Keluarga Maslahah, Proyek Feminisme Melemahkan Pilar Keluarga

Oleh: Diana Wijayanti

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul di dalamnya. Dimana seseorang tumbuh dan mendapatkan pendidikan dari orangtuanya agar bisa menjalankan kehidupannya bermasyarakat.

Di dalam Islam, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis yaitu sebagai tempat penanaman  akidah dan syariat, sehingga generasi muslim tumbuh sesuai dengan tatanan yang diturunkan oleh Allah SWT. Generasi ini dikenal dengan nama generasi takwa. Memang untuk mewujudkannya tidak hanya dari peran keluarga namun juga lingkungan, lembaga pendidikan dan negara.

Tatkala negara mengadopsi sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sistem pendidikan materialistis dan masyarakat yang liberal, maka keluarga menjadi satu-satunya tumpuan untuk membentuk generasi takwa. Keluarga ibarat benteng terakhir menjaga generasi muslim yang militan membela Islam dan kaum muslimin.

Dari keluarga inilah, para pejuang Islam yang tangguh dan terpercaya lahir. Mereka memiliki keimanan yang kokoh, taat terhadap seluruh syariah dan berani menyampaikan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar di hadapan penguasa yang zalim.

Mereka bersatu dalam barisan pejuang Islam yang tak kenal lelah menyampaikan kebenaran Islam di tengah masyarakat untuk mengembalikan kehidupan Islam di tengah masyarakat dengan tegaknya Khilafah Islam sebagaimana yang dilakukan Khulafaur Rasyidin. Hingga akhirnya barisan pejuang ini dimusuhi oleh kaum kafir penjajah dan antek-anteknya di negeri muslim.

Permusuhan terhadap pejuang ini begitu sistematis dari tatanan global, nasional, lokal hingga menyentuh keluarga muslim. Keluarga yang menjadi benteng terakhir penjagaan generasi mulai diusik, salah satunya dengan pemikiran sesat atas nama keluarga maslahah, yang sarat dengan nilai-nilai feminisme.

Ada tiga prinsip keluarga maslahah yaitu keadilan, kesalingan dan keseimbangan. Dengan ketiga prinsip ini peran suami dan istri harus setara, sehingga bisa dipertukarkan. Misalnya dalam hal nafkah, mengurus rumah tangga, dalam penentuan keputusan, hak talaq dan perizinan harus setara bagi semua pihak, agar tercipta keadilan.

Tentu saja keadilan ‘ala feminisme ini bertentangan dengan aturan yang ditetapkan Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Pengatur. Mengingat  dalam Islam telah menetapkan bahwa suami adalah pemimpin bagi istri dan anaknya dalam kehidupan berumah tangga. Hal ini sebagaimana firman-Nya :

وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang salih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.(QS An-Nisaa [4] : 34)

Kepemimpinan suami dalam rumah tangga ini tidak bisa digantikan oleh istri, meskipun dalam hal harta dan pengetahuan, istri banyak dibanding dengan suami. Istri bisa saja memberi masukan kepada suami namun keputusan, tetap di tangan suami.

Pun dalam hal nafkah, kewajibannya hanya bagi suami tidak berlaku bagi istri. Sebagaimana dalam firman-Nya :

“…وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ”

Artinya: “…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…(QS Al-Baqarah [2] : 233)

Adapun kewajiban istri adalah taat kepada suami selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS An-Nisa ayat 34 di atas. Selain itu istri juga berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim)

Rasulullah saw. menasihatkan kepada putrinya Fatimah Az Zahra untuk rida menjalankan peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangganya :

“Wahai Fathimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu. Wahai Fathimah, tiadalah seorang wanita yang meminyaki rambut kepala anak-anaknya lalu menyisirnya dan mencucikan pakaiannya, melainkan Allah pasti menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberikan pakaian seribu orang yang telanjang.”

Maa syaa Allah, begitulah Islam mengatur peran suami dan istri secara adil tanpa ada diskriminasi. Semua itu agar keharmonisan keluarga bisa berjalan dengan baik. Peran tersebut bersifat baku atau tetap tidak bisa dipertukarkan satu sama lainya sesuai hawa nafsu manusia, sebagaimana arahan feminisme. Jika dilanggar pasti akan menimbulkan kemudaratan bagi manusia.

Sehingga keluarga maslahah yang dipropagandakan feminisme ini harus ditolak oleh seluruh umat Islam. Sebagai gantinya harus dibentuk keluarga ideologis yang berpijak pada penerapan Islam secara kaffah. Adapun tips membentuk keluarga ideologis adalah sebagai berikut:

Pertama, tanamkan akidah yang kokoh pada keluarga. Akidah ini diperoleh dengan proses berpikir yang cemerlang sehingga paham hakikat manusia. Bahwa manusia adalah hamba Allah SWT yang wajib taat terhadap seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari akidah yang kokoh ini akan menghasilkan amal salih  pada setiap mukmin.

Kedua, terus belajar untuk memahami seluruh syariah yang telah diturunkan oleh Allah dan dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw.

Ketiga, mengamalkan seluruh syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari sekuat kemampuannya dan ditanamkan dalam seluruh anggota keluarga.

Keempat, mendakwahkan seluruh syariah Islam kepada masyarakat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa agar syariah Islam bisa diterapkan secara kaffah.

Kelima, selalu berdoa agar terus istiqamah dalam perjuangan melanjutkan kehidupan Islam.

Dengan beberapa tips di atas, insyaa Allah keluarga ideologis mampu terwujud sehingga keluarga muslim akan menjadi keluarga yang mampu mencetak generasi cemerlang, pembangunan peradaban Islam. Kebahagiaan di dunia dan akhirat pun akan diraih. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]