Oleh : Padliyati Siregar
Suaramubalighah.com, Opini – Idulfitri 1444 H , telah berlalu. Namun semangat dan kegembiraan kaum muslimin masih terasa. Di tengah suka cita merayakan Idulfitri ada pernyataan yang menggelitik, yakni pernyataan dari Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, yang mengatakan bahwa perayaan Idulfitri 1444 H dirayakan bersamaan dengan Hari Kartini, adalah hadiah untuk perempuan Indonesia.
Pernyataan tersebut serasa angin surga di tengah tekanan hidup yang dirasakan oleh keluarga muslim karena sulit nya kehidupan. Dan yang paling merasakan penderitaannya adalah kaum ibu (muslimah) karena kenaikan bahan pokok dan kebutuhan hidup dalam menyambut Idulfitri. Pernyataan Idulfitri hadiah bagi perempuan, narasi yang dipaksakan dalam rangka menjajakan pemikiran feminisme yakni kesetaraan dan keadilan gender, yang sejatinya justru mengeksploitasi perempuan.
Hal ini nampak dari yang dikatakan oleh Yaqut bahwa Kartini adalah sosok yang sangat menginspirasi bagi seluruh perempuan, utamanya dalam memperjuangkan kesetaraan dengan peran laki-laki. Menag berharap, dengan semangat Idulfitri, perempuan-perempuan Indonesia bisa semakin berdaya dan merdeka, sebagaimana pesan Idulfitri sendiri yang artinya memerdekakan diri.
Ditambah pernyataan dari Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Maarif Institute Associate, tentang kemenangan Idulfitri bagi perempuan, yang sangat kental dengan pesan feminisme dan justru menjauhkan perempuan dari tujuan puasa Ramadan yakni meraih takwa, sebagai mana dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah ayat 183.
Pesan yang disampaikan justru menjauhkan perempuan dari syariat Islam jauh dari makna takwa itu sendiri, misalnya pernyataan :
Pertama, perempuan/istri menginginkan para penceramah tidak melulu menuntut isteri untuk taat, patuh, pada suami.
Padahal, syariah Islam menuntut istri taat pada suaminya, sebagaimana hadis Rasulullah saw.
“Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Nabi saw., “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta).” (HR Ahmad)
Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan cara menaatinya (selama ia tidak keluar dari syariat dan hukum Allah). Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami rida kepadanya.
Kedua, berhentilah memberikan ceramah, isteri yang menolak hubungan seksual akan dilaknat malaikat sampai subuh. Sementara Rasulullah Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya memperingatkan para wanita yang telah bersuami untuk tidak menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan. Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para malaikat sampai subuh.”(HR Muslim)
Ketiga, berilah ceramah yang mengajak suami bertanggung jawab mendidik dan mengurus anak, bukan hanya tugas isteri; suami membantu pekerjaan rumah tangga hingga masalah nafkah pun dapat dilakukan oleh istri. Konsep keluarga mubadala (kesalingan) ini justru merusak tatanan syariah terkait pembagian hak dan kewajiban suami istri yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan hadis.
Kewajiban istri yang utama dan pertama sebagai ummun wa rabbatul bait, dan kewajiban suami sebagai pencari nafkah yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan hadis, berusaha untuk diubah dengan konsep kesalingan. Padahal ini justru membuat beban perempuan semakin berat. Dan menjadikan nafkah juga tanggung jawab istri justru ini bentuk eksploitasi perempuan.
Ramadan mendidik mengendalikan hawa nafsu dan taat syariat dengan memperkuat tali ikatan kepada Allah SWT melalui berbagai amalan di dalamnya. Kesempatan dan motivasi ibadah (amal salih) terbuka lebar karena Allah telah menjanjikan pahala yang berlipat di bulan itu.
Feminisme Menjauhkan Perempuan dari Syariat Islam
Namun Isu feminisme dan kesetaraan gender melalui teori moderasi Islam “feminisme muslim” dengan konsep kesalingan terus digencarkan, untuk mengotori pemahaman umat Islam. Isu ini sengaja terus disebar agar muslimah keluar dari kodratnya sebagai seorang perempuan. Mereka (feminis) selalu menggugat dan mengobok-obok syariat seputar perempuan dan keluarga seperti ke-qawwam-an laki-laki atas perempuan, pembagian waris, jilbab, poligami, sunat perempuan, serta peran perempuan sebagai ummun wa rabbatul bait.
Barat melihat perempuan dapat menjadi jembatan dan komunikator utama penderasan Islam moderat. Oleh karena itu, RAND Corporation selaku lembaga think tank kebijakan global AS mengeluarkan isu-isu gender yang bisa mendorong perempuan memperjuangkan Islam moderat. Sehingga momen idulfitri pun dimanfaatkan untuk menderaskan isu ini.
Lembaga ini memberi klaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam. Mereka pun paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariat Islam yang kaku. Hukum Islam yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami, dan sebagainya dianggap sebagai wujud diskriminasi. Oleh karena itu, kesetaraan gender harus terwujud sebagai salah satu ciri muslim moderat.
Dalam kacamata moderasi, perempuan adalah aset strategis. Pendidikan moderasi Islam akan sangat efektif bila setiap perempuan yang notabene adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya mampu menanamkan Islam sesuai arahan Barat, yaitu keluarga muslim moderat. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Bila ibu menanamkan moderasi di dalam keluarga, setiap anggota akan terpapar juga.
Moderasi dipandang sebagai solusi atas hak-hak perempuan yang termarginalkan, khususnya hak perempuan sebagai pemimpin dan pemegang jabatan strategis pemerintahan. Menurut moderasi, perempuan haruslah berdaya dalam ekonomi dan politik. Pandangan Islam mengenai kemuliaan perempuan sebagai ‘ibu dan pendidik generasi’ bergeser menjadi ‘ibu yang mandiri dan kuat’.
Baik moderasi agama maupun feminisme sesungguhnya lahir dari rahim yang sama, yakni sekularisme. Paham ini ingin menjauhkan umat dari gambaran Islam yang sesungguhnya sehingga terciptalah proyek moderasi dan kesetaraan gender dengan membingkai perempuan akan mendapatkan hak-haknya yang terampas karena kungkungan agama dan budaya patriarki.
Dari semua pernyataan itu jelas telah menodai kesucian hari nan fitri dan bukan kado terindah tapi kado pahit bagi kita khususnya perempuan. Kita tak bisa menikmati kemenangan sejati. Secara individu mungkin mendapatkannya, tapi kemenangan sebagai umat terbaik di hadapan umat lain, belum. Justru saat ini kita hidup dalam sistem sekuler yang jauh dari Islam.
Meraih Makna Hakiki Idulfitri
Idulfitri harus menjadi momentum kita semua untuk berubah. Menjadi manusia baru. Laksana kupu-kupu yang indah memesona, yang baru melewati masa kepompong selama Ramadan. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara totalitas, tanpa batas.
Akhirnya, mari bergandeng tangan. Eratkan ukhuwah dan kesampingkan perbedaan furu’iyyah. Perjuangkan syariat. Tegakkan sistem hidup berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Hidup mulia dengan Islam. Ingatlah seruan Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya jika dia menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS Al-Anfal [8]: 24)
Semoga Allah SWT menolong kita. Menerima puasa kita. Mengabulkan doa-doa kita. Juga menempatkan kita semua di jannah-Nya. Karenanya, pasca-Ramadan, menjadi momentum untuk membuktikan diri, bahwa kita adalah umat yang layak dan berhak untuk disebut sebagai umat yang bertakwa di hadapan Allah SWT. Yakni, umat yang siap melakukan perjuangan besar sehingga terwujud perubahan dunia.
Yaitu, perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang sebelumnya jauh dari aturan Islam, berubah menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Inilah perubahan besar dunia menuju diterapkannya syariah Islam secara kaffah, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah SWT. Bukankah Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Syariah Islam secara kaffah hanya bisa terwujud nyata dengan adanya institusi yang melaksanakannya, yakni Khilafah. Momentum berakhirnya puasa Ramadan, insya Allah telah melahirkan kembali jutaan umat Islam yang telah memiliki kadar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang tinggi, besar, dan kuat. Dan ini menjadi modal bagi terbitnya fajar kemenangan Islam di muka bumi ini. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]