Oleh: Rahmi Ummu Atsilah
Suaramubalighah.com, Opini – Layanan kesehatan adalah hak publik yang menjadi salah satu tugas mendasar pemerintah. Menyerahkannya kembali kepada rakyat dengan adanya badan penyelenggara kesehatan seperti BPJS dan sebagainya adalah kezaliman. Dengan rakyat membayar iuran atau premi jika ingin mendapatkan pelayanan BPJS, adalah bukti rakyatlah yang harus menjamin kesehatan mereka sendiri. Meskipun pemerintah memberikan subsidi bagi mereka yang dianggap tidak mampu dan memenuhi administrasi yang menunjukkan ketidakmampuan mereka.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menginginkan pondok pesantren (Ponpes) lebih mandiri termasuk dalam kesehatan. Ponpes didorong untuk mandiri selain secara finansial, juga diapresiasi bagi yang telah mandiri dalam kesehatan. Yaitu telah memiliki klinik sendiri serta turut menginspirasi ponpes lain untuk hal serupa. Wagub Taj Yasin menyampaikan, pelayanan kesehatan yang optimal harus melibatkan banyak pihak. Ponpes yang memiliki klinik kesehatan ini diharapkan juga bisa bekerjasama dengan BPJS. (humas.jatengprov.go.id, 05-06-2023)
Kebijakan agar Ponpes mandiri dalam pelayanan kesehatan bukan solusi bagi layanan publik , hal ini justru sebagai bentuk lepas tangannya pemerintah yang kapitalistik pada hak rakyat termasuk para santri dan pengelola pesantren. Hal ini sangat bertentangan dengan pengurusan urusan rakyat yang ditetapkan berdasarkan syariat Islam.
Dalam Islam terdapat paradigma kesehatan yang sangat manusiawi. Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan asasi masyarakat, selain pendidikan, dan keamanan. Berbeda dengan sandang, pangan, papan (kebutuhan asasi individu) yang mana negara memiliki peran tidak langsung, pada kebutuhan asasi masyarakat negara berperan secara langsung dalam upaya pemenuhannya. Negara serius menjadikan sektor pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagai suatu yang mudah diakses semua warga sama rata tanpa terkecuali. Tidak ada diskriminasi berdasarkan pada kekayaan, agama, ataupun pilihan politik.
Pemenuhan jaminan kesehatan dalam Islam manusiawi karena menjadikannya sebagai kebutuhan asasi yang sangat penting bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan keadaan; pertama, bahwa kesehatan adalah perkara urgen untuk memenuhi kebutuhan asasi individu yaitu sandang, pangan, papan. Tanpa kesehatan pemenuhan kebutuhan esensial yang lain akan sulit terpenuhi. Kedua, akses kesehatan tidak hanya dibebankan kepada individu semata tapi sudah menjadi tugas (kewajiban) negara yang bisa dijangkau seluruh lapisan masyararakat. Negara pun akan menyediakan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan di berbagi pelosok negeri dengan fasilitas yang maksimal. Hal ini sebagai pengejawantahan perintah Allah SWT dalam hadis Rasulullah saw.
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Seoarang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” [HR Bukhari dan Muslim]
Sebagai uswatun hasanah dalam kapasitasnya sebagai kepala negara (imam) dalam sebuah hadis riwayat Jabir ra. disampaikan:
“Rasulullah mengutus seorang dokterkepada Ubay bin Kaab. Dokter itu memotong satu urat dari tubuhnya, lalu membakar bekas urat itu dengan besi bakar. [HR Muslim]
Beliau saw. juga pernah menerima hadiah seorang tabib dari Raja Muqauqis. Semula ditujukan menjadi tabib pribadi beliau namun kemudian diarahkan menjadi tabib seluruh masyarakat Madimah. Pernah pula datang serombongan delapan orang dari Urainah mengunjungi Rasulullah saw. untuk menyatakan keimanan dan keislamannya, lillah. Di sana mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. meminta mereka istirahat di pos pengembalaan ternak kaum muslimin milik Baitul Maal di sebelah Quba yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal hingga sembuh dan sehat dengan diijinkan meminum susu dari binatang ternak. Di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. juga mengutus seorang dokter kepada sahabat Aslam ra. Untuk mengobati penyakitnya.
Hanya saja Islam tetap memperbolehkan individu secara swadaya memenuhi kebutuhan kesehatan, keamanan dan pendidikannya. Mereka boleh memiliki dokter pribadi, menyewa satpam untuk menjaga keamanan rumahnya, atau memiliki guru privat untuk menunjang pendidikannya. Kebolehan menyewa dokter pribadi dan memberikan upah kepadanya sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas ra.
“Nabi pernah memanggil seseorang lalu ia membekam beliau, kemudian memberinya upah satu sha’ atau dua sha’ [HR Bukhari, Muslim dan Ahmad]
Sistem pelayanan kesehatan dalam Islam menjadikan negara, dalam hal ini Daulah Khilafahsebagai garda terdepan untuk memberikan layanan kesehatan bagi warganya. Daulah Khilafah haram menyerahkan urusan ini kepada pihak lain atau pihak swasta apalagi mengembalikan tanggung jawab tersebut kepada individu rakyat ataupun lembaga semisal pesantren. Meskipun individu ataupun swasta boleh menjalankan praktek pelayanan kesehatan yang sejalan dengan kebijakan umum Daulah Khilafah dalam kesehatan. Namun hanya sebagai pendukung saaja. Haram pula negara menyerahkannya kepada pihak asing atau kafir yang berpotensi menjadikan kaum muslimin terkuasai. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 141:
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” [QS An Nisa: 141]
Sistem pelayanan berbasis syariah Islam solusi untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan gratis. Dan ini akan terealisasi dalam naungan Khilafah Islam. Wallahu’alam. [SM/Ln]