Makna “La’allakum Tattaqûn” (Tafsir QS Al-Baqarah: 183)

Oleh: Kartinah Taheer

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.(QS Al-Baqarah: 183)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”.

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir  Ath-Thabari,  menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”

Dengan demikian ada kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah  memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dan hanya orang-orang yang beriman saja yang menyambut seruan ini. Dengan demikian Allah  pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Puasa juga merupakan salah satu tanda kesempurnaan keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani malaikat-Nya, mengimani kitab-kitab-Nya, mengimani para rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk.( HR. Muslim)

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian

Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlulkitab. Menurut Al-Hasan, As-Suddi, dan Asy-Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertakwa”

Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertakwa (menjauhkan diri) dari makan, minum, dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”

Imam Al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju takwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman, dan jima”

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertakwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”

Imam Ibnu al-‘Arabi di dalam kitab Ahkâm Al-Qur’ân. Pada saat menjelaskan frasa la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa/ QS Al-Baqarah [2]: 183), Imam Ibnu Al-‘Arabi menyatakan:

Dalam menafsirkan frasa (la’allakum tattaqûn) ini, para ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat.

Pertama, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn mâ harrama ‘alaykum fi’lahu (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang Allah haramkan atas kalian).

Kedua, ada yang berpendapat bahwa la’allakum tattaqûn bermakna la’allakum tudh’ifûn fa tattaqûn (agar kalian menjadi lemah sehingga kalian menjadi bertakwa). Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah. Saat syahwatnya melemah maka maksiatnya juga sedikit.

Ketiga, ada yang berpendapat bahwa la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn ma fa’ala man kâna qablakum (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian (ahudi dan Nasrani).

Takwa adalah puncak hikmah dari ibadah shaum Ramadan. Perwujudan takwa secara individu tidak lain dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya, baik sebelum, selama, maupun sesudah Ramadan.

Takwa Tidak  Cukup dengan Puasa

Namun demikian, mewujudkan takwa tak cukup dengan puasa. Di dalam Al-Quran sendiri tidak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertakwa). Allah SWT juga antara lain berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.(QS Al-Baqarah [2]: 21)

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

“Bagi kalian, dalam hukum qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179)

وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa.” (QS Al-An’am [6]: 153)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih takwa. Ibadah (totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT), pelaksanaan hukum qishash, serta keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariat Islam, semua itulah yang bisa mengantarkan diri kita meraih takwa.

Untuk bisa melaksanakan syariat Islam kaffah harus ada negara yang menerapkan Islam kaffah yakni Khilafah. Selain itu, tentu dibutuhkan pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan ketakwaan dalam dirinya.

Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang amanah. Yang tidak mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya. Mereka tidak menyalahi Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tak akan mengkriminalisasi ajaran Islam dan kaum muslim. Mereka pun tidak akan memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariat. Bahkan mereka akan menerapkan syariat Islam secara kâffah sebagai wujud totalitas ketakwaan mereka kepada Allah SWT.

Jadi totalitas ketakwaan ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem kehidupan yang menerapkan syariat Islam secara total (kaffah) yakni Khilafah. Karena itu, Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk makin masif berdakwah di tengah umat dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah. Ramadan tidak boleh mencukupkan diri meningkatkan amal ibadah spiritual semata. Karena hikmah disyariatkannya puasa yakni takwa, hanya akan terealisasi jika Islam itu diterapkan secara kaffah. Waalahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]