Perintah untuk Memperhatikan Makanan yang Halal dan Tayib (Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 168)

Oleh : Siti Murlina, S. Ag

Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 168,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Adapun asbaabun nuzuul dari surat Al-Baqarah ayat 168 tersebut menurut Imam Al-Alusi Al-Baghdadi (wafat 1854 M) menyatakan bahwa, ayat ini turun berkenaan dengan kaum musyrikin dari kaum Tsaqif, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Khuza’ah dan Bani Mudlij yang mengharamkan untuk diri mereka memakan hewan ternak seperti unta bahiirah, saaibah, washiilah, ham dan susu (yoghurt). Mereka juga mengharamkan hasil panen seperti kurma. Juga dituturkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas ra. mengatakan ayat tersebut turun untuk Abdullah bin Salam dan kelompoknya ketika mereka mengharamkan daging unta sebagaimana sebelumnya daging tersebut juga dihukumi haram dalam agama Yahudi. (Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, juz II, halaman 38)

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fikih dan tafsir negeri Suriah dalam Tafsir Al-Wajiz menjelaskan tentang maksud ayat di atas adalah “Wahai manusia, makanlah sesuatu yang diciptakan oleh Allah untuk kalian di bumi yang diperbolehkan dan bisa kalian nikmati, dan janganlah mengikuti jalannya setan yang mengajak menuju kemaksiatan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat “yā ayyuhan-nāsu kulū mimmā fil-ardli ḫalālan thayyiba ini pernah dibaca di sisi Nabi Muhammad saw. Kemudian Saad bin Abi Waqash berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikanku orang yang diijabah doanya”. Nabi Muhammad bersabda: “Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu maka engkau akan menjadi orang yang diijabah doanya. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sungguh seseorang yang memasukkan satu suapan haram dalam perutnya maka amal ibadahnya tidak diterima selama 40 hari, dan sungguh hamba yang dagingnya tumbuh dari sesuatu yang haram dan riba maka api lebih utama untuknya”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, juz I, halaman 478).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, pakar tafsir abad 14 H dalamTafsir As-Sa’di menyatakan, ayat tersebut dialamatkan kepada seluruh manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Allah telah memberikan karunia kepada mereka dengan memerintahkan kepada mereka untuk makan dari seluruh yang ada di bumi seperti biji-bijian, hasil tanaman, buah-buahan, dan hewan dalam ‘keadaan halal’ yaitu yang telah dihalalkan buat kalian untuk dikonsumsi, yang bukan dari rampasan maupun curian, bukan pula diperoleh dari hasil transaksi bisnis yang diharamkan, atau dalam bentuk yang diharamkan, atau dalam hal yang membawa kepada yang diharamkan, ‘lagi baik’, maksudnya, bukan yang kotor seperti bangkai, darah, daging babi, dan seluruh hal-hal yang kotor dan jorok.

Diambil dari pemahaman para ahli tafsir, dalam surat Al-Baqarah ayat 168 tersebut  menunjukkan bahwa para ulama fikih telah sepakat, “asalnya seluruh benda yang ada itu adalah boleh, hukumnya baik untuk dimakan maupun dimanfaatkan” sebelum ada dalil yang melarang atau mengharamkannya.

Mereka telah membagikan tentang hal-hal yang diharamkan darinya itu ada dua macam; pertama, yang diharamkan karena zatnya (haram lizatihi). Seperti anjing, babi, bangkai, darah, khamr dan semisalnya, dan lain sebagainya. Juga bertransaksi dengannya baik jual beli, sewa menyewa maupun mengolah dan memroduksinya. Kedua, diharamkan karena dikaitkan dengan sesuatu (haram lighayrihi) yaitu yang diharamkan karena bersangkutan dengan hak-hak Allah atau hak-hak manusia. Seperti mencuri, ghasab (merampas dengan paksa), riba, judi dan sejenis dengan semua itu.

Dalam ayat ini juga Allah SWT dengan sharih menjelaskan bahwa memakan makanan dalam rangka untuk memenuhi fitrah adalah wajib, dan akan berdosa orang yang meninggalkannya atau melalaikannya. Karena perintah untuk memakan yang “halalan thayyiban” dan larangan dalam “mengikuti langkah-langkah syaithan” di dalam ayat tersebut mengandung kemaslahatan yang sangat banyak.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi dalam Aisarut Tafasir menjelaskan bahwa maksud dari kata ‘halal’ adalah segala sesuatu yang tidak membahayakan, dan itu adalah segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Dan ‘thayyib adalah sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak menjijikkan yang tidak disukai oleh jiwa.

Perintah memakan makanan yang halal dan baik adalah syarat diterimanya doa, selain itu juga menyehatkan tubuh, menguatkan akal dan menjadi wasilah yang mengantar pada kejernihan pikiran dan hati dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah SWT.

Mengonsumsi makanan yang haram, selain menghalangi dari terkabulnya doa juga menyebabkan pada rusak dan kotornya pikiran serta hati. Yang menimbulkan kecenderungan pada kemaksiatan, kekufuran, kefasikan dan kezaliman, dan ini adalah langkah-langkah setan. Dan menjauhkan manusia dari ketaatan dan mendurhakai Allah SWT.

Termasuk dalam bentuk kedurhakaan tersebut adalah mengharamkan yang halal, menghalalkan yang haram oleh Allah SWT berdasarkan akal semata. Bukan berdasarkan pada nas atau dalil. Hal ini pernah dilakukan oleh kaum musyrik jahiliah dahulu.

Kebanyakan keburukan dan kerusakan di dunia disebabkan oleh was-was dan gangguan setan. Maka Allah SWT melarang manusia agar tidak mengikuti langkah musuh-Nya dan musuh manusia, yaitu setan. Karena jika mereka mengikuti langkah setan akan mengantarkan menuju kesengsaraan dan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat selanjutnya:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:

“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah (2): 169)

Allah menegaskan dalam ayat yang lainnya bahwa syaithan itu musuh yang nyata bagi manusia, firman-Nya :

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Artinya:

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala(QS Faathir (35): 6)

Agar perintah ini berjalan dengan baik harus ada regulasi dari negara untuk menyediakan dan memastikan makanan yang beredar halal dan tayib. Negara harus menjadi perisai bagi rakyat nya untuk mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan tayib. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]