Mendudukkan Hadis tentang Larangan ke Dukun

  • Hadis

Oleh: Siti Murlina, S. Ag

Suaramubalighah.com, Hadis – Hidup dalam sistem kapitalis sekuler saat ini telah membuat masyarakat menderita sakit mental yang sangat parah. Karena agama tidak dijadikan patokan dalam berpikir dan bertindak, sehingga tidak ada lagi standar halal dan haram. Menjadi hal yang wajar, praktek perdukunan menjadi marak.

Adapun yang menyebabkan sebagian orang yang terjebak dalam dunia perdukunan ada beberapa faktor, antara lain: lemahnya iman, kebodohan, ketidaktahuan terhadap ajaran agama, tidak sabar dalam melakukan ikhtiar, dan korban iklan dan penipuan para dukun dengan berbagai trik dan tipu muslihatnya. Bahkan ada di antaranya  melakukan praktik perdukunan dengan simbol-simbol agama dan lainnya. Jelas hal ini menambah keresahan dan ketidaknyamanan di tengah kehidupan umat saat ini.

Merujuk kepada ayat dan hadis-hadis Rasulullah saw. sangat jelas bahwa Islam mengharamkan umatnya untuk melakukan aktivitas perdukunan.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Artinya:

Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad. (HR Ahmad)

Dalam hadis yang lain dinyatakan oleh Rasulullah saw.

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Artinya:

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari” (HR Muslim)

Dukun (‘arraf atau kahin) yang dimaksud dalam kedua hadis tersebut adalah  orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara gaib, apa yang akan terjadi, tempat barang hilang, pencuri barang, isi hati orang, ramalan bintang (zodiak) dan semacamnya.

Sebutannya di tengah masyarakat biasanya adalah paranormal, tukang ramal, ahli nujum. Dan juga sebutan lainnya seperti  kyai, orang pintar, tetua, sesepuh dan lain sebagainya. Untuk melancarkan aksinya, pada umumnya seorang dukun mengklaim dibantu oleh jin atau khadam.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Imam Al-Khaththâbi rahimahullah bahwa “‘Arrâf adalah orang yang mengaku mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang hilang, dan semacamnya”. (Syarah Nawawi, 7/392).

Sebab, untuk mengetahui hal yang gaib adalah hak prioritas bagi Allah SWT, Pencipta dan Pemilik alam semesta. Bukan kuasa bagi mahluk. Karena manusia itu mahluk maka ia bersifat terbatas, lemah, serba kurang dan saling membutuhkan. Dan juga hal-hal yang gaib itu tidak bisa dijangkau oleh panca indera manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Artinya:

“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali hanya Allah.” (QS An-Naml (27): 65)

Jadi, kalau ada orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang gaib maka, sekali lagi jelas dia adalah dukun (‘arraf atau kahin). Karena dia adalah pendusta atau pembohong, adalah haram hukumnya mempercayainya atau membenarkannya. Serta melakukan aktivitas perdukunan, baik sebagai pelaku, pengguna jasa atau orang yang menjadi wasilah untuk menunjuki pada perdukunan tersebut.

Pada hadis yang kedua tadi menjelaskan haramnya mendatangi dukun meskipun tidak membenarkan ucapannya. Jika ada yang melakukannya, maka tidak akan diterima salatnya selama empat puluh hari. Artinya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali. Ini menunjukkan sangat kerasnya ancaman bagi orang yang mendatangi dukun.

Lebih lanjut hadis pertama di atas dengan jelas mengancam bagi siapa yang membenarkan berita dari dukun maka hukumannya adalah kafir, terhadap apa yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad saw. Yakni kufur terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Sebab tidak akan pernah bersatu kebenaran  terhadap apa yang Allah turunkan kepada Muhammad dengan apa yang disampaikan oleh dukun yang merupakan perkataan dan perbuatan setan (kebohongan atau kebatilan). Keduanya saling bertentangan dan tidak akan mungkin bersatu. Maka, perbuatan membenarkan ucapan dukun akan mengantarkan dan menyebabkan pelakunya kufur atau syirik akbar serta keluar dari Islam.

Allah SWT beritakan dalam Al-Qur’anul Karim keadaan para dukun, benar adanya klaim mereka yang telah bersekutu dengan jin, yang berbunyi:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً

Artinya:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka rasa ketakutan. “ (QS Al-Jin (72): 6)

Hal ini juga diperkuat dengan hadis Rasulullah saw. Dari ‘Urwah, dia mengatakan: ‘Aisyah berkata: “Orang-orang bertanya kepada Rasulûllâh saw. tentang para kahin, maka Rasûlullâh Saw berkata kepada mereka: “Mereka tidak benar atau batil”. Para Sahabat mengatakan: “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya para kahin itu terkadang menceritakan sesuatu yang menjadi kenyataan”. Rasûlullâh saw. bersabda: “Itu adalah satu kalimat dari jin, jin mencopet kalimat itu lalu membisikkannya pada telinga wali (kekasih)nya seperti berkoteknya ayam. Kemudian para kahin itu mencampur pada kalimat itu lebih dari seratus kedustaan”. [HR Muslim, no. 2228]

Dalam Islam peran yang paling besar untuk memberantas dan membasmi tentang aktivitas perdukunan ini adalah negara. Selain fungsi riayah (mengurus), negara juga adalah sebagai junnah (perisai atau tameng) yang akan melindungi masyarakat atau umat dari keresahan dan kerusakan. Terutama kerusakan akidah sebagai akibat dari praktik perdukunan. Maka tugas untuk mendatangi dan memberi sanksi atau hukuman kepada para dukun adalah para penguasa.

Negara akan memberi sanksi yang tegas kepada para pelaku perdukunan dan sihir berupa hukuman mati. Sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad, tukang sihir dihukum mati. Sementara Imam Syafi’i berpendapat tidak dibunuh kecuali jika melakukan sihir sampai derajat kekafiran, sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya.

Dari Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ

“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang” (HR Tirmidzi no. 1460, yang tepat hadis ini mauquf, hanya perkataan Jundub sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang shahih).

Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Bajalah bin ‘Abadah, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah menulis surat dan memerintahkan membunuh setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan. Bajalah berkata, “Kami telah membunuh tiga tukang sihir.”

Oleh karena itu, peran negara dalam masalah ini sangat urgen dalam rangka menjaga kaum muslimin dari kejahatan mereka dan menjaga masyarakat dari berbagai kerusakan yang ditimbulkannya. Selain itu juga akan menimbulkan rasa tidak aman  di tengah masyarakat, karena dukun dan tukang sihir akan memunculkan teror dengan berbagai berita dusta kepada masyarakat.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]