Islam Diselaraskan dengan Budaya, Konsep yang Berbahaya

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab – Tanya:

Ada opini yang menyatakan bahwa agama harus diselaraskan dengan kebudayaan suatu masyarakat yang hidup dengan beragam perbedaan. Benarkah pandangan tersebut? Mohon penjelasannya.

 (Mardhiyah, Cirebon)

Jawab:

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Budaya diartikan sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, artinya mengolah atau mengerjakan. Kata culture, diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya atau kultur ini bagian dari peradaban (hadharah) manusia, yaitu:

مَجْمُوْعَةُ المَفَاهِيْمِ عَنِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Kumpulan konsepsi [pemahaman] tentang kehidupan dunia.”

Peradaban (hadharah) manusia ini mencakup pandangan tentang akidah, sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, termasuk politik luar negeri. Dan peradaban (hadharah) ini terkait dengan perbuatan manusia. Sedangkan perbuatan manusia tidak bisa dipisahkan dari benda atau bentuk-bentuk fisik (madaniyah). Maka benda yang dihasilkan oleh manusia, ada yang terkait dengan peradaban (hadharah), seperti patung, salib, dan lukisan makhluk hidup; namun ada yang tidak atau bersifat universal, seperti mobil, laptop, handphone, dan sebagainya.

Realitas budaya sebagai bagian dari peradaban (hadharah) itu sendiri, memang ada yang baik (hasan) dan ada yang buruk (qabîh). Budaya yang buruk, secara ittifâq, tidak diakui secara syariat. Lalu siapa yang menentukan baik (hasan) dan buruk (qabîh) suatu budaya, apakah akal atau syariat?

Akal jelas kemampuannya terbatas dan sering terpengaruh dengan lingkungan, situasi, dan kondisi. Karena itu akal tidak bisa menentukan baik (hasan) dan buruk (qabîh), terutama ketika baik (hasan) dan buruk (qabîh) ini terkait dengan konsekuensi pahala dan dosa. Akal, hari ini, kadang melihat sesuatu baik (hasan), tetapi besok bisa berubah, melihatnya buruk (qabîh).

Oleh karena itu, ketika akal diberi otoritas untuk menentukan budaya yang baik (hasan) dan buruk (qabîh), itu akan menyebabkan kekacauan terhadap hukum Allah. Ini tidak dibenarkan. Oleh sebab itu, syariatlah satu-satunya yang harus digunakan dalam menentukan budaya ataupun peradaban.

Budaya atau peradaban memang ada yang bertentangan dengan syariat dan ada yang tidak. Jika bertentangan dengan syariat, maka syariat datang untuk menghilangkan dan mengubahnya. Sebabnya, salah satu fungsi syariat adalah mengubah budaya ataupun peradaban yang rusak.

Jika ada budaya atau peradaban yang tidak bertentangan dengan syariat, maka hukumnya ditetapkan oleh syariat dengan dalil syariat, dan ‘illat syariatnya, bukan berdasarkan budaya ataupun peradaban ini, meskipun tidak menyalahi syariat. Karena itulah, bukan budaya yang menentukan syariat, tetapi syariatlah yang menentukan status budaya dan peradaban tersebut.

Dengan demikian, bukan Islam yang mengikuti kebudayaan suatu masyarakat. Sebaliknya, budaya masyarakatlah yang harus mengikuti Islam. Syariatlah yang harus digunakan untuk menentukan budaya masyarakat tersebut; apakah benar atau salah; apakah baik atau buruk. Jika ada dalil syariat yang menyatakan kebolehan budaya masyarakat tersebut, maka budaya masyarakat tersebut diterima, karena ada dalil syariatnya yang membolehkan. Jika tidak dinyatakan oleh dalil syariat, maka illat-nya harus dikaji. Jika ada ‘illat syar’i-nya, maka ‘illat-nya diakui dan bisa dimasukkan ke dalam qiyas.

Dengan demikian, menjadikan Islam diselaraskan dengan kebudayaan suatu masyarakat yang hidup dengan beragam perbedaan, jelas ini konsep yang keliru. Ini sama dengan menjadikan budaya yang merupakan hasil cipta akal manusia dijadikan sebagai dalil untuk menentukan baik dan buruk sesuatu ataupun perbuatan. Jelas hal ini tertolak secara syariat.

Di sisi lain, akan muncul bahaya besar jika Islam diselaraskan dengan budaya masyarakat. Di antaranya, berakibat Islam ditafsirkan sesuai hawa nafsu manusia. Akibatnya, hal ini bisa memandulkan, merusak, bahkan menyimpangkan ajaran Islam. Selain itu juga, bisa membodohi, mengaburkan, dan menjauhkan pemahaman umat terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya, bahkan bisa merusak akidah umat yang mengantarkan pada kesyirikan ataupun kemurtadan, serta bisa juga mengantarkan umat pada perbuatan yang melanggar syariat ataupun dosa. Walhasil, kehidupan umat akan semakin jauh dari Islam (sekuler dan  liberal), yang tentunya kian menjauhkan umat dari kebangkitan hakiki untuk melangsungkan kehidupan Islam secara kaffah di bawah naungan sistem Islam, Khilafah. [SM/Ln]