Oleh: Ustazah Yanti Tanjung
Suaramubalighah.com, Opini – Tidak dipungkiri bahwa hingga saat ini di pesantren masih terdapat dikotomi ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan banyak pesantren hanya belajar ilmu-ilmu agama saja dengan kitab turast-nya atau kitab kuningnya. Kalaupun ada pesantren yang belajar ilmu umum porsinya tentu tidak sebesar ilmu agama yang mengambil bagian 75% sedangkan ilmu pengetahuan umum 25%. Namun belakangan ini mulai dicanangkan dalam kurikulum pesantren menyeimbangkan pelajaran agama dengan pelajaran umum untuk menjawab tantangan zaman dan generasi.
Dikotomi ilmu ini dilahirkan dari kurikulum berbasis sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, pelajaran umumpun tidak terintegral dengan azas akidah Islam tetap mengarah kepada sekularisme untuk kepentingan dunia kerja kapitalisme. Dari sini bisa dilihat bahwa kurikulum pesantren dirasa hebat dalam penguasaan agama namun gagap dalam menyelesaikan urusan dunia semisal ekonomi, pergaulan, pemerintahan, kepemimpinan termasuk urusan politik.
Ketika pesantren mulai menyadari kelemahannya dalam urusan-urusan dunia merasa insecure dengan tsaqafah pesantren yang mereka miliki sehingga perlu untuk membuka diri seluas-luasnya kepada wawasan-wawasan lain di luar pesantren. Parahnya wawasan di luar pesantren itu menghembuskan sekulerisme semakin memanas sehingga orientasi pesantren menjadi berubah dan teralihkan yang tadinya ingin mencetak ulama yang kredible yang faqih fiddin rujukan umat, hari ini semakin memudar, kalau toh pun ada visinya mulai mengendor dan mulai mengecil.
Upaya Pembajakan kurikulum Islam Politik di Pesantren
Sejatinya proyek-proyek melemahkan peran pesantren dalam mengusung Islam solusi dan Islam politik sudah dimulai sejak lama, sejak penjajahan kafir Barat datang ke nusantara khususnya Belanda, karena pesantren lembaga yang melahirkan para pemikir islam dan para mujahid yang anti penjajahan Hingga saat ini penjajahan tersebut masih berlangsung dengan berbagai strategi keberlanjutannya dan beragam gaya yang diterapkannya dan pesantren masih dianggap bahaya bagi kepentingan penjajah di negeri ini.
Belakangan ini pesantren menjadi sorotan pemerintah dalam dua hal pertama pesantren sebagai kekuatan ekonomi, kedua pesantren sebagai penggerak moderasi beragama. Untuk dua hal proyek ini semakin menjauhkan peran pesantren untuk melahirkan generasi ulama yang menguasai seluruh tsaqafah Islam secara mendalam. Lebih jauhnya lagi pesantren akan semakin dilemahkan mengedukasi santri tentang Islam kaffah.
Generasi santri dialihkan untuk berbisnis mendapatkan pundi-pundi materi dengan program One Pesantren One Product bertujuan untuk menciptakan kemandirian santri secara ekonomi. Semakin klop ketika proyek moderasi beragama masuk pesantren yang menggaungkan nilai-nilai kebangsaan, toleransi dan radikalisme. Kurikulum di pesantren semakin terasa sekuler dan tidak hanya itu mampu merubah cara pandang pesantren dalam beragama dengan cara pandangan yang diarahkan Barat dengan menganggap semua agama adalah benar dan antar umat beragama khususnya umat Islam harus saling toleransi beragama namun kenyataannya adalah partisipasi dalam beragama dan berbudaya.
Sisi lain untuk memenuhi peran politik pesantren dalam suksesi kepemimpinan di negeri ini, pesantren hanya tempat pendulangan suara yang menguntungkan, karena pesantren sangat potensial untuk memenangkan pemilu. Maka berbondong-bondonglah partai go-pesantren untuk mengambil hati para kyai dan santrinya dengan harapan suara itu diberikan kepada partainya. Maka dalam hal ini pesantren seperti tidak memiliki pegangan dalam berpolitik selain sebagaimana yang diarahkan Barat melalui antek-anteknya dengan pesta demokrasi. Lantas yang terjadi tidak hanya suara umat yang terpecah belah karena diperebutkan para calon yang ikut dalam kontes pemilu tapi juga berikut terpecah belahnya persatuan umat Islam.
Mau tidak mau pesantren sedikit demi sedikit merubah haluan kurikulumnya menjadi berorientasi materi, moderasi beragama dan politik demokrasi. Kita menyaksikan hari ini pesantren tidak lagi unjuk gigi dan unjuk keberanian dalam mewujudkan Islam sebagai satu-satunya sistem politik yang mengurusi seluruh aspek kehidupan.
Pesantren, Politik, Dakwah dan Jihad
Di awal perkara munculnya pendidikan pesantren meski tidak diistilahkan dengan kurikulum, yang dipelajari di pesantren mencakup seluruh kehidupan mulai bab thaharah hingga bab kekuasaan. Bahkan pesantren sebuah lembaga yang ditakuti oleh kafir penjajah dalam memobilisasi Islam politik, dakwah dan jihad. Secara histori bisa kita baca ulama-ulama pesantren dalam mengusir penjajahan berada di barisan terdepan dan senantiasa respon dengan persoalan-persoalan agama dan umat dan terus berjuang secara gigih untuk mempertahankan kemurnian agama dari serangan-serangan pemikiran penjajah. Ulama pula yang berjuang untuk menegakkan syariah Islam kaffah di negeri ini.
Bahkan resolusi jihad pernah dikumandangkan oleh seorang ulama terkemuka di nusantara ini, yakni Syeikh Hasyim Asy’ari rahimahullahu ta’alaa mengomandoi santri-santrinya untuk berjihad memerangi penjajahan belanda pada tanggal 22 Oktober 1945. Belakangan momen jihad ini dijadikan Hari Santri, meskipun maknanya sudah dikaburkan dan dikuburkan oleh pemerintah dan diamini oleh pesantren dan santri.
Namun ketika penjajah menyadari bahaya pesantren sebagai pabrik yang secara kontinyu memproduksi para ulama dan mujahid yang senantiasa menghalangi hegemoni penjajahan Barat di negeri ini maka merakapun merancang strategi untuk mematikan kurikulum pesantren dengan hanya membahas tentang ritual keagamaan saja bahkan semakin menyesatkannya atas nama moderasi beragama.
Peran Pesantren dalam Edukasi Islam Politik
Pesantren mengadopsi thuruqul ilmi (jalan ilmu) para ulama salaf dengan talaqqi (bertemu), shuhbah (bergaul antara guru dan murid) dan tuluz zaman (waktu yang panjang). Dari sini kita dapat memahami bahwa ilmu di pesantren diajarkan bersambung sanadnya, tidak terputus berguru hingga sampai kepada Rasulullah saw.
Kitab-kitab yang diajarkan pun di pesantren mencakup seluruh aspek ilmu, mulai dari Bahasa Arab, akidah Islam, Al-Qur’an, hadis, fikih, ulumul Qur’an, tafsir, ulumul hadits, ushul fiqh, sirah dan tarikh, lengkap membahas seluruh aspek kehidupan mulai cara masuk wc hingga cara mengangkat seorang pemimpin. Tidak ada satupun yang terlewat dalam kitab-kitab para ulama salafus shalihin yang merupakan referensi utama dan makanan akal setiap hari para santri. Karenanya pesantren dari dulu sudah mengedukasi umat tentang Islam politik.
Islam politik adalah Islam yang mengurusi urusan seluruh aspek kehidupan karena makna politik Islam itu sendiri adalah mengurusi urusan umat oleh Khilafah di dalam negeri dengan menerapkan syariah Islam maupun di luar negeri menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam seharusnya mengembalikan fungsi utamanya untuk mengedukasi umat tentang Islam politik dalam makna lain Islam kaffah agar umat memahami Islam secara utuh dan sempurna tidak parsial. Dan juga tidak menjadikan pesantren untuk melegitimasi kepentingan Barat. Sekiranya pesantren memerankan pendidikannya untuk mengajarkan Islam politik maka akan kita dapatkan kualitas generasi khairu ummah (umat terbaik) yang siap sedia melahirkan imamul muttaqin (pemimpin yang bertakwa), memimpin negara dan umat menerapkan sistem politik islam yang berkelas dan memimpin dunia. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]