Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Sejatinya Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Islam bukan hanya sekadar akidah ruhiyah, lebih dari itu Islam adalah ideologi yang sempurna dan sahih. Dari akidah Islam itulah, lahir berbagai sistem yang menjadi pijakan manusia dalam menjalani hidup dan memecahkan persoalan hidupnya. Mulai dari masalah individu, keluarga, masyarakat hingga bernegara. Semuanya diatur secara lengkap dan detil dalam Islam. Bahkan Islam lah satu-satunya ideologi yang mampu membangun peradaban tinggi dan layak memimpin dunia dengan adil, sejahtera, serta membawa rahmat bagi seluruh alam.
Tentang keunggulan sistem Islam dan peradabannya ini, telah digambarkan secara jujur oleh sejarawan Barat, Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization, “Para khalifah (pemimpin dalam sistem Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam) telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti ini belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat, dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa, “Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka.”
Apa yang dinyatakan Will Durant itu memang kenyataan sejarah. Ketinggian peradaban Islam dan keunggulan sistemnya adalah niscaya, karena saat itu pilar-pilar yang dibutuhkan bagi sebuah negara untuk menjaga dan mengurusi seluruh urusan rakyatnya, tegak nyaris sempurna. Dengan kata lain, fungsi negara sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (perisai penjaga rakyat) benar-benar eksis. Pilar yang dimaksud adalah, adanya self control dari individu rakyat berupa ketakwaan mereka pada Allah SWT, eksisnya amar makruf nahi munkar sebagai social control yang lahir dari masyarakat yang aware dan peka terhadap berbagai masalah keumatan, serta konsistensi penegakan sistem aturan Islam dan hukum yang adil oleh negara.
Saat ketiga pilar tersebut tegak bersamaan di atas landasan iman, maka lahirlah masyarakat Islam yang bertakwa, unggul dan berpengaruh. Masyarakat yang khas, istimewa, tinggi, mulia, dinamis, mandiri dan berwibawa, bahkan mampu memimpin peradaban dunia seraya menebarkan rahmatan lil a‘lamin.
Makin Sekuler dan Liberal
Kini, keunggulan dan ketinggian Islam tampak kabur. Sejak keruntuhan institusi Khilafah yang terakhir di Turki Utsmani, keistimewaan Islam sebagai sistem hidup tak lagi dirasakan oleh dunia, karena telah tergantikan oleh sistem hidup kapitalisme sekuler yang liberal. Sistem yang lahir dari akidah sekulerisme ini telah memandulkan peran agama dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut telah menimpa semua negeri kaum muslimin.
Demikian juga dengan negeri ini, makin sekuler dan liberal. Corak masyarakat Islam yang mulia, bersih dan bertakwa tidak lagi hadir. Semua serba bebas. Bebas berpikir dan berpendapat, beragama, memiliki apapun yang diinginkan, berbuat serta berekspresi. Mau taat boleh, mau maksiat tak dilarang, yang penting tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan tidak merampas hak orang lain. Tidak lagi peduli batasan halal haram. Itulah yang tengah terjadi di negeri ini. Meski mayoritas penduduknya muslim, namun tampaknya gaya hidup sekuler yang bebas terus diaruskan bahkan tengah mendominasi umat.
Banyaknya pesantren dan sekolah Islam, menjamurnya majelis taklim, dan maraknya komunitas hijrah, masih belum mampu membendung derasnya arus sekulerisasi yang terjadi di negeri ini. Gaya berpakaian yang tidak menutup aurat masih eksis bahkan cenderung dibiarkan. Pergaulan bebas, narkoba, bullying, kekerasan seksual, tawuran dan kenakalan remaja masih menjadi PR bangsa ini. Kemaksiatan seperti perilaku menyimpang L6B7 yang dilaknat oleh Allah, makin masif dikampanyekan. Buktinya, beberapa waktu lalu, sekelompok pemuda menggelar aksi di Monas, Jakarta Pusat dengan mengibarkan bendera pelangi sebagai bentuk dukungannya pada L6B7. Dan parahnya, seorang petinggi negeri ini justru mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa melarang orang yang berstatus sebagai homo atau lesbian yang termasuk L6B7. Perilaku maksiat tersebut dianggapnya sebagai kodrat ciptaan Tuhan. Karena itu, menurutnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2026, kelompok L6B7 tidak bisa dilarang. Astaghfirullah, ini benar-benar cara pandang yang sekuler dan bentuk kelancangan terhadap syariat.
Sementara itu, generasi muda negeri ini terus dijauhkan dari Islam secara sistematis, melalui ide moderasi beragama yang sekuler. Ide ini dipenetrasikan melalui kurikulum semua jenjang pendidikan umum dan pesantren, diselipkan pada berbagai acara TV dan konten media sosial, dijajakan melalui film, sinetron atau acara hiburan lainnya yang digandrungi oleh remaja dan masyarakat. Opini moderasi beragama ini pun dibesar-besarkan melalui liputan media tentang berbagai agenda dan even lokal dan nasional, bahkan disupport oleh berbagai kebijakan resmi negeri ini hingga level RW, RT dan keluarga.
Dan mirisnya, moderasi beragama diklaim secara sepihak oleh pengusungnya, sebagai solusi penting bagi berbagai problem di negeri ini. Padahal realitasnya, berbagai persoalan yang menimpa umat ini berakar pada hilangnya ketakwaan masyarakat, akibat penerapan sistem hidup sekularisme yang ditopang oleh sistem demokrasi liberal. Sedangkan moderasi beragama adalah sekularisme itu sendiri, namun dengan wajah lain. Jadi, menetapkan moderasi beragama sebagai solusi problem bangsa, adalah kesalahan fatal.
Maka jelaslah bahwa proses sekulerisasi di negeri ini, benar-benar telah menyentuh seluruh sisi kehidupan masyarakat bahkan hingga ke rumah-rumah keluarga muslim. Ketakwaan individu, keluarga dan masyarakat negeri ini makin hilang, terbilas oleh arus deras sekularisme yang seolah dibiarkan begitu saja oleh sistem yang ada. Maka, harus ada upaya mengakhiri semua ini. Yakni upaya perubahan secara mendasar dan sistemik, demi mengembalikan eksistensi masyarakat bertakwa yang bersih, mulia, mandiri, berwibawa, berpengaruh, dan siap memimpin dunia dengan adil.
Menghadirkan Kembali Masyarakat Bertakwa
Sejatinya, Allah SWT telah menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah). Dan karakter khairu ummah itu sempurna imannya pada Allah, menyeru pada Islam (Al-Khair) dan selalu menegakkan amar makruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 110).
Allah SWT juga telah menjanjikan keberkahan hidup bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al–A’raf: 96). Dan Allah SWT juga mengancam bagi siapa saja yang berpaling dari syariat-Nya akan menjalani kehidupan yang sempit, sebagaimana firman-Nya, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaha: 124).
Dari beberapa ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kunci teraihnya kemuliaan dan keberkahan, serta dijauhkannya dari kehidupan yang sempit adalah keimanan yang sempurna dalam Islam dan ketakwaan yang benar, yang melahirkan rasa takut untuk bermaksiat pada Allah. Yaitu keimanan yang berpengaruh pada kesiapan untuk taat pada seluruh syariat Allah SWT, serta tunduk dan patuh pada syariat Islam secara kaffah.
Ketaatan yang sempurna pada syariat Islam kaffah inilah yang akan melahirkan masyarakat bertakwa. Di dalamnya ada individu-individu bertakwa yang memiliki kepribadian Islam (bersyakhshiyyah Islamiyyah), sabar dalam ketaatan, peka dan peduli pada masalah umat, terdepan dalam kebaikan, serta menjadikan keluarganya sebagai penjaga Islam yang amanah. Masyarakatnya selalu dinamis melakukan kontrol sosial, dengan menghidupkan amar makruf nahi munkar, mengawal pelaksanaan Islam kaffah di masyarakat, serta siap melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) agar penguasa selalu on the track dalam menjalankan Islam kaffah. Dan negara pun benar-benar menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengatur urusan) dan junnah (pelindung) bagi seluruh rakyatnya, membawa bangsa dan negaranya menjadi khairu ummah, dan siap menjadi pemimpin peradaban dunia yang mandiri, berwibawa, berpengaruh, serta mengayomi masyarakat dunia dengan adil dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Itulah hakikat masyarakat bertakwa. Masyarakat yang dibangun di atas landasan ideologi Islam, yang menerapkan syariat Islam kaffah di seluruh aspek hidupnya. Masyarakat seperti ini hanya mungkin terwujud dalam sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah. Maka, jika umat ini ingin menghadirkan kembali masyarakat bertakwa, umat harus bahu-membahu menyempurnakan amal dakwahnya secara politis, dengan terus membesarkan opini Islam kaffah ke seluruh dunia, hingga Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya kembali peradaban Islam dalam naungan institusi Khilafah yang akan memimpin dunia dengan syariat-Nya yang rahmatan lil alamin. [SM/Ln]