Ketika Tontonan Jadi Tuntunan

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini – Munculnya beberapa film yang berlatar belakang pondok pesantren di dunia perfilman Indonesia, oleh beberapa pihak di kalangan pondok pesantren, dianggap sebagai angin segar untuk menggugah kalangan pesantren terutama bagi para santri untuk bisa berkarya.

Salah satu pihak yang mengapresiasi kehadiran film tersebut adalah Wakil Kepala Pesantren Bayt Al-Hikmah Kota Pasuruan Ning Widad Bariroh. Beliau hadir dan turut serta untuk menyaksikan gala fremier film “Hati Suhita” di Royal Plaza Surabaya, Jum’at (12/05/2023).

Menurut Ning Widad,  film ini merupakan sebuah karya yang tidak bisa dinilai karena tidak ternilai. Selain film ini diadaptasi dari novel hasil karya Ning Khilma Anis yang merupakan sosok santri tulen alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Film ini juga banyak menyampaikan pesan dan nilai-nilai yang lebih dalam tentang kehidupan pondok pesantren yang tersirat. Oleh karena itu kata Ning Widad, “Para santri harus dapat memetik pelajaran, meniru dan mengikuti jejak Ning Khilma Anis yang telah mampu berkarya sejauh ini.”  Dilansir dari Jatim.nu.or.id, 13 Mei 2023.

Lalu benarkah film-film bertajuk pondok pesantren yang hadir saat ini, dapat menginterpretasi kehidupan secara mendalam lembaga pendidikan pesantren dan para santri? Apakah layak ditonton dan bisa dijadikan tuntunan dalam kehidupan di masyarakat? Atau justru menjadi komoditas baru untuk mengalihkan potensi lembaga pendidikan pesantren, hingga berpeluang menjadi media propaganda sistem kapitalisme demi menyebarkan ide dan pemikirannya yang sekuler.

Bahaya Tontonan

Maraknya film bertajuk kehidupan pondok pesantren yang diproduksi dan dirilis saat ini, patut menjadi perhatian yang serius dari berbagai pihak. Mengingat bahwa kemampuan film untuk mengantarkan pesan kepada penonton sangat unik. Dalam setiap film, selalu memiliki konsep yang akan disesuaikan dengan pesan yang akan disampaikan. Karena fungsi dari film, selain sebagai media hiburan bagi masyarakat juga berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan. Baik berupa ide maupun nilai-nilai tertentu sebagai bentuk propaganda terselubung untuk tujuan, kepentingan dan agenda tertentu.

Melalui cerita  yang dikemas dengan audio dan visual yang menarik, film mampu bercerita tentang banyak hal dalam waktu yang singkat. Hingga akhirnya tanpa disadari oleh penonton, mereka akan terbius kemudian mengambil ide serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi tayangan serta konsep yang disajikan dalam film saat ini, justru lebih menonjolkan sisi sensualitas dengan dibumbui adegan-adegan seksualitas serta gaya hidup yang liberalis-sekularis. Walhasil hal ini berdampak pada pemikiran maupun sudut pandang masyarakat terhadap standar nilai dan gaya hidup masyarakat secara keseluruhan.

Hal ini pun diakui secara eksplisit  oleh pimpinan pondok pesantren, sekaligus ulama perempuan, Nyai Hj Masriyah Amva, saat jumpa pers di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023). Lewat film dokumenter pesantren garapan sutradara Shalahuddin Siregar,  yang mengambil tema model kehidupan para penghuni pesantren di pondok pesantren tradisional terbesar di Cirebon, Pondok Kebon Jambu Al-Islamy yang beliau pimpin.

Nyai Hj Masriyah memiliki harapan besar terhadap masyarakat agar melalui film ini, hadir persepsi baru masyarakat terhadap kehidupan santri di pondok pesantren dan juga kesetaraan gender. Menurutnya, “Kesetaraan gender itu bukan untuk merusak agama atau merusak ajaran-ajaran, tapi untuk menguatkan agama dan akan membawa makna bagi negara, agama, dan dunia.”

Pernyataan ini pun diamini  oleh KH Husein Muhammad. Dengan mengatakan bahwa film yang bertajuk pesantren juga bisa menjadikan contoh bagi lembaga-lembaga lain untuk menciptakan ruang sosial yang damai dan bersahaja, rendah hati, saling menghormati, saling mencerdaskan, dan bekerja sama sesuai dengan apa-apa yang diekspresikan oleh film ini. Sehingga bisa ditiru terkait relasi kesetaraan gender dan relasi penghormatan kepada siapapun. (Republika.co.id, Kamis 25 Mei 2023)

Ini berarti, film-film yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang bertajuk pondok pesantren saat ini, sejatinya  merupakan bagian dari upaya propaganda ideologi kapitalisme sekuler yang terselubung. Ideologi kapitalisme-sekuler telah menjadikan film sebagai alat, sarana dan komoditas baru sebagai media penyebaran ideologinya agar semakin kokoh mencengkeram kekuasaannya.

Sebab faktanya film-film yang ditayangkan lebih banyak menceritakan sisi kehidupan sekuler. Di dalamnya tampak interaksi ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), aktivitas pacaran serta gambaran tentang kehidupan pondok pesantren yang justru menampilkan situasi dan kondisi yang bertentangan dengan syariat Islam serta jauh dari penerapan sistem Islam .

Mirisnya lagi, di dalam film tersebut juga terdapat upaya-upaya untuk menanamkan ide dan pemikiran sekuler yang semakin masif terhadap generasi muslim. Tentu saja ini sangat berbahaya karena berpeluang menjadi tuntunan bagi generasi muslim dalam tatanan kehidupan di masyarakat. Bahkan telah nyata merusak generasi muslim dengan merebaknya gaya hidup sekuler-liberal. Di mana angka penderita HIV/AIDS pada remaja akibat dari pergaulan sex bebas makin tinggi. Demikian pula dengan angka kenakalan remaja dan kriminalitas juga terus melambung tinggi.

Apalagi jika dikaitkan dengan ide dan pemikiran feminisme dan kesetaraan gender. Ide yang lahir dari ideologi kapitalisme ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ide ini telah mendorong para perempuan termasuk santriwati untuk hidup mandiri, berkarya dan berdaya guna di ranah publik.  Hingga tak jarang mengambil ide seperti, childfree, emansipasi dan ide-ide lain yang menghantarkan mereka pada kondisi melupakan fitrah dan perannya sebagai perempuan.

Dari sini tampak jelas, melalui industri film, ideologi kapitalisme-sekuler telah berupaya mengalihkan orientasi para santri dari semangat menuntut ilmu agar menjadi para ulama surgawi yang faqih fiddin. Menjadi orientasi bersifat duniawi yang materialistik.

Peran Media

Umat Islam harus senantiasa waspada dan memahami bahwa film-film yang diproduksi hari ini, hakekatnya merupakan media yang sengaja direkayasa oleh kaum kafir dan antek-anteknya yang diarahkan langsung maupun tidak langsung untuk menghancurkan generasi muslim.

Sadarilah, sesungguhnya berbagai informasi yang sampai ke tengah-tengah kaum muslim saat ini, merupakan agenda setting Barat. Melalui 3F (fun, food dan fashion), mereka terus menerus melancarkan serangannya untuk menyingkirkan kedudukan tsaqafah Islam sebagai informasi mulia dan penting. Tujuannya adalah untuk memalingkan umat Islam dari akidah dan agamanya. Hingga umat Islam melupakan kewajiban-kewajiban pokoknya untuk menegakkan Islam kaffah dalam institusi negara Khilafah.

Oleh karena itu, umat Islam harus bangkit dan memiliki strategi khusus untuk menjaring setiap tontonan maupun informasi yang rusak dan harus mampu memisahkan antara haq dan bathil yang membahayakan nilai dan ideologi Islam. Umat Islam harus memperhatikan dari mana sumbernya dan siapa yang menyampaikan informasi, isi informasi, serta adab dalam menerima informasi. 

Maka untuk mewujudkan strategi ini, akal dan pikiran manusia harus terus digerakkan ke arah ide dan pemikiran Islam agar dapat membangun masyarakat islami yang kuat dan kokoh. Sehingga kemudian umat akan fokus untuk mendalami dan mempelajari Islam dan tertuntun pada semangat dan kerinduan untuk bersegera dan berjuang bersama-sama dengan para pengemban dakwah Islam untuk mematuhi perintah Allah SWT. Dan menolong agaman-Nya dengan jalan memusnahkan dan mencampakkan ideologi kapitalisme-sekuler. Sesuai dengan firman Allah SWT.

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (QS Al-Anfal: 24)

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]