Benarkah Pesantren sebagai Solusi Tindak Kriminalitas?

  • Opini

Oleh: Lulu Nugroho

Suaramubalighah.com, Opini – Banyaknya kasus-kasus kriminalitas seperti begal, geng motor, dan sebagainya, yang saat ini terjadi di beberapa kota, laksana cendawan di musim penghujan. Jika dahulu kondisi semacam ini hanya dapat disaksikan di layar kaca, kini merambah di media sosial. Bahkan menjadi semakin dekat, bergerak ke lingkungan kita sendiri. Pelaku kejahatannya  pun beragam dari berbagai usia, baik orang dewasa, remaja, hingga anak-anak.

Keadaan ini menjadi perhatian keluarga-keluarga muslim, para ulama, tenaga pengajar, termasuk penguasa negeri, untuk mencari solusi bagi permasalahan ini. Sebab tidak  hanya meresahkan, tetapi juga dapat menimbulkan korban nyawa. Salah seorang Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar), Muhammad Jaenudin menyatakan bahwa, salah satu cara untuk menghilangkan geng motor adalah dengan membina anak-anak dengan memasukkan mereka ke dalam pesantren. Pasalnya, dengan pendidikan pesantren yang ketat dan dituntut belajar agama dan tingkah laku, membuat karakter anak bisa terbentuk.

“Kalau masing-masing anak yang sudah terindikasi dengan geng motor harusnya anak tersebut dimasukkan segera ke pesantren, dengan begitu kejadian tawuran pelajar atau  antara kelompok, bisa dikendalikan, “ tukas Jaenudin. (Radarsukabumi.com)

Pernyataan tersebut secara tidak langsung, menunjukkan betapa sekulernya sistem pendidikan di negeri ini. Pun membuktikan bahwa melalui sekolah umum, sulit mencetak generasi yang taat terhadap agama. Hal ini adalah sebuah keniscayaan, sebab ketika sekularisme dijadikan sebagai pijakan kehidupan bernegara, maka seluruh pemikiran di atasnya tegak pada pondasi sekuler pula, termasuk sistem pendidikan.

Alhasil hampir sebagian besar masyarakat pun memiliki pandangan  yang sama terhadap bentuk pendidikan pesantren, bahwa di sini para pelajar akan menjadi lebih religius. Sebab pola asuh dan kurikulum pendidikan model ini, sarat dengan muatan Islam. Namun sayangnya, masalah kriminal pada remaja tidak akan tuntas hanya dengan memasukkan mereka ke pesantren. Sebab bukan itu akar permasalahannya. Memperbaiki pendidikan saja tak cukup, tanpa upaya perbaikan pada aspek-aspek lainnya.

Sekularisme Biang Keladi

Membentuk generasi muda menjadi pemuda yang tangguh dan berkepribadian baik, adalah persoalan penting. Sebab merekalah kelak yang menggerakkan roda peradaban, di masa yang akan datang. Akan tetapi pola kehidupan sekularisme, membuat potensi baik yang mereka miliki, sulit tumbuh. Berbagai aspek saling terkait, menjadi sebuah perkara sistemik, membuat para pemuda akhirnya kehilangan arah, hingga terjebak dalam perkara-perkara kriminal.

Pendidikan menjadi unsur penting pembentuk kepribadian seseorang. Jika keliru pondasinya, maka seluruh bangunan pemikiran yang tegak di atasnya pun akan salah. Sebagaimana sistem pendidikan hari ini, yang berdiri pada asas  fashludiini anil hayati, yaknimenegasikan peran Allah SWT dalam kehidupan. Di sini Islam tidak menjadi unsur penting, sehingga hanya mendapat porsi dua atau tiga jam pelajaran dalam seminggu.

Sedangkan pada pesantren, siswa mendapat waktu yang lebih panjang untuk mempelajari Islam, yang terbagi menjadi beberapa pelajaran seperti ilmu fikih, sejarah kebudayaan Islam, akidah, akhlak, atau ilmu alat lainnya seperti Bahasa Arab, serta ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pola asuh pesantren pun  memastikan anak senantiasa berada di dalam pantauan selama 24 jam. Maka tak heran banyak orang tua yang menaruh harapan pada karakteristik pendidikan jenis ini.

Hanya saja kini beberapa pesantren pun tak luput dari cengkeraman sekularisme, sebab aktivitas lain seperti industri film, fashion, One Pesantren One Product (OPOP), Santri Preuneur, dan sebagainya mulai memasuki pesantren. Bersamaan dengan masuknya pemikiran dari luar seperti moderasi, pergaulan bebas, kesetaraan gender, dan sebagainya. Maka menjadi tak aman bagi anak-anak mengenyam pendidikan di manapun, selama sekularisme masih diemban negeri ini.

Pendidikan pada sistem sekuler, akan menghasilkan generasi yang tidak memiliki pandangan yang utuh tentang kehidupan. Sebab Allah ditiadakan, tidak mendapat peran yang tepat di dalam kehidupan. Maka wajar jika anak-anak negeri menjadi pribadi yang jauh dari syariat. Tolok ukur halal-haram, tidak lagi menjadi sandaran. Akibatnya mereka bebas berekspresi dan bertingkah laku  menunjukkan jati dirinya, sesuai pesan kebebasan yang diemban sekularisme.

Seiring dengan itu, pemahaman keluarga terhadap Islam pun minim. Akibatnya anak-anak remaja tidak memiliki mekanisme kontrol dan teladan yang baik, dari lingkungan terkecilnya yaitu keluarga. Maka dapat kita saksikan hari ini, di alam sekularisme, generasi muda dengan bangganya mengekspresikan gharizah baqa’ melalui aksi geng motor, grafitti atau coret-coret tembok rumah warga atau fasilitas umum, begal, tawuran, dan aktivitas kerusakan lainnya.

Negara pun abai terhadap hal ini. Alih-alih memberantas semua hal yang menjadi pencetus timbulnya geng motor, tetapi malah membiarkan hal-hal pendukungnya tersebut tetap berlangsung, seperti adanya tayangan kekerasan, artis atau publik figur yang menampilkan bentuk pribadi hebat kekinian dengan perilaku kebebasannya, penjualan atribut atau aksesoris geng motor, dan sebagainya. Maka wajar jika generasi muda menjadi bingung, kehilangan arah pandang yang jelas terhadap kehidupan. Pun tidak mampu mengalihkan perhatiannya terhadap perkara yang hakiki, yaitu kebangkitan umat.

Solusi Islam

Persoalan generasi tidak dapat dibebankan hanya pada pendidikan pesantren semata. Sebab akar masalah munculnya kasus kriminal adalah persoalan sistemik yang berkelindan di dalam tubuh umat. Maka seluruh aspek tersebut, harus diperbaiki dan dikembalikan kepada Islam.

Di dalam Islam, negara wajib memberikan akses yang luas bagi para warga untuk memperoleh pendidikan tinggi dan berkualitas, dengan mudah dan cuma-cuma. Kewajiban menuntut ilmu bagi individu, sejalan dengan kewajiban negara menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Tidak akan dibedakan antara bentuk sekolah umum atau pesantren, sebab perkara akidah dan syariat menjadi hal yang wajib dipelajari oleh setiap individu sejak usia dini. Maka seluruh anak didik akan menjadi generasi faqih fiddin.

Dengan ilmu, tidak akan ada manusia yang berbuat sia-sia. Tidak hanya individu, tetapi juga keluarga dan semua warga akan berusaha menjadi hamba Allah SWT yang taat, melaksanakan perintah Allah SWT, serta menjauhi larangan-Nya. Mereka pun  berlomba berprestasi di hadapan Allah SWT. Maka dari sini akan lahir umat terbaik (khoiru ummah). Apalagi didukung dengan penerapan Islam kaffah, menjadikansuasana keimanan (jawul iimani) dapat dirasakan dan diindera (ikhsas) di dalam kehidupan Islam.

Negara menutup seluruh pintu yang menjadi pencetus terjadinya kriminalitas, seperti peredaran miras, narkoba, serta tayangan kekerasan, dan semisalnya, termasuk ide-ide kebebasan dan turunannya. Seluruhnya tidak akan mendapat tempat di dalam kehidupan Islam. Tujuannya agar pemikiran warga tetap terjaga dalam kondisi keimanan yang tinggi.

Negara pun menyelenggarakan sistem persanksian sesuai dengan ketetapan Allah SWT, yakni bersifat penebus dan pencegah (jawabir dan jawazir). Sehingga kasus-kasus kriminal, terutama yang terjadi di kalangan generasi, dapat disetop dan ditanggulangi. Tidak lagi muncul pelaku baru atau kejahatan model baru. Inilah sebaik-baik negara yang akan melahirkan rahmat bagi semesta alam. Tsumma takuunu khilaafatan a’la minhajin nubuwwah.