Hafshah Binti Umar: Ahli Puasa dan Penjaga Al-Qur’an yang Pertama bagi Umat Islam

Oleh: Marni Rosmiati

Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif – Ramadan adalah bulan turunnya Al-Qur’an (nuzululqur’an). Al-Qur’an pertama kali diturunkan di gua Hira sebelah utara Makkah, pada 17 Ramadan 610 M. Proses turunnya Al-Qur’an sendiri dibagi menjadi dua tahap. Yaitu pertama, Al-Qur’an diturunkan secara lengkap pada lailatulqadar dari Lauhulmahfuzh ke langit dunia (sama’u dunya). Kedua, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur.

Selanjutnya setiap sahabat yang mendengar satu ayat dari Rasulullah, maka dia langsung menghafalnya atau menuliskannya pada media yang seadanya seperti tulang belikat unta, pelepah kurma, potongan kulit, atau permukaan batu cadas.

Selanjutnya di masa Khalifah Abu Bakar terjadi Perang Yamamah yang mengakibatkan banyaknya penghafal Al-Qur’an yang syahid. Maka atas saran Umar bin Al-Khaththab kepada Abu Bakar ialah dikumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur’an yang tercecer pada pelepah kurma, permukaan batu cadas, serta menuliskan dari hafalan orang-orang secara mutawatir menjadi bentuk lembaran-lembaran (suhuf). Tugas ini diserahkan kepada Zaid bin Tsabit.

Mushaf tersebut disimpan di tangan Abu Bakar sampai ia wafat. Lalu disimpan oleh Umar hingga beliau juga wafat. Kemudian Hafshah binti Umar-lah yang dipercaya untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama tersebut.

Salah seorang istri Rasulullah yang paling berjasa menjaga mushaf Al-Qur’an adalah Hafshah binti Umar. Hafsah binti Umar adalah putri dari sahabat Nabi saw., Umar bin Al-Khaththab.

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Al-Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay. Hafshah lahir dan tumbuh dari suku Arab Adawiyah. Hafshah pun tumbuh menjadi wanita muda yang berparas cantik, bertakwa, dan disegani.

Pertama Hafshah menikah dengan Khunais bin Khudzafah bin Qais bin As-Sahmi Al-Quraisy, mujahid saleh yang berhijrah dua kali, ikut dalam Perang Badar, dan Perang Uhud. Namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami sewaktu Perang Uhud. Hafshah pun menjadi janda di usia muda yaitu 18 tahun.

Umar bin Al-Khaththab sangat prihatin dan ikut merasakan kepedihan Hafshah yang menjanda dalam keadaan yang masih muda. Setiap kali beliau masuk rumah, beliau melihat Hafshah sedang bersedih. Umar bin Al-Khaththab berpikir keras untuk menghibur putrinya. Beliau akhirnya berusaha untuk mencarikan suami baru untuk Hafshah agar kebahagiaan dan senyuman dapat kembali tampak di wajah Hafshah.

Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah saw.. Umar memilih Abu Bakar karena beliau memiliki sifat tenggang rasa dan penuh kelembutan sehingga diharapkan mampu membimbing Hafshah yang memiliki watak tegas dan bersemangat tinggi sebagaimana ayahnya.

Namun ternyata Abu Bakar hanya diam saat diminta oleh Umar untuk menikahi putrinya. Maka pulanglah Umar dengan kecewa dan hampir-hampir ia tidak percaya dengan sikap Abu Bakar. Kemudian Umar melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang saat itu istri beliau yang bernama Ruqayyah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang dideritanya.

Umar menceritakan kondisi putrinya kepada Utsman dan menawari beliau agar mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab, “Aku belum ingin menikah hari ini.” Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman setelah ditolak juga oleh Abu Bakar. Umar merasa malu terhadap kedua sahabatnya tersebut, padahal mereka berdua adalah kawan karibnya.

Kemudian beliau mendatangi Rasulullah saw. dan mengadukan keadaannya dan sikap penolakan Abu Bakar dan Utsman. Maka tersenyumlah Rasulullah seraya bersabda :

يَتَزَوَّجُ حَفْصَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُثْمَانَ ; وَيَتَزَوَّجُ عُثْمَانُ مَنْ هِيَ خَيْرٌ مِنْ حَفْصَةَ (رواه أبو يعلى)

“Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Utsman, sedangkan Utsman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshah.”

Mendapat jawaban tersebut dari Rasulullah wajah Umar menjadi berseri-seri. Hilanglah segala kesedihan dan kegundahan hatinya, maka secepatnya ia segera mengabarkan berita gembira ini kepada semua orang yang dicintainya.

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, pernikahan yang indah dan berkah antara Nabi saw. dengan Hafshah binti Umar pun berlangsung di bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriah di Madinah. Begitulah Hafshah menjadi salah satu istri Rasulullah dan Ummahatulmu’minin yang suci.

Namun rumah tangga Hafshah Bersama Nabi saw. tidak mulus-mulus saja. Hafshah pernah menyebabkan kesusahan dan kepedihan pada diri Rasulullah karena kecemburuannya kepada budak Rasulullah saw. yang bernama Mariyah, dengan menyebarkan rahasianya kepada Aisyah. Rasulullah mentalak satu Hafshah yang dianggap menyusahkan beliau. Namun Rasulullah memaafkan Hafshah dan rujuk kembali dengan Hafshah atas perintah Jibril. Dalam hadis dari Anas bin Malik dan Qais bin Zaid, Rasulullah saw bersabda,

قالَ لي جبريلُ: راجعْ حفصةَ، فإنَّها صوامةٌ قوامةٌ، و إنَّها زوجتُك في الجنةِ

“Jibril berkata kepadaku, ‘Kembalilah (rujuklah) kepada Hafshah karena ia adalah wanita yang rajin berpuasa, rajin shalat malam, dan ia akan menjadi istrimu di surga.’(Diriwayatkan oleh As-Suyuti dalam Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 6061. Hadis ini sahih)

Hafshah mengisi hidupnya dengan menghafal Al-Qur’an dibarengi ibadah-ibadah lainnya seperti berpuasa dan salat Tahajud, sehingga mendapat julukan Shawwamah dan Qowwamah oleh Jibril. Beliau selalu meprioritaskan bangun malam. Selain untuk salat Tahajud, juga dilakukan untuk menjaga hafalannya.

Hafshah binti Umar diberi gelar “Penjaga Al-Qur’an” karena pandai membaca, menulis, serta menghafal Al-Qur’an. Pada masa itu, perempuan belum lazim memiliki kemampuan penting tersebut. Hafshah melestarikan tulisan asli Al-Qur’an yang ditulis diatas lembaran-lembaran pelepah kurma atau dalam bentuk suhuf (mushaf).

Hafshah belajar Al-Qur’an serta cara menulis ayat yang baik dan benar langsung dari Rasulullah saw.. Ia menjadi sosok yang istimewa karena satu-satunya penghafal Al-Qur’an yang menulis ayat di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad saw.. Bahkan ayahnya, Umar bin Al-Khaththab sering kali menemui Hafshah jika terjadi perbedaan tafsir Al-Qur’an.

Di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, ia dan tim khusus, salah satunya Zaid bin Tsabit, bermaksud untuk memodifikasi Al-Qur’an menjadi mushaf yang seutuhnya dengan lembaran-lembaran yang menyatu dan rapi.

Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafshah binti Umar untuk meminta lembaran-lembaran asli Al-Qur’an yang pertama. Setelah berdiskusi, Hafshah akhirnya mengizinkan dengan syarat Utsman mengembalikan dokumen asli tersebut saat ayat-ayatnya sudah selesai disalin. Utsman pun menyetujuinya.

Mushaf Al-Qur’an yang tersusun pun jadi dan dicetak lebih banyak lagi, sehingga dapat disebar ke berbagai kota di wilayah Khilafah Islamiyah. Utsman pun menepati janjinya untuk mengembalikan dokumen asli kepada Hafshah. Hafshah pun melanjutkan hidupnya sebagai penghafal dan penjaga Al-Qur’an.

Sayangnya, gubernur Madinah, Marwah bin Hakam ingin menghancurkan lembaran-lembaran asli Al-Qur’an yang ada di tangan Hafshah. Namun dengan gigih dan berani Hafshah mengabdikan diri menjaga mushaf Al-Qur’an yang asli.

Dan akhirnya mushaf tersebut dapat dihancurkan oleh Marwah bin Hakam setelah Hafshah binti Umar wafat pada tahun 41 Hijriah atau 665 M pada usia 63 tahun, di masa Khalifah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Beliau dimakamkan di Baqi’ dan sebelum wafat, ia sedekahkan harta yang masih tersisa.

Demikianlah perjalanan kisah Hafshah binti Umar seorang muslimah yang dipercaya menjaga pedoman hidup umat ini yaitu Al-Qur’an. Dedikasinya yang sangat luar biasa menjadi sosok yang inspiratif dalam menjaga kitab warisan Rasulullah saw..

Atas wasilahnya, kini umat Islam bisa memegang mushaf Al-Qur’an dalam bentuk yang rapi dan indah. Perjuangan dan pengorbanan Hafshah menghafal dan menjaga kalam Ilahi semata-mata untuk kebaikan generasi Islam di masa mendatang. Maka jangan disia-siakan oleh generasi saat ini. Jadikan Al-Qur’an pegangan hidup agar bahagia dunia-akhirat. 

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]