islam memerintahkan untuk melakukan perang (jihad) seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah [2]: 216, dalam ayat ini Allah SWT menggunakan lafaz “kutiba ‘alaykum al-qitâl”. Menurut para mufasir, semua frasa “kutiba ‘alaykum” dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna “furidha ‘alaykum”.
Selain mengatur hukum qishas dan jihad, Islam juga menjelaskan hukum terkait persoalan kehidupan lainnya seperti masalah ekonomi yang menetapkan hukum keharaman riba dan menghalalkan perdagangan (QS Al-Baqarah [2]: 275], juga saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Demikianlah gambaran kesempurnaan pengaturan Islam dalam menyelesaikan permasalahan manusia. Penerapan politik Islam yang dijalankan oleh negara sebagai pihak penanggung jawab dan sisi lain ada rakyat yang keterlibatan politiknya ditunjukkan dalam kontribusinya melakukan muhasabah (pengawasan) terhadap kinerja negara akan meniscayakan terjaminnya urusan rakyat.
Namun ketika politik hanya dimaknai terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja, wajar jika aktivitas politik lebih fokus pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya menduduki jabatan kekuasaan dan legislasi.
Salah satu konsekuensinya, perempuan yang tidak terlibat dalam struktur pemerintahan atau legislasi dianggap tidak berperan dalam politik sekalipun mereka pada faktanya sudah terlibat aktif dalam penyelesaian urusan umat, mereka aktif terjun di masyarakat demi terealisasinya kesejahteraan umat seperti melakukan dakwah dalam rangka pencerdasan umat.
Tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bukti bahwa indikator peran politik perempuan dewasa ini diukur oleh keberadaannya dalam parlemen.
Peran Politik Muslimah untuk Membangun Peradaban Islam
Sungguh, Islam telah memberikan posisi yang luar biasa kepada perempuan. Di satu sisi ia sebagai bagian dari keluarga dan di sisi lainnya ia adalah bagian dari masyarakat. Di dalam keluarga, ia adalah istri dan ibu, tugas ini merupakan amanah utama dan mulia bagi seorang muslimah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR Bukhari Muslim)
Jika amanah ini terlaksana dengan baik, akan lahir anak-anak saleh-salehah, generasi rabbani penerus peradaban Islam. Sulit dibayangkan anak akan tumbuh menjadi generasi rabbani tanpa sentuhan pendidikan Islam yang didapatkannya dalam keluarga, terutama pengasuhan dan pendidikan yang diberikan ibu.
Ibulah yang pertama kali berinteraksi dengan anak, ia yang akan menghantarkannya menjadi insan sempurna, manusia baligh yang siap mengemban taklif hukum sebagai hamba Allah sebagaimana kedua orang tuanya. Dalam konsep membangun peradaban, fase ini merupakan masa yang sangat penting. Baik-buruknya masa depan anak ditentukan pendidikan yang diberikan ayah dan ibunya.
Di sinilah peran strategis dan politis seorang muslimah, ia sadar peran ibu merupakan amanah terbesar yang diberikan Allah SWT yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, mengemban amanah mulia demi keberlangsungan hidup manusia dalam naungan institusi Khilafah yang menerapkan Islam kaffah. Demikian halnya, sebagai bagian dari masyarakat, seorang muslimah pun mempunyai peran strategis. Ia memiliki andil besar untuk melakukan pencerdasan kepada kaumnya.
Semangat membangun peradaban Islam yang sudah terhujam dalam jiwanya tidak akan menjadikan dirinya berpangku tangan membiarkan umat berada pada sistem yang rusak, jauh dari keberkahan. Sebaliknya, ia akan terdorong untuk bersegera terlibat aktif dalam dakwah, menyeru sesamanya untuk meyakini kebenaran Islam, dan siap menaati seluruh konsekuensi keimanan tersebut berupa ketaatan sempurna pada syariat Islam.
Kesibukan dalam menunaikan kewajiban di ranah domestik sebagai istri dan ibu tidak akan menjadi alasan yang menghalanginya untuk optimal di medan dakwah. Sebaliknya, dia akan mengerahkan segenap upaya, sehingga mampu menyinergikan semua perannya secara sempurna dengan tidak mengabaikan salah satunya.
Pemahaman akan kewajiban bergabung dalam sebuah jemaah dakwah akan mengarahkannya untuk serius dan sungguh-sungguh mencari kelompok mana yang layak memimpin perjuangannya. Manakala ilmu telah membimbingnya menemukan kelompok yang dimaksud, dia pun tidak akan menunda untuk menjatuhkan pilihan menjadi salah satu anggota jemaah dakwah tersebut.
Pilihan berjemaah bukan semata karena sulit dan beratnya dakwah sendirian, namun yang utama adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT. Bersama jemaah dakwah inilah, seorang muslimah akan merealisasikan visi membangun peradaban cemerlang, berupa pembinaan yang dilakukan demi lahirnya kader-kader dakwah mumpuni.
Selanjutnya, bersama-sama dengan kader-kader terpercaya ini, ia akan terjun ke tengah masyarakat guna membangun opini umum terkait kewajiban penerapan Islam kaffah di tengah kehidupan. Melalui aktivitas-aktivitas dakwah ini, dengan izin Allah SWT akan tegak syariat kaffah di muka bumi ini dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]