Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini – Momentum peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional atau International Domestic Workers Day, jatuh pada setiap tanggal 16 Juni dianggap sebagai momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 dan upaya pengesahan terhadap RUU PPRT yang sudah cukup lama digagas, dan dicita-citakan oleh seluruh perempuan di Indonesia, khususnya para PRT (Pekerja Rumah Tangga).
RUU PPRT dianggap angin segar bagi para pekerja rumah tangga yang didominasi oleh perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa PRT paling banyak adalah perempuan yang secara khusus memiliki kerentanan untuk menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Apalagi, pengakuan dan pelindungan terhadap PRT dari pemerintah belum maksimal. Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2005-2022 mengidentifikasikan adanya 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Sementara itu, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 29 kasus PRT periode tahun 2017 – 2022, dengan bentuk kekerasan yang beragam seperti kekerasan fisik hingga gaji yang tidak dibayar. (https://komnasperempuan.go.id)
Mereka tidak terlindungi hak-haknya, rawan kekerasan dan diperdagangkan. Dalam banyak kasus, dokumen mereka seperti paspor dipegang majikan. Itu yang terjadi di luar negeri. Sedangkan masalah PRT yang terjadi di Indonesia sendiri tak kalah carut marutnya. Problem PRT yang kian rumit, menjadi alasan mengapa jarang sekali pihak yang benar-benar peduli dengan masalah yang dihadapi oleh PRT (www.kompas.id)
Sekelompok kecil berpandangan jika RUU PPRT disahkan, maka akan memberikan pengakuan terhadap PRT sebagai sebuah profesi yang harus dihargai. Kemudian RUU PPRT ini juga diyakini akan menjadi payung hukum yang mampu memberikan perlindungan kepada pihak PRT dan pemberi kerja, serta mengatur hak dan kewajiban para penyalur PRT. Padahal benarkah RUU PPRT akan mampu menjadi solusi atau justru hanya sekadar ilusi yang kian basi?
Akar Masalah
Mencuatnya problem PRT yang mengalami diskriminatif, eksploitatif hingga pelecehan dan kekerasan dalam bidang pekerjaannya di dalam maupun di luar negeri, sebenarnya bukan sekadar tentang pengakuan profesi PRT tidak dihargai atau tidak mendapatkan perlindungan dari negara. Akan tetapi hal ini terjadi disebabkan karena beberapa faktor, di antaranya adalah:
Pertama adalah faktor ideologi. Secara ideologis penerapan sistem kapitalisme telah menempatkan asas manfaat sebagai tolok ukur dalam memproduksi, mengonsumsi, dan mendistribusikan barang dan jasa tanpa mempedulikan halal dan haram. Sehingga sistem ini tidak pernah memperhatikan dampaknya terhadap kerusakan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh misalnya profesi dan kehadiran PRT yang tinggal serumah dengan majikan, terkadang keberadaan mereka di sana, hanya diperhatikan berdasarkan asas manfaat saja. Tanpa memperhatikan keberadaan mereka bisa menjadi fitnah, menyebarkan keburukan, merusak dan menghancurkan rumah tangga karena perilaku majikan atau perilaku PRT itu sendiri.
Hal ini terjadi disebabkan karena penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang hanya mementingkan asas manfaat. Sehingga tidak memperhatikan sistem aturan kehidupan, baik berupa aturan perburuhan maupun sistem pergaulan di dalam masyarakat. Kurangnya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat terutama kaum muslim terhadap hukum syariat Islam. Majikan maupun PRT tidak memahami hukum syarak terkait tentang hak dan kewajiban dalam masalah perburuhan. Misalnya hak dan kewajiban untuk membayar upah tepat waktu, berlaku amanah dan bersikap manusiawi ketika memberi dan menerima pekerjaan, kewajiban untuk menutup dan membuka aurat, ikhtilat, khalwat dan tata cara menerima dan melayani tamu serta hukum-hukum yang lainnya.
Kedua, faktor filosofis. Dalam sebuah rumah tangga, kehidupan suami-istri bukan dua mitra usaha. Sehingga tidak ada alasan karena produktivitas dan dorongan ekonomi peran dan fungsi suami-istri dalam sebuah rumah tangga menjadi problem tersendiri. Contohnya berkaitan dengan kedudukan suami sebagai pencari nafkah, maka seluruh tugas domestik rumah tangga akan dibebankan kepada pundak istri secara mutlak. Atau terjadi sebaliknya.
Tetapi kehidupan rumah tangga itu ibarat kehidupan dua sahabat yang wajib untuk saling membantu. Maka untuk merealisasikan kewajiban tersebut, pihak suami dapat secara langsung membantu istrinya untuk mengatur urusan rumah tangganya atau dengan menyediakan PRT dalam rangka membantu istrinya. Terlebih jika keluarga tersebut memiliki jumlah yang banyak. Di mana tugas untuk mempersiapkan makanan, membersihkan dan mengatur perabot, mencuci dan menyiapkan pakaian, dan kebutuhan yang lainnya tidak lagi bisa ditangani oleh seorang istri.
Dengan demikian, kehadiran pembantu menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Maka karena dorongan kebutuhan tersebut seharusnya majikan memperlakukan PRT dengan cara memanusiakan dan memuliakan mereka serta memberikan hak-hak mereka. Bukan justru bertindak zalim terhadap mereka baik dari sisi memberikan beban pekerjaan maupun dari sisi membayar upah. PRT harus memperoleh perlakuan yang manusiawi dari majikannya.
Ketiga faktor sistemik, yaitu bentuk kegagalan dari penerapan kebijakan sistem ekonomi kapitalis-sekuler yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Selanjutnya sistem ini juga telah menjadikan perempuan sebagai komoditas ekonomi. Dengan jargon pertumbuhan ekonomi, perempuan dipaksa untuk mengambil peran agar mandiri secara ekonomi demi mencapai pertumbuhan ekonomi. Maka kemudian negara lebih memprioritaskan lapangan kerja bagi perempuan dari pada laki-laki.
Negara tidak peduli walaupun harus mengirim warga negaranya menjadi TKW (tenaga kerja wanita) ke keluar negeri sebagai pekerja informal (PRT).
Sungguh ironis negeri yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah justru rakyatnya harus berjuang mengundi nasib di negeri orang. Mempertaruhkan nyawa tanpa ada perlindungan hukum yang memadai dari negara. Kemudian secara teknis negara juga sering bersikap lambat dalam menyelesaikan masalah yang menimpa PRT warga negara Indonesia yang tersandung kasus hukum di luar maupun di dalam negeri.
Solusi Islam dalam Memuliakan PRT
Kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus ideologi, tampak jelas dalam mengatur, memanusiakan dan memuliakan PRT. Islam sebagai ideologi yang sempurna akan mengatur sistem kehidupan berdasarkan syariat Islam. Dengan mengambil standar hukum syarak sebagai tolok ukurnya yaitu halal dan haram. Sehingga akan meredam dampak kerusakan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Secara filosifis, Islam juga akan mendudukkan peran perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga dengan mengembalikan fungsi perempuan pada fitrah dan tugas utamanya, yaitu sebagai ummun warabatul bayt dan madrasatul ula. Dan secara sistemik Islam juga akan menerapkan kebijakan berdasarkan sistem ekonomi Islam. Dimana negara bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Terutama bagi pria dewasa, mereka bertanggung jawab dan wajib untuk mencari nafkah.
Negara Islam yaitu Khilafah Islamiah akan memacu produktivitas pria dewasa dalam menunaikan kewajibannya untuk mencari nafkah. Dengan menyediakan lapangan pekerjaan, pelatihan skill dan pembinaan keterampilan. Kemudian memberikan modal usaha bagi mereka yang membutuhkan. Jika belum cukup, negara Khilafah juga akan memastikan setiap pria dewasa yang menjadi warga negara baik muslim maupun non muslim untuk mendapatkan pekerjaan dan mampu mencukupi nafkah keluarganya. Jika diperlukan negara juga akan bersikap tegas memberikan sanksi serta hukuman kepada setiap pria dewasa yang menjadi warga negara Khilafah yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik dan benar.
Negara Khilafah akan menjamin ketersediaan lapangan kerja, melalui kegiatan sektor ekonomi riil. Kemudian akan menutup seluruh aktivitas ekonomi sektor non-riil. Sehingga seluruh aktivitas ekonomi, baik produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa di seluruh bidang akan menyerap tenaga kerja. Maka secara otomatis dampak pengangguran bagi pria dewasa akan segera teratasi. Kemudian akan menutup seluruh celah yang memaksa perempuan untuk bekerja. Wallahu a’lam bish-shawab.
[SM/Ln]