Oleh :Padliyati Siregar
Suaramubalighah.com, Opini – Isu radikalisme terus dinarasikan sebagai bahaya yang mengancam generasi muda, terutama para pelajar. Lagi-lagi yang menjadi sasarannya umat Islam dan kali ini guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Berdasarkan sebuah riset yang tidak terlalu terperinci pembahasannya, ada upaya untuk mengopinikan ke publik bahwa guru agama Islam harus paham radikalisme dan terorisme yang sejatinya bukan ajaran Islam. Yakni Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Sulawesi Tenggara melibatkan sebanyak 25 guru PAI dalam kegiatan Camping Keberagaman yang dihelat pada Kamis (30/3/2023), yang menekankan pentingnya guru agama memiliki pemahaman mendalam tentang radikalisme dan terorisme.
Lingkungan pendidikan dinarasikan sebagai sasaran empuk bagi para pelaku radikalisme, para siswa yang belum banyak mengetahui mengenai tabiat-tabiat para kaum radikal akan lebih mudah untuk didoktrin supaya mau bergabung dengan mereka, dengan berbagai trik dan tipu daya untuk mengkader anak-anak belasan tahun ini.
Radikalisme dianggap persoalan besar bagi murid atau santri padahal baru dugaan. Sementara persoalan yang sudah nyata di depan mata seperti narkoba, seks bebas, kekerasan bahkan kriminal yang dilaksanakan generasi muda saat ini kurang optimal diselesaikan.
Sistem pendidikan yang sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) sehingga ada sekolah negeri (di bawah Kemendikbud) dan sekolah agama (di bawah Kemenag) menyebabkan mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti diberikan hanya satu minggu sekali. Sehingga tidak bisa memenuhi segala aspek dalam pembelajaran khususnya dalam memahami Islam secara keseluruhan. Waktu yang singkat membuat para peserta didik yang haus akan ilmu agama dan tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren akan mencari sumber ilmu di luar sekolah.
Melalui pendidikan yang sekuler inilah, muncul banyak kasus dan problem generasi secara umum, baik muslim maupun nonmuslim. Program itu seolah penuh kebaikan, mengarahkan para pemuda terutama guru lebih bersikap hati-hati. Namun, jika kita cermati, banyak hal yang harus kita kritisi bahkan diwaspadai karena mengalihkan fungsi guru agama yang seharusnya menjelaskan dan memberikan pemahaman Islam kaffah kepada anak didik, pada akhirnya atas nama menanamkan nilai nilai toleransi beragama sesuai standar sekuler, pluralisme, sinkretisme dan kearifan lokal justru mengancam dan membahayakan akidah dan pola sikap anak didik.
Radikalisme Dagangan Barat
Setiap muslim tentu wajib mengimani Islam sebagai agama mulia. Tak pantas seorang mukmin meragukan apalagi menuding agamanya sebagai pembawa bencana, baik dengan sebutan radikalisme ataupun penyimpangan. Sebabnya jelas, Islam adalah rahmat bagi semua (QS Al-Anbiya’ [21]: 107)
Seorang muslim wajib meyakini kemuliaan ajaran Islam dan yakin bahwa Islam satu-satunya agama yang Allah SWT ridai (QS Ali Imran [3]: 19). Seorang muslim juga wajib meyakini kemuliaan yang dijanjikan Allah SWT bagi mereka yang beriman dan bertakwa (QS al-A’raf [7]: 96)
Karena itu semua pernyataan yang menyudutkan Islam dan kaum muslim, baik itu dengan sebutan penyimpangan atau radikalisme, tidak pernah memiliki pengertian yang jelas. Istilah radikalisme yang terus-menerus ditudingkan pada Islam ternyata berdasarkan pada definisi yang dibuat oleh Barat. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti kaum muslim agar meninggalkan agamanya sendiri.
Opini Islam radikal itu, subjektif dan berbahaya. Subjektif karena bersumber dari pandangan negatif Barat terhadap Islam. Istilah ‘Islam radikal’ ditujukan pada kelompok-kelompok Islam yang tidak mau sejalan dengan kebijakan Barat. Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, pernah menyatakan Islam sebagai ‘ideologi setan’ (evil ideology). Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khilafah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Opini Islam radikal juga berbahaya. Pasalnya, syarat kaum muslim agar tidak disebut radikal adalah mau menerima eksistensi negara penjajah Israel yang merampas dan membantai ribuan muslim Palestina; menolak syariat dan Khilafah; serta menerima ajaran liberalisme yang jelas rusak dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Tak perlu diragukan lagi, sebutan radikalisme itu produk Barat untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam. Isu radikalisme juga dimaksudkan untuk memecah-belah umat agar memusuhi siapa saja yang memperjuangkan Islam dan membenci muslim yang menolak paham liberalisme.
Kewajiban Mengkaji Islam
Para guru Pendidikan Agama Islam seharusnya mempelajari dan menjelaskan Islam kaffah, karena ini yang ditumtut Allah SWT dalam surah Al Baqarah 208,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.
Program untuk para guru PAI ini justru melukai hati kaum muslim, pernyataan ini adalah penistaan terhadap kewajiban mempelajari Islam kaffah. Thalab al-‘ilmi adalah kewajiban setiap muslim untuk memahami Islam secara kaffah bukan parsial. Mengkaji Islam bukanlah tugas sekelompok orang, seperti para rahib atau pastor dalam agama-agama lain, melainkan fardu atas setiap muslim terutama guru agama Islam. Nabi saw. bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Kewajiban mempelajari Islam bukan hanya dalam perkara taharah atau ibadah saja, tetapi semua ajaran Islam seperti muamalah, pidana, jihad, hingga pemerintahan Khilafah, dan sebagainya.
Banyak nas Al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan kaum muslim untuk bersungguh-sungguh mempelajari Islam. Allah SWT berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو اْلأَلْبَابِ
“Katakanlah, “Samakah orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sungguh orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar [39]: 9)
Para ulama juga mengungkapkan kemuliaan orang yang berilmu. Imam Al – Ghazali rahimahulLâh mengutip perkataan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra., “Kematian seribu ahli ibadah yang rajin salat malam dan shaum pada siang hari itu lebih ringan ketimbang wafatnya seorang ulama yang memahami halal dan haram dalam aturan Allah.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, I/23)
Umat juga membutuhkan ulama yang memiliki keluasan dan kedalaman ilmu seperti ulama di bidang tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, bahkan hingga level mujtahid. Mereka inilah yang akan menjadi penerang bagi umat. Fardu kifayah hukumnya bagi umat untuk memiliki para ulama seperti ini. Jika tidak ada, berdosalah seluruh kaum muslim sampai kebutuhan umat akan kehadiran ulama terpenuhi. Sebagaimana firman Allah SWT,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya kaum mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk mendalami pengetahuan agama mereka, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali (dari berperang), agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah [9]: 122)
Imam Ath-Thabari menjelaskan ayat ini, “Allah mengabarkan bahwa di tengah-tengah orang-orang yang tinggal, yang tidak ikut keluar berjihad, ada maslahat. Jika mereka keluar semuanya (untuk berjihad) maka luputlah maslahat itu dari mereka.” Karena itu Allah Swt. berfirman, ‘li yatafaqqahu (untuk mendalami pengetahuan agama).’ Artinya, orang-orang yang tinggal bertujuan mendalami agama untuk memberi peringatan kaum mereka jika mereka telah kembali (dari berjihad) dan untuk mengajari mereka ilmu-ilmu syariat…”
Tanpa mengaji dan mendalami ilmu agama, bagaimana mungkin umat mengetahui yang hak dari yang batil, halal dan haram, membela keadilan dan melawan kezaliman. Justru pernyataan “Jangan mempelajari agama terlalu dalam karena bisa menyimpang” adalah sebuah penyimpangan dari nas Al-Qur’an, As-Sunah, dan pendapat para sahabat.
Untuk itu Guru Agama Islam memiliki kewajiban untuk mempelajari Islam dan memahaminya secara benar agar mampu untuk memberikan pendidikan yang lurus ke anak didik dan masyarakat luas sehingga tidak mudah terprovokasi dengan narasi yang menyesatkan .Seperti sabda Rasulullah Saw yang mengingatkan kita tentang kewajiban itu.
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ:
مَا عُبِدَ اللهُ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ فِقْهٍ فِي دِيْنٍ وَلَفَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ وَلِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَعِمَادُ هَذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ.
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Tidaklah Allah disembah dengan perkara yang lebih utama daripada memahami agama. Sungguh seorang yang fakih (mendalam pemahaman agamanya) lebih menyulitkan setan daripada seribu tukang ibadah. Setiap perkara ada pilarnya dan pilar agama ini adalah fikih (paham agama).”(HR Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi).
Karena itu, kita harus meyakini bahwa kita hanya akan mulia dan selamat jika mendalami agama ini, lalu menjadikannya sebagai aturan dalam kehidupan. Ingatlah, Islam bukan sekadar ilmu. Islam adalah ideologi dan aturan kehidupan yang wajib diterapkan dalam kehidupan yang akan mendatangkan keberkahan dan keselamatan. Meninggalkan Islam akan membuat kita semua celaka di dunia dan akhirat. WalLâhu a’lam bishshawab. [SM/Ln]