Oleh Ashaima Va
Suaramubalighah.com, Opini – Masjid adalah rumah Allah. Masjid memiliki makna yang mendalam bagi umat Islam. Membangun masjid adalah langkah pertama yang Rasulullah lakukan saat kali pertama tiba di Madinah. Kala itu dari masjidlah pengajaran Al-Qur’an diberikan, keputusan penting dibuat dan perlindungan bagi yang lemah diberikan. Dari Rasulullah kita pelajari jika kita wajib memakmurkan masjid.
Maka kaum muslimin dari masa sahabat, tabi’in, dan masa kekhilafahan setelahnya menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan. Peradaban Islam yang mulia, dimulai dari masjid. Masjid adalah simbol persatuan. Tak pandang harta, jabatan, suku, dan ras, semua setara, ruku‘ dan sujud untuk menghamba pada Allah SWT. Dari masjid pula kaum muslimin bisa berkumpul mengkaji Al-Qur’an dan mendengarkan nasihat para ulama.
Sayangnya fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya masjid yang sepi. Syi’ar Islam berupa kajian keislaman yang lazimnya dilakukan di masjid sudah tak terdengar gaungnya. Ceramah Jum’at pun menjadi tak khas lagi, khatib hanya berani menyampaikan Islam yang terkait ibadah dan akhlak saja. Yang membuat miris adalah masjid bukan hanya sepi dari kajian keislaman bahkan sepi pula dari orang-orang yang salat berjama’ah.
Sebagaimana yang terjadi di Masjid Ukhuwah Islamiyah di Universitas Indonesia (UI) Depok. Masjid yang biasa ramai dengan kajian keislaman berbagai kelompok kini terlihat sepi. Ghirah dakwah mahasiswa sudah tak seperti dulu. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Herri Cahyadi, alumni yang merampungkan S1 dan S2 di universitas nomor satu di indonesia. Mahasiswa yang ramai mengaji sudah tak terlihat lagi, bahkan sudah tak telihat lagi mahasiswa yang ikut shalat berjama’ah (Republika.co.id, 14/3/2023)
Jika ditelusuri lebih lanjut fenomena sepinya masjid tidak hanya terjadi di Masjid UI. Beberapa kampus besar pun masjidnya sudah tidak seramai dulu. Bahkan tidak hanya di masjid-masjid kampus. Masjid-masjid besar besar di beberapa kota juga mengalami nasib yang serupa.
Propaganda Radikalisme Menjauhkan Kaum Muslimin dari Islam
Agaknya permasalahan sepinya masjid bukan hanya dikarenakan oleh pandemi COVID-19. Lebih dari itu masjid yang sepi bermula dari adanya peringatan dari pemerintah agar masjid tidak dijadikan tempat penyebaran paham radikalisme. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana upaya pemerintah melakukan pemetaan masjid dan pemberian sertifikasi bagi para penceramahnya. Sayangnya narasi radikalisme tidak lebih dari alat propaganda saat islamophobia lebih mengemuka.
Maka tak heran jika saat ini banyak kita temui proyek deradikalisme. Mulai dari pesantren hingga kampus sehingga berpengaruh pada kondisi sepinya masjid. Karena deradikalisasi pula banyak masjid-masjid kampus yang melakukan pelarangan dan pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa di masjid.
Misalnya saja upaya mempropagandakan radikalisme di dunia kampus, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) dalam laman resminya menyatakan isu pencegahan radikalisme di kampus menjadi perhatian BNPT. Berkolaborasi dengan berbagai elemen upaya memberantas bibit radikalisme di kampus akan terus ditingkatkan (bnpt.go.id, 19/1/2023)
Tidak hanya itu upaya propaganda radikalisme juga dilakukan pada tingkat masjid dan pondok pesantren. Kepala BNPT, Boy Rafli Ammar menyatakan masjid dan ponpes bisa memberikan pemikiran-pemikiran yang moderat, untuk mendakwahkan narasi pesan kedamaian yang penting untuk mereduksi paham radikal. Hal ini beliau sampaikan saat meresmikan Masjid Sumaryati di Jasinga, Bogor. (JPPN.com, 27/3/2023)
Propaganda radikalisme telah menjauhkan kaum muslimin dari Islam, pernyataan tersebut bukanlah isapan jempol semata. Upaya masif yang diaruskan para pemangku kebijakan telah membuat islamophobia menggejala di berbagai kalangan.
Maka tengoklah saat ini ceramah-ceramah di masjid dibatasi, jika isi ceramah mengajak umat untuk berislam secara benar serta kaffah maka akan diframing terafiliasi dengan kelompok radikal. Padahal definisi radikal saja masih belum jelas dan cenderung dialamatkan pada kelompok dakwah yang ingin kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang murni.
Propaganda Radikalisme Menegasi Islam yang Haq
Moderasi beragama sebagai kebalikan dari radikalisme sesungguhnya bukan berasal dari Islam. Dalam salah satu sub judul dari buku yang dikeluarkan oleh Rand Corporation sebagai lembaga think tank Barat, berjudul Building Moderate Muslim Network, dinyatakan jika karakteristik muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims) adalah muslim yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian (sekuler); serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).
Bisa disimpulkan jika masifnya opini moderasi beragama merupakan upaya barat dan para kompradornya untuk melucuti ajaran islam yang paripurna agar sesuai dengan nilai-nilai Barat. Kaum muslimin dikatakan tidak radikal jika pro peradaban Barat dengan mendukung liberalisme, LGBTQ, kesetaraan gender, dsb. Maka jangan heran jika yang mengharamkan LGBTQ, riba, dan zina disebut sebagai ekstrem. Kaum muslimin yang menolak mengucapkan selamat hari raya pada agama lain sebagai bagian dari keyakinan akidah dianggap sebagai intoleran dan anti kebhinekaan. Lalu yang tak habis pikir lagi kaum muslimin yang menyebut kafir pada pemeluk agama lain (karena begitulah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebut mereka) akan dilabeli radikal.
Semoga momentum Ramadan ini bisa digunakan para pengemban dakwah untuk menderaskan dakwah pada syari’at Islam yang komprehensif. Jangan lagi termakan oleh propaganda radikalisme dan mendukung moderasi beragama.
Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا . أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Sungguh orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami mengimani sebagian dan mengingkari sebagian (yang lain).” Mereka bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah kaum kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk kaum kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS An-Nisa [4]: 150-151)
Semoga fenomena sepinya masjid bisa membuka mata umat akan bahaya dari propaganda radikalisme dan proyek deradikalisasi. Padahal kemuliaan yang Allah berikan pada siapa saja yang membangun dan memakmurkan masjid sangat besar. Sebagaimana dalam hadis dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ
“Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” (HR Ibnu Majah)
كلُّ خطوةٍ يخطوها أحدُكم إلى الصلاةِ يُكْتَبُ لَهُ) بها (حسنةٌ ويُمْحَى عنه بِها سَيِّئَة
“Setiap langkah menuju tempat salat (masjid) akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” (HR Imam Ahmad)
Karena memakmurkan masjid dan taat pada syari’at Islam kaffah adalah bukti keimanan, juga ketaatan dan kecintaan pada Allah SWT. Wallahua’lamu bishshawab. [SM/Ln]