Suaramubalighah.com, Tanya Jawab – Tanya:
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Di tengah masifnya seruan amar ma’ruf nahi munkar atau dakwah Islam kaffah dan Khilafah sebagai institusi kepemimpinan umum kaum muslimin di seluruh dunia yang akan menerapkan syariah dan mengemban dakwah ilal ‘alam, terutama di bulan suci Ramadan, ternyata ada pihak yang mengatakan (menuduh) bahwa dakwah Islam kaffah dan Khilafah tersebut sebagai nafsu yang akan membatalkan pahala puasa. Mereka berdalih hal tersebut layaknya ghibah yang akan membatalkan pahala puasa. Bagaimana syara‘ menyikapi persoalan ini, serta apa perbedaan antara amar ma’ruf nahi munkar dengan ghibah dalam pandangan syara’?
Ummu Izzah – Pati, Jawa Tengah.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Jawab:
Wa’alaikumus Salam Warahmatullahi Wabarakatuhu.
Ummu Izzah yang dirahmati oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala,
amar ma’ruf nahi munkar termasuk hukum Islam yang sangat penting, hingga sebagian kaum muslim menganggapnya sebagai pilar keenam dalam rukun Islam setelah lima pilar rukun Islam yang telah populer bagi umat Islam. Allah SWT menyebut-nyebut kebaikan umat ini sebagai umat terbaik yang pernah ada dalam sejarah lahirnya umat manusia, karena pelaksanaan dari hukum amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 110 :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran: 110)
Amar ma’ruf nahi munkar artinya adalah mengajak dalam hal kebaikan dan mencegah kemungkaran atau kejahatan. Kalimat tersebut mengacu pada perintah untuk setiap muslim, baik sebagai individu atau kelompok untuk berdakwah. Hal tersebut menandakan bahwa ajaran amar ma’ruf nahi munkar begitu penting artinya, terutama dalam kehidupan muslim karena merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam demi menyelamatkan seluruh umat manusia dari perbuatan munkar atau jahat agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian amar ma’ruf nahi munkar artinya adalah perintah untuk berdakwah. Karena itu, membicarakanamar ma’ruf nahi munkar artinya adalah membicarakan kewajiban dakwah.
Berkaitan dengan kewajiban dakwah bagi setiap muslim ini juga pernah ditekankan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits. Dari Abdullah ibn Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda, yang artinya :
“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Al-Bukhari: 3202)
Jadi dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah aktivitas yang sangat mulia, sekaligus merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk melakukannya, yakni berdakwah mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran, sesederhana apa pun itu bentuknya.
Ummu Izzah yang dicintai oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala,
adapun ghibah adalah membicarakan kejelekan dan aib seseorang, sementara orang yang dibicarakan tersebut tidak berada di tempat pembicaraan. Aib atau perkara yang dibicarakan tersebut bisa berupa kekurangan fisik, keturunan, akhlak, tingkah laku, hingga urusan agama atau duniawinya. Adapun jika yang dibicarakan tersebuat dibuat-buat, yang berarti tidak ada faktanya maka bukan ghibah lagi namanya, melainkan fitnah dan kebohongan.
Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Dan janganlah sebagian kamu bergunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS Al-Hujurat: 12)
Dalam hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
يَا رَسُلُ اللهُ! مَاالْغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
“Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya’. Beliau ditanya lagi, ‘Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu ada sesuatu yang aku katakan?’ Beliau menjawab, ‘Jika pada dirinya ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya’.” (HR Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu termasuk bergunjing.” Sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12, Allah Ta’ala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Oleh karena itu janganlah menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati. Tahanlah lidah kita. Kalaupun terpaksa harus membicarakan orang lain, maka berbicaralah yang baik-baik saja.
Diriwayatkan Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa Al-Hujurat ayat 12 ini turun berkaitan dengan Salman Al-Farisi yang makan, kemudian tidur, lalu mendengkur. Orang-orang membicarakannya. Maka turunlah surah ini yang melarang umat Islam bergunjing dan mengumpat.
Ghibah tidak hanya terbatas pada perkataan saja, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang menjelaskan kekurangan saudaramu kepada orang lain. An-Nawawi berkata, “Ghibah itu mencakup ucapan dan tulisan, atau simbol dan isyarat dengan mata atau lainnya. Karena itu ghibah termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.“
Para Ulama sepakat bahwa ghibah termasuk ke dalam dosa besar (Lihat: Imam al-Qurthubi, ibid., hal. 405), maka watak dan kelakuan tersebut perlu dijauhi. Bahkan, mendengarkannya pun diharamkan dan si pendengar wajib meninggalkan percakapan itu serta mengingkarinya walaupun hanya mampu dalam hati (Lihat: Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Beirut dan Damaskus: Maktabah Dar Al-Bayan, 2007], hal. 391 dan 394).
Namun, dalam kondisi tertentu, ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, misalnya, (1) Mengadukan kezaliman seseorang kepada pihak yang berwenang; (2) Mencari bantuan atau pertolongan kepada yang memiliki autoritas untuk menghilangkan kemungkaran; (3) Saat meminta fatwa dan menceritakan masalahnya agar mendapat solusi; (4) Memeringatkan kaum Muslim agar terhindar dari keburukan seseorang dan menasihati mereka, contohnya melaporkan pejabat yang tidak amanah; (5) Menyebutkan orang yang melakukan dosanya secara terang-terangan seperti minum khamr, merampas harta orang, dan lainnya; (6) Menyebutkan ciri atau julukan seseorang agar mudah dikenali, misalnya “si fulan yang buta matanya” dan semacamnya (Lihat: Imam an-Nawawi, ibid., hal. 392-393).
Ummu Izzahyang disayang Allah,
setelah kita mengetahui masing-masing dari makna amar ma’ruf nahi munkar dan ghibah tersebut, jika dikembalikan pada munculnya tuduhan bahwa dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang menyeru pada penerapan Islam dan syariahnya secara kaffah dalam institusi Khilafah sebagai bentuk ghibah, maka jelas ini adalah tuduhan yang salah dan sangat tidak berdasar. Sebab dakwah untuk menegakkan kembali Khilafah yang akan menerapkan syariah kaffah, merupakan fardu kifayah bagi seluruh umat Islam hingga benar-benar terwujud.
Semangat memperjuangkan tegaknya Khilafah bukanlah nafsu, melainkan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban yang harus ditunaikan dengan sungguh-sungguh sebagaimana yang dituntun oleh syariat, dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat beliau hingga benar-benar pelaksanaan hukum-hukum Allah bisa terealisasikan dalam kehidupan. Semua itu telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, hadits, ijma‘ sahabat, hingga seluruh ulama Aswaja khususnya imam 4 madzab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali) sepakat bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri (w.1360 H) menuturkan.
Hal senada juga ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz XII/205). Pendapat ulama terdahulu tersebut juga diamini oleh ulama muta’akhirin, termasuk ulama Nusantara Syekh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal yang berjudul FikihIslam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
Adapun jika ghibah dinisbahkan pada persoalan muhasabah lil hukkam, maka hal ini justru semakin menguatkan bukti bahwa penguasa sekuler kapitalis saat ini memang anti kritik, anti muhasabah.
Ummu Izzah Rahimakumullah,
setelah memahami amar ma’ruf nahi munkar dengan benar, memahami ghibah beserta bahaya dan pengecualiannya, serta mendudukkan kewajiban menegakkan Khilafah sebagai kewajiban, sehingga sangat tidak beralasan menuduhnya sebagai bentuk ghibah, berikut beberapa tips untuk menjauhkan diri dari ghibah yang bisa kita lakukan;
- Memperbanyak ilmu agama, dengan mengikuti kajian, membaca Al-Qur’an dan tafsirnya, serta selalu berpikir positif agar dapat menetapi ketentuan dakwah bil hikmah.
- Diam atau tidak menanggapi. Salah satu cara menghindari ghibah yaitu diam. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari No. 6018, Muslim No.47)
- Menasehati pelaku ghibah untuk menyudahinya. Anda bisa mengatakan dan mengingatkan pelaku ghibah bahwa perbuatan yang dilakukannya itu salah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, rubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan lidahnya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman” (HR Muslim No. 70)
- Fokus pada thariqah dakwah Rasulullah dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah, yang diliputi oleh suasana iman dan semata-mata hanya mengharap pertolongan dan rida dari Allah SWT, dengan penuh tawakkal dan do’a.
Semoga dengan jernihnya pemahaman kita tentang amar ma’ruf nahi munkar, akan semakin meringankan langkah kita dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah, semakin mudah umat menerima dakwah, dan semakin tersebar luas pemahaman Islam kaffah dan Khilafah di tengah-tengah umat, terutama di bulan suci Ramadhan ini. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]