Tanggung Jawab Negara Melindungi Akidah Umat

Oleh: Ummu Zahwa Salsabila

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Sungguh memprihatinkan, fenomena munculnya berbagai ajaran dan aliran sesat hampir setiap tahun selalu terjadi di Indonesia. Hal ini telah meresahkan kehidupan beragama sebagian masyarakat di negeri ini. Bagaimana tidak, banyak kasus penipuan sampai kasus orang hilang dikaitkan dengan ajaran dan aliran sesat ini.

Tak sedikit dari ajaran sesat ini yang menipu para korban dengan dalih mengajarkan agama. Ada juga pemimpin ajaran sesat yang mengaku sebagai wakil tuhan atau nabi untuk mendapat kepercayaan calon jemaahnya. Tak jarang juga mereka membuat praktik ibadah dengan aturan dan cara sendiri yang menyimpang dari aturan agama yang sebenarnya. Salah satunya adalah salat boleh menghadap ke arah mana saja sampai tidak perlu ke Makkah untuk ibadah haji.

Berdasarkan catatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun 2016, terdapat 300 lebih ajaran sesat di Indonesia. Menurut Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI, Utang Ranuwijaya, ratusan ajaran sesat di Indonesia sudah terpantau sejak 1995 silam. Namun, ajaran sesat tersebut umumnya muncul dan menghilang dengan menggunakan nama organisasi yang berbeda-beda.

Apa Itu Ajaran dan Aliran Sesat?

Dalam bahasa Arab, ajaran dan aliran sesat dikenal dengan beberapa penamaan, di antaranya; “al-’Aqaaid az-Zaighah”, “al-‘Aqaaid ad-Dhaalah”, dan ”al-’Aqaa`id al-Munharifah”. Istilah terakhir ini yang banyak digunakan oleh ulama. Namun semuanya menunjukkan maksud ajaran sesat, yaitu segala ajaran atau amalan yang dianggap sebagai ajaran Islam, namun hakikat dan intinya berlawanan dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan istilah “Ad-Dhalaalah atau Ad-Dhaalah” sendiri sering digunakan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Fishal fi Al-Milal wa Al-Ahwa wa An-Nihal”.

Adapun ulama Nusantara, memberikan pengertian yang sama tentang ajaran sesat sebagai ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau bukan Islam yang mendakwahkan bahwa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam, atau berdasarkan kepada ajaran Islam. Sedangkan hakikatnya ajaran dan amalan yang dibawa itu bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, serta bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah waljamaah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan hasil Rakernas MUI pada 6 November 2007, telah menetapkan 10 kriteria ajaran dan aliran sesat sebagai berikut:

1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam.

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an.

4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an.

5. Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

7. Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.

9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu.

10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Di Indonesia sendiri pemerintah telah membuat dasar hukum dalam UU No.1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam Pasal 1 UU No.1 PPNS Tahun 1965 menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama yang dianut di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Mereka yang dengan sadar dan sengaja menyebarkan aliran sesat di muka umum akan dikenakan Pasal 156a Penetapan Presiden RI No.1 Tahun 1965 dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

Namun dalam realisasinya, perundang-undangan yang dibuat ini belum mampu menghentikan munculnya berbagai ajaran dan aliran sesat di Indonesia, bahkan kian tumbuh subur.

Demokrasi Sekuler Menumbuhsuburkan Munculnya Ajaran dan Aliran Sesat

Tumbuh suburnya berbagai ajaran dan aliran sesat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem demokrasi sekuler yang menjadikan kebebasan sebagai pilar terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar kebebasan, yakni kebebasan beragama, berekspresi, berpendapat, dan bertingkah laku telah memicu lahirnya para penista agama, pengolok-olok agama, serta melahirkan berbagai ajaran dan aliran sesat yang menyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Terlebih lagi kondisi umat Islam saat ini dilingkupi berbagai faktor yang kian memicu tumbuh suburnya aliran dan ajaran sesat di Indonesia. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:

1. Kebodohan tentang agama (اَلْجَهْلُ بِالدِّيْن)

Umat Islam lemah pemahamannya terhadap ideologi Islam, lemah akidah dan pemahamannya terhadap syariat Islam kaffah. Hal ini akibat gagalnya pembinaan Islam kaffah di tengah-tengah umat, baik pembinaan yang dilakukan orang tua, lembaga pendidikan, masyarakat, maupun negara yang menerapkan sistem demokrasi sekuler saat ini. Ditambah upaya musuh-musuh Islam yang secara masif terus-menerus memerangi kaum muslimin agar semakin jauh pemahamannya dari Islam kaffah melalui perang pemikiran, perang budaya, maupun perang politik.

2. Konflik politik dan politisasi agama (الْخِلاَفُ السِّيَاسِيُ وَتَسْيِيْسُ الدِّيْن)

Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah penubuhan ajaran dan sekte-sekte teologi Islam. Unsur kesengajaan (اَلتَّخْرِيْبْ) yang dilakukan musuh-musuh Islam dengan niat jahatnya untuk menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Usaha semacam ini identik dengan usaha yang dilakukan oleh kalangan sekuler dan liberal, melalui berbagai propaganda, seperti menamakan diri sebagai gerakan rasionalis (al-‘aqlaniyah), pencerahan (at-tanwir), kebangkitan (an-nahdhah), dan terminologi lain yang dapat membuat sebagian orang tertarik dan terpengaruh dengan slogan-slogan yang mengandung semangat kemajuan.

Namun hakikatnya adalah “tazwir ad-din wa al-afkar” (mengaburkan agama, baik yang berkaitan dengan akidah maupun syariat). Atau sekurang-kurangnya dengan bahasa yang lebih halus ”Reformasi Wacana Keislaman”, yang di dunia Arab dikenal dengan istilah: ”Tajdid al-Din atau al-Khitab al-Islami”. Ada juga istilah yang baru-baru ini muncul, yaitu ”Tathwir ad-Din” (mengembangkan agama). Semuanya ditopang dengan konsep Barat yang dikenal dengan ”Hermeneutika”.

3. Keliru dalam memahami konsep agama atau metode istinbat ((خَطَأُ الْفَهْمِ عَنِ الدِّيْنْ

Seperti kurangnya pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam berbagai disiplin ilmu Islam, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu hadits.

4. Berlebih-lebihan atau menganggap remeh ajaran agama (اَلإِفْرَاطُ وَالتَّفْرِيْطُ)

Atau dengan kata lain ekstrem, sehingga menimbulkan sifat ta’assub (merasa paling benar). Sifat ini telah digambarkan oleh Qur’an dalam beberapa firman Allah ﷻ;

(وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka:”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah: 170)

5. Lemahnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah umat

Dalam menyikapi muncul dan berkembangnya ajaran dan aliran sesat, amar ma’ruf nahi munkar masyarakat sangat lemah. Bahkan atas nama kebebasan, umat Islam selalu diminta diam dan tidak mudah tersulut emosi manakala ada kasus penodaan dan penyimpangan agama. Memang, hal tersebut tidak salah. Tetapi bukan berarti membiarkan ajaran itu muncul dan berkembang. Selain itu, di tengah-tengah umat pun muncul para pembela ajaran dan aliran sesat ini yang membela mereka dari kalangan sekuler dan liberal dengan berbagai propaganda kebebasan maupun Hak Asasi Manusia (HAM).

6. Abainya penguasa dan negara

Negara bersikap masa bodoh dalam menjaga dan melindungi agama, akidah umat, dan syariat Islam kaffah dari berbagai penistaan, pengolok-olokan, maupun penyimpangan yang memicu lahirnya berbagai ajaran dan aliran sesat. Bahkan tidak sedikit pernyataan pejabat negara yang seolah membela dan melindungi ajaran dan aliran sesat tersebut dengan dalih kebebasan dan HAM yang dijamin dalam sistem demokrasi sekuler.

7. Lemahnya perangkat hukum

istem sekuler gagal melindungi agama Islam dari berbagai penistaan, pengolok-olok, maupun penyimpangan. Meskipun sudah dibuat hukum terkait hal ini, namun realisasinya, saat bermunculan ajaran dan aliran sesat di negeri ini, tidak dianggap melawan hukum selama tidak ada pengaduan dari masyarakat, atau selama tidak dianggap meresahkan masyarakat. Kalaupun ada penangkapan, sanksi yang ditetapkan pun tidak berefek jera, maksimal hanya dihukum 5 tahun penjara.

8. Media tidak berpihak kepada umat Islam

Media bahkan menjadi corong penguasa sekuler maupun kalangan sekuler dan liberal dalam menyebarluaskan propaganda maupun opini yang membela ajaran dan aliran sesat dengan dalih kebebasan berpendapat dan HAM.

Sungguh keberadaan berbagai ajaran dan aliran sesat tersebut akan sangat membahayakan dan merusak agama Islam, dari sisi akidah maupun syariatnya jika dibiarkan. Lebih jauh lagi bisa merusak kesatuan kaum muslimin dan merongrong stabilitas negara. Terlebih jika kelompok-kelompok sesat tersebut berniat makar untuk menggulingkan kekuasaan Khilafah yang sah (bughat).

Dalam hal ini, siapa saja dari kalangan kaum muslim yang meyakini, mengamalkan, bahkan menyebarkan ajaran dan aliran sesat tersebut, ataupun menjadi pendiri, pengikut, ataupun pembelanya, maka tindakan seperti ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran yang akan diberikan sanksi tegas oleh negara sesuai dengan tindak pelanggarannya.

Dalam pandangan Islam sendiri terkategori perbuatan dosa besar, bahkan bisa mengantarkan pada murtad (keluar dari Islam). Perbuatan tersebut berhak mendapatkan siksaan Allah ﷻ di dunia dan akhirat, serta laknat dari Allah ﷻ, para malaikat-Nya, dan seluruh orang beriman, sebagaimana firman-Nya;

إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَمَاتُوْا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولٰئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللّٰهِ وَالْمَلٰئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ ۙ١٦١

“Sungguh, orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya” (QS Al-Baqarah: 161)

Dari sini jelaslah dalam sistem demokrasi sekuler, berbagai ajaran dan aliran sesat justru terlindungi dan dibiarkan bebas bermunculan, tidak pernah usai. Sistem demokrasi sekuler tidak mampu menjaga agama Islam. Tak mampu melindungi akidah umat Islam maupun syariat Islam kaffah dari berbagai penistaan, pengolok-olokkan, dan penyimpangan. Dan demokrasi mengatasnamakan hal tersebut sebagai bentuk kebebasan beragama, berpendapat, berekspresi, atau bertingkah laku, dan HAM yang harus dijamin oleh negara, sehingga sah-sah saja.

Khilafah Mampu Melindungi Agama

Khilafah sebagai sistem politik Islam yang berperan utama dalam mengurusi urusan umat (riayah syuunil’ummah), memiliki tanggung jawab dalam mengatur seluruh urusan rakyat. Rakyat dalam sistem Khilafah beragam, terdiri dari beragam ras, agama, suku, bangsa, dan budaya.

Islam menerima keberagaman (pluralitas), meskipun Islam menolak tegas ide pluralisme (pemikiran yang menganggap semua agama adalah benar). Hal ini karena Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk seluruh umat manusia, terlepas apapun latar belakangnya. Dalam sistem Khilafah semua keberagaman tersebut akan melebur menjadi satu masyarakat Islam, yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama, yakni Islam.

Rakyat dalam sistem Khilafah, baik muslim maupun nonmuslim memiliki hak-hak yang sama di bawah jaminan penjagaan Khilafah sebagai “junnah” atau perisai. Khilafah bertanggung jawab melakukan berbagai penjagaan terhadap seluruh rakyatnya, mulai penjagaan agama (hifzh ad-din), penjagaan akal (hifzh al-aql), penjagaan jiwa (hifzh al-nafs), penjagaan harta (hifzh al-mal),  penjagaan keturunan (hifzh an-nasl), penjagaan kehormatan (hifzh al-karamah), maupun penjagaan keamanan (hifzh al-amn).

Terkait penjagaan agama (hifzh ad-diin), di yaumulhisab kelak, khalifah (pemimpin dalam sistem Khilafah) akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ﷻ terkait pelaksanaan tanggung jawabnya ini. Ketika khalifah membiarkan ada rakyatnya yang muslim murtad karena mengikuti salah satu ajaran dan aliran sesat, maka khalifah pun akan ikut menanggung dosanya, karena telah abai dari tanggung jawab menjaga akidah umat.

Khilafah tidak akan memaksakan rakyatnya atau manusia mana pun untuk memeluk Islam karena dalam Islam tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam. Hal ini telah Allah ﷻ  jelaskan dalam firman-Nya;

  لَاۤ اِكۡرَاهَ فِى الدِّيۡنِ‌ۙ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَىِّ‌ۚ فَمَنۡ يَّكۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَيُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَكَ بِالۡعُرۡوَةِ الۡوُثۡقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا‌‌ ؕ وَاللّٰهُ سَمِيۡعٌ عَلِيۡمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ajaran Islam tidak membolehkan memaksa siapa pun untuk masuk agama Islam. Namun saat ada seseorang atau sekelompok orang yang mengaku muslim, namun mengingkari ajaran-ajaran Islam hingga mendirikan ajaran dan aliran sesat yang menyesatkan, maka Islam mewajibkan untuk menghentikannya. Maka Khilafah sebagai “junnah” (perisai) bagi kaum muslimin wajib membasmi ajaran dan aliran sesat itu hingga ke akarnya.

Terkait ajaran dan aliran sesat tersebut, sikap resmi Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;

1. Mengakomodir pendapat dan pemikiran yang berkembang di tengah-tengah umat, selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariat Islam.

2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat, mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka, dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.

3. Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi, mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.

4. Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak agama dan kesatuan kaum muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya preventif. Khilafah akan menjaga ketakwaan individu setiap umat dengan membina akal dan menyentuh perasaan mereka dengan pembinaan tsaqafah Islam sehingga akan terwujud individu-individu yang bertakwa dan berkepribadian Islam yang tinggi.

Di samping itu, masyarakat dalam Khilafah akan melakukan kontrol kepada penguasa apabila aturan dan kebijakan yang dikeluarkan menyalahi ketentuan syariat Islam, semisal membiarkan ajaran dan aliran sesat bermunculan dan melindunginya.

Khilafah tidak akan pernah melindungi ajaran dan aliran sesat dan menyesatkan. Terlebih menjadi fasilitator atau mediator dalam hal ini. Yang akan dilakukan oleh Khilafah adalah membubarkan ajaran dan aliran sesat tersebut dan menghukumi setiap oknum dan kelompok yang menjadi pelaku ataupun pengikutnya.

Upaya ini pernah dilakukan oleh Rasulullah  ﷺketika ada seorang laki-laki bernama Musailamah Al-Kadzab yang mengaku dirinya sebagai rasul utusan Allah. Mendengar hal tersebut, Rasulullah  ﷺ memperingatkan Musailamah agar bertaubat dan kembali pada Islam. Sampai akhirnya Rasulullahﷺ  wafat dan Musailamah semakin gencar menyebarkan ajaran-ajaran sesatnya. Lalu saat kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, beliau memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk memerangi Musailamah dan pengikutnya yang tidak mau bertobat, hingga akhirnya Musailamah pun terbunuh dalam perang Yamamah.

Demikianlah tindakan Khilafah atas orang-orang dan aliran sesat. Tidak ada belas kasih bagi penganutnya dan alirannya. Dengan ketegasan Khilafah ini, memberikan pelajaran bagi siapa pun untuk berpegang teguh pada akidah Islam dan memeliharanya agar tetap terjaga hingga ajal datang. Dan hanya Khilafah yang akan mampu menjaga agama ini. Wallahu a’lamu. [SM//Ln]