Oleh: Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Opini – Seiring dengan masifnya sekularisasi dan liberalisasi di negeri muslim oleh ideologi kapitalisme, kondisi akidah umat Islam benar-benar terancam. Dalam satu dekade terakhir seiring dengan masifnya kampanye global moderasi beragama yang mengatasnamakan perlawanan terhadap radikalisme, telah banyak memperlemah bahkan merusak akidah umat Islam.
Di negeri muslim yang merupakan jantungnya kaum muslimin seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi telah mengalami kerusakan akidah yang sangat parah dengan bukti adanya peningkatan penganut ateis dan agnostik di negeri ini.
Melansir dari Deutsche Welle, Universitas Al-Azhar Kairo tahun 2014 memperlihatkan bahwa 10,7 juta dari 87 juta penduduk Mesir mengaku ateis. Hal yang sama juga terjadi di Arab Saudi. Menurut Laporan Saudi Arabia 2021 International Religious Freedom Report ada 224.00 orang memilih ateis atau agnostik. Dalam riset menurut Iranian’s Attitudes Toward Religion tahun 2020, terungkap bahwa 47% dari 40.000 responden mengaku sudah menjadi ateis. Sedangkan di Turki, negara yang 99% penduduknya muslim tercatat memiliki peningkatan jumlah ateis dalam 10 tahun terakhir. Menurut lembaga survei Konda tahun 2019, ditemukan bahwa jumlah orang Turki yang mengaku menganut Islam turun dari 55% menjadi 51%. Mesir juga melakukan survei dengan topik serupa yaitu peningkatan jumlah ateisme.
Ateisme di Saudi sebetulnya sudah terlihat sejak satu dekade lalu. Menurut jajak pendapat Gallup International pada 2012 yang dikutip, sekitar 5 persen warga Saudi menganggap diri mereka ateis, dan 19 persen lainnya tidak beragama. Meskipun jumlah warga ateis di Saudi relatif tak terlalu tinggi, angka ini dianggap signifikan lantaran negara itu menerapkan hukuman ketat bagi orang yang menentang agama.
Penyebab utama dari meningkatnya penganut ateis dan agnostik di Arab Saudi sendiri justru disebabkan oleh sikap sekuler para penguasa dalam mengelola negara. Islam tidak diterapkan secara kaffah (mendasar dan menyeluruh) dalam aspek kehidupan. Akibat dari sekularisasi yang sangat masif di Arab Saudi, maka aturan maupun kebijakan yang ditetapkan negara hanya bersifat formalitas ataupun dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Hal inilah yang membuat agama hanya dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Hal ini sebagaimana dilansir dari Men Without God: The Rise of Atheism in Saudi Arabia yang ditulis Hannah Wallace, dikatakan bahwa pindah agama tersebut tak lepas dari sikap politik pemerintah setempat yang memanfaatkan agama. Akibat dari sekularisasi yakni pemisahan agama dari kehidupan dan mudahnya akses media sosial yang menyajikan informasi kebebasan berpendapat dan berakidah oleh sistem demokrasi.
Dalam jurnal tersebut disebutkan, jika teknologi informasi, khususnya media sosial yang ada di mana-mana, telah memberikan akses yang lebih mudah ke berbagai materi tentang ateisme. Penduduk yang kritis akhirnya menolak politisasi dan memilih menjadi ateis. Selain itu, ada pula aturan ketat agama Islam yang diterapkan seperti dilarang untuk minum minuman keras dan hal lain, sehingga membuat beberapa penduduk merasa gusar dan memilih untuk menjadi ateis.
Bahkan di kalangan generasi muda di Arab Saudi dikabarkan semakin kecewa dengan kode hukum negara yang ketat dan pandangan kaku dari para ulama terkemuka. Artinya aturan syariat Islam dianggap mengekang , mereka menginginkan kebebasan sebagaimana yang ditawarkan sistem kapitalisme demokrasi. Hingga ada keinginan untuk perubahan dan kemajuan di negeri Arab dalam konteks lebih moderat dan sekuler. Ini sungguh berbahaya.
Sejak awal Saudi negara sekuler yang mengambil Islam secara parsial, hanya aspek ibadah dan sebagian kecil syariat untuk legalisasi sebagai negara Islam dan untuk mengamankan kepentingan rezim (raja dan keluarganya). Ditambah dengan sikap represif rezim terhadap siapa saja yang berseberangan membuat tidak ada yang berani melakukan amar makruf nahi mungkar. Edukasi untuk membuat warga sadar dan taat syariat juga sangat minim bahkan nyaris tidak ada sehingga ketaatan warga terhadap aturan Islam karena keterpaksaan bukan keimanan dan kesadaran.
“Kami melihat peningkatan sekularisasi dan keragaman agama dan kepercayaan,” kata Tamimi Arab kepada Deutsche Welle. Sekularisasi atas nama moderasi beragama membuat Undang-undang Dasar Pemerintahan Saudi tahun 1992, agama resmi negara adalah Islam, dan konstitusinya berdasarkan Al-Qur’an serta As-Sunnah atau tindakan dan hukum yang dilakukan zaman Nabi Muhammad telah kehilangan ruh dalam menjaga akidah umat. Undang-undang ini semestinya bisa menjerat mereka (ateis dan agnostik) dengan hukuman fisik, penjara, atau bahkan eksekusi mati. Termasuk, mereka yang murtad dari Islam juga mendapat hukuman penjara dalam waktu lama, namun saat ini telah mengalami kelemahan ketika berhadapan dengan kampanye global moderasi beragama berdasarkan hak asasi manusia.
UU itu juga melarang promosi ideologi ateis dalam bentuk apapun dan melarang upaya untuk meragukan dasar-dasar Islam, namun negara tak mampu mencegah arus opini kebebasan berpendapat dan berakidah yang digencarkan oleh ideologi kapitalisme. Pada akhirnya warga Arab Saudi beberapa memilih anonim, sebagian lagi mempertaruhkan kebebasan mereka untuk meningkatkan kesadaran mengenai sekularisme dan ateisme melalui situs, video, dan media sosial.
Di satu sisi sikap represif penguasa dalam menjaga kekuasaannya memunculkan perlawanan dari warga. Di tengah tekanan itu, diskusi soal ateisme di Saudi justru lebih intensif dalam beberapa tahun terakhir. Menurut artikel di lembaga think tank ‘Secular Humanism’, banyak warga Saudi mengaku ateis karena kecewa atas aturan pemerintah yang dianggap kaku dan terlampau ketat.
Fakta maraknya ateis di Arab Saudi , semakin menegaskan bahwa Arab Saudi yang selama ini dinilai sebagai negara Islam realitasnya negara sekular sama dengan negeri-negeri muslim yang lain dan itu penyebab kerusakan. Termasuk melahirkan kebebasan beragama dengan ateis atau agnostik tersebut.
Kondisi ini semakin menegaskan bahwa umat Islam saat ini sangat membutuhkan institusi politik yang akuntabel (bertanggungjawab) yakni Khilafah Islam bukan sistem kerajaan seperti Arab Saudi. Karena hanya dengan sistem Khilafah penjagaan akidah dan akal umat Islam benar-benar terwujud. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam sistem Khilafah, rahmatan lil alamiin akan dirasakan dan dilihat langsung oleh umat. Negara Khilafah selain menerapkan syariat juga akan mengedukasi umat untuk menjalankan syariat dengan penuh keimanan dan kesadaran. Wallahu a’lam bish shawab. [SM/Ln]