Dra. Rivanti Muslimawaty, M. Ag.
Suaramubalighah.com, Opini – Beberapa waktu lalu viral video pelaksanaan salat Idulfitri yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Zaitun di Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu. Hal ini menjadi viral karena dalam pelaksanaan salat tersebut ada seorang jama’ah perempuan berada di barisan depan bersama jama’ah lelaki. Selain itu ada nonmuslim yang duduk di kursi sebelah kiri perempuan tadi. Shaf shalat pun tidak rapat seperti seharusnya, malah antara jama’ah diberi jarak.
Pemerintah setempat, dalam hal ini MUI, sudah mencoba mengklarifikasi kebenaran video yang viral tadi. Pihak pondok pesantren tidak membantah konten video itu yang menunjukkan adanya kesengajaan terjadinya pelaksanaan salat yang mengejutkan tersebut.
Kasus Al-Zaitun terkategori sebagai perusakan agama (Islam) yang marak terjadi di negara-negara sekuler, termasuk di negeri ini. Perusakan lainnya yang dilakukan Al-Zaitun yaitu membolehkan perempuan menjadi khatib salat Jum’at.
Penyebab utama perusakan agama dikembalikan pada eksistensi ide sekularisme liberalisme saat ini yang menjauhkan umat dari gambaran Islam kaffah, yaitu Islam yang utuh, menyeluruh. Selama ini Islam dipahami sebagai agama ritual belaka, yang tidak mengatur aspek lain di luar itu. Maka Islam pun disingkirkan dari urusan politik, pemerintahan, ekonomi, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Sekularisme yang menjadi dasar kapitalisme liberalisme tidak membiarkan agama berperan dalam kehidupan penganutnya. Sekularisme memberikan ruang pada agama hanya dalam soal ibadah belaka, tidak lebih. Sekularisme yang mewarnai benak umat Islam di negeri ini, akhirnya menjauhkan umat dari syari’at Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat. Sekularisme menjadikan syariat Islam tidak dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan manusia.
Di samping itu, perusakan agama terjadi karena hilangnya fungsi negara sebagai hifz al-dien, yaitu penjaga agama. Negara sekuler justru menjaga empat macam kebebasan di tengah rakyat, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan bertingkah laku. Kebebasan dalam beragama memungkinkan terjadinya perusakan agama karena adanya pengabaian dari negara dalam menjalankan perannya sebagai penjaga agama.
Juga tidak ada sanksi tegas dari negara terhadap pelaku pelecehan atau perusakan agama. Yang ada adalah ancaman bagi kasus penistaan agama yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156a, yakni memidanakan mereka yang di muka umum mengeluarkan sesuatu yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud menghasut seseorang agar tidak menganut agama tertentu. Ancaman hukumannya tidak membuat jera karena hanya diancam sekitar 5 atau 6 tahun, itupun bisa jadi berkurang karena ada kebijakan remisi hari-hari istimewa yang membuat terpidana dapat menikmati kebebasannya lebih cepat.
Akan beda ceritanya bila syari’at Islam diterapkan secara utuh dan menyeluruh dalam institusi Khilafah. Khilafah memiliki beberapa peran, yaitu penjagaan agama (hifdzud diin), penjagaan jiwa (hifdzun nafsi), penjagaan akal (hifdzul ‘aqli), penjagaan keturunan (hifdzun nasl), penjagaan harta benda (hifdzul maal), penjagaan kehormatan (hifdzul karomah), penjagaan keamanan (hifdzul amn), dan penjagaan negara (hifdzud dawlah).
Sebagai penjaga agama, Khilafah tidak akan membiarkan pelecehan maupun perusakan agama terjadi. Khilafah akan menerapkan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agar agar memberi efek jera juga mencegah yang lain berbuat serupa. Sejarah mencatat bagaimana khalifah Abdul Hamid merespon pelecehan terhadap Rasulullah saw. Saat itu beliau memanggil duta besar Prancis untuk meminta penjelasan atas niat Prancis menggelar teater yang melecehkan Rasulullah saw. Beliau berkata pada duta besar Prancis, “Akulah khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”
Beliau menjalankan amanah sebagai penjaga agama, sesuai dengan hadits yang disampaikan Rasulullah saw.
عِيَّتِهِ عَنْ وَمَسْئُولٌ رَاعٍ الإِمَامُ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari).
بِهِ وَيُتَّقَى وَرَائِهِ مِنْ يُقَاتَلُ جُنَّةٌ اْلإِمَامُ إِنَّمَا
Sungguh Imam/Khalifah adalah perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR Muslim).
Pertunjukan teater pun tidak jadi dipentaskan di Prancis dan pindah ke Inggris. Ketika Kerajaan Inggris bersikukuh akan mementaskan teater murahan ini, khalifah berkata, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!” Kerajaan Inggris pun ketakutan sehingga pementasan dibatalkan.
Inilah sosok khalifah yang bertanggung jawab dalam menjaga agama. Hal ini hanya akan terjadi dalam Khilafah yang menerapkan Islam sebagai aturan seutuhnya, bukan Islam yang diterapkan dalam praktik ibadah semata.
Karena itu, mari kita bersinergi menyatukan seluruh kemampuan umat untuk berupaya secara keras dan cerdas dalam memahamkan umat bahwa umat butuh Khilafah, bahwa manusia seluruhnya butuh Khilafah. Hanya Khilafah yang terbukti dapat menjaga agama dan memanusiakan manusia. Wallahu a’lam bishshawab [SM/Ln]