Oleh: Rahmi Ummu Atsilah
Suaramubalighah.com, Opini – Akan selalu ada kebahagiaan setiap kali mendengar gema takbir, tahmid, tasbih pada malam takbiran. Apalagi bila serentak seluruh dunia mengumandangkan. Bisa jadi selain orang Islam pun turut bersuka cita dan ambil bagian. Namun tetaplah hari kemenangan hanya bagi mereka yang beriman dan tunai dalam melaksanakan kewajiban puasa Ramadan. Artinya Idulfitri hanya untuk orang Islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim)
Momentum kebahagiaan umat Islam ini pun dipaksakan untuk menjajakan narasi toleransi versi moderasi beragama. “Satu lebaran banyak iman. Satu Idulfitri. Kembali ke fitrah. Fitrah kemanusiaan. Adakah di antara tamu-tamu saya itu yang bukan manusia? Semuanya manusia, Bani Adam. Yang dalam Al-Qur’an disebut, “Laqad karamna bani Adam.” Allah memuliakan seluruh anak Adam”, ungkap Wawan Wg dalam Mubadalah.id.
Narasi toleransi yang sudah kebablasan dikemas dalam sebuah cerita memoar tentang satu rumah dengan satu Lebaran banyak iman. Di hari kedua hari raya Idulfitri tahun ini, demikian juga tahun-tahun sebelumnya, dia menerima banyak tamu dari berbagai latar belakang agama, suku, hobi, kebangsaan, dan kewarganegaraan. Mereka semua telah dianggap sebagai saudara. Tidak hanya mereka yang berpartisipasi dalam Idulfitri, Wawan Wg pun mengaku selalu hadir dalam acara Natal teman-teman kristennya. Hal itu menurutnya bukan pencampuradukan, hanya saling mengapresiasi dengan turut bergembira meski tetap dalam iman masing-masing. (mubadalah.id, 28/04/2023)
Direktur Eksekutif di Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Nawangwulan ini mengajak teman-teman semua untuk bersama-sama gloria dei (memuliakan Tuhan), homo vivent (dengan menghormati kemanusiaan). Sungguh ini sebuah penyesatan opini bagi umat Islam.
Toleransi yang digambarkan ini akan menjadi masalah, sebab kaum muslimin digiring untuk turut pula merayakan hari-hari besar agama lain. Padahal, Islam telah melarang kaum muslimin terlibat dalam ritual agama lain. Tuhan yang mereka sembah berbeda dengan Tuhan kaum muslimin. Ibadah mereka bercampur dengan kesyirikan, sehingga tidak dapat disebut ibadah dalam Islam. Sedangkan ibadah kaum muslimin hanya untuk Allah SWT semata, selain itu semuanya harus dilakukan berdasarkan syariat yang diturunkan oleh Allah SWT. Sehingga menjadilah amalan mereka adalah amalan yang ihsan dan dinilai ibadah di sisi Allah SWT.
Allah SWT menjelaskan amal seorang hamba haruslah ihsan. Sebagaimana firmannya dalam Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 2
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُور
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Ulama salaf memiliki banyak penafsiran dalam kata أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (yang terbaik amalnya). Fudhail bin ‘iyadh menafsirkan yang dimaksud dengan yang terbaik amalannya yakni
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ
“Yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan As-Sunnah.”
Tafsir Fudhail bin ‘Iyadh ini menekankan bahwa amalan sebanyak apapun ketika dilakukan dengan tidak ikhlas karena Allah SWT maka tidak akan diterima. Demikian pula ketika seseorang beramal dengan ikhlas namun tidak sesuai dengan As-Sunnah maka tidak akan diterima pula. Dikarenakan amal yang terbaik adalah yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan syariat.
Ketidaklayakan kaum muslimin mengikuti ritual agama lain adalah aplikasi iman kita sepert dalam Al-Qur’an surat al-Kafiruun ayat 6 Allah SWT berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Surat ini menyampaikan keharusan bagi kita berlepas dari agama Yahudi, Nasrani, dan agama orang-orang musyrik kapan pun dan di mana pun.
Toleransi adalah ketika kita membiarkan yahudi dan nasrani menjalankan agama mereka, menyembah sesembahan mereka, tanpa mengganggu dan menghalangi. Dalam surat ini pula kita diwajibkan berlepas dari sesembahan (selain Allah SWT) atau segala peribadatannya. Dalam ibadah kaum muslimin semata-mata ikhlas karena Allah SWT dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, serta mengikatkan perbuatan dengan seluruh syariat Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]