Marak Terjadinya Perdukunan, Ada Apa?

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab – Tanya: Beberapa waktu lalu tersebar berita bahwa di daerah Tasikmalaya kerap terjadi hilangnya uang yang diambil tuyul. Artinya masih ada di antara anggota masyarakat yang terlibat praktik perdukunan. Lalu mengapa hal ini marak terjadi, padahal Tasikmalaya merupakan Kota Santri?

(Rara, Kabupaten Bandung Barat)

Jawab:

Praktik perdukunan yang terjadi di tengah masyarakat, menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat sudah mulai rusak. Ironis memang, sebuah wilayah yang dikenal Kota Santri tapi praktik perdukunan marak terjadi. Jika kita dalami permasalahan ini maka tidak akan terlepas dari tiga hal berikut ini,

Pertama, lemahnya keimanan dan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Perdukunan itu sendiri mengisyaratkan bahwa keyakinan masyarakat terhadap adanya Allah sebagai satu-satunya Pencipta manusia (Al-Khaliq) yang tidak selayaknya diduakan, sebagai tempat meminta (Ash-Shomad) sekaligus pemberi rizki (Ar-Razzaq), masih sangat lemah. Padahal Allah SWT telah mengingatkan,

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS Al-Ikhlas: 1-4)

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ ثُمَّ رَزَقَكُمۡ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ يُحۡيِيكُمۡۖ هَلۡ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفۡعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَيۡءٖۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٤٠

Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (QS Ar-Ruum: 40)

Demikian juga dengan praktik perdukunan, sejak 14 abad lalu telah diharamkan Allah SWT. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya bahwa Nabi saw. bersabda,

“Barangsiapa  mendatangi peramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima salatnya selama 40 hari.”

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda,

Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR Abu Daud)

Ketika kehidupan ekonomi masyarakat semakin sempit, harga pangan melambung tinggi serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan pun sulit, sementara pengangguran terjadi di mana-mana, maka perdukunan kerap dijadikan sebagai cara instan untuk mendapatkan harta. Gaya hidup yang serba instanpun kerap menjadi alasan masyarakat enggan untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi. Padahal di dalam Islam,  bekerja adalah perkara yang disyariatkan Allah SWT kepada setiap laki-laki yang memiliki kemampuan (dalam keadaan sehat dan tidak sakit) guna memenuhi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Bekerja adalah amalan yang mulia, hatta hanya menjadi tukang sekalipun. Imam Bukhari menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. bersabda,

Tidaklah seseorang makan sesuap makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri (HR Bukhari)

Di dalam Al-Mabsuth, As-Sarkhasi menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menyalami tangan Sa’ad bin Muadz ra. Ketika itu kedua tangan tampak kasar. Nabi saw. bertanya kepada Saad mengenai hal itu. Saad menjawab, “Saya selalu mengayunkan sekop dan kapak untuk mencarikan nafkah bagi keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. menciumi tangan Saad seraya bersabda, “(Inilah) dua telapak tangan yang  dicintai Allah ta’ala.

Kedua, lemahnya budaya amar makruf nahyi mungkar dalam masyarakat.

Dalam masyarakat individualis saat ini, budaya amar makruf nahyi mungkar sudah semakin melemah. Padahal ketika melihat suatu kemungkaran (apapun jenisnya, termasuk praktik perdukunan), Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslimin untuk mengubahnya,

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

Siapa saja yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya, jika tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman. (HR Muslim)

Budaya saling membantu dan meringankan beban sesama muslimpun menjadi barang yang langka dalam kehidupan yang serba kapitalitik saat ini. Wajar, jika dalam keadaan terdesak, menjadi gelap mata hingga harus menggadaikan akidahnya demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal Allah sangat tidak menyukai hal tersebut. Dalam hadisnya, Rasulullah saw. bersabda,

Tidaklah  beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang. Sedang tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui. (HR Bukhari)

Ketiga, Abainya negara terhadap urusan masyarakat. Dalam negara yang menerapkan sistem sekuler saat ini, suatu hal yang wajar jika negara tidak hadir dalam menjaga akidah warga negaranya. Padahal praktik perdukunan merupakan praktik yang menyimpang dari akidah dan syariat Islam. Menjadi  hal yang wajib bagi negara untuk menjaga warga negaranya agar tidak terlibat praktik perdukunan, baik secara preventif maupun kuratif. Secara preventif, negara melarang praktik perdukunan, melarang iklan-iklan yang mempromosikan perdukunan dan apa saja yang bisa mengarahkan masyarakat terjerumus pada praktik perdukunan. Secara kuratif, negara menjatuhkan sanksi kepada siapa saja yang terlibat di dalamnya dengan menjatuhkan sanksi ta’zir kepada mereka.

Di sisi lain, selayaknya negara memperhatikan terpenuhinya kebutuhan warga negaranya. Keluarga-keluarga dengan kepala keluarga yang mengalami keterbatasan untuk mencari nafkah (karena sakit atau cacat fisik), sementara kerabatnya juga dalam kondisi tidak mampu, maka negaralah yang selayaknya mengambil alih pemenuhan kebutuhan mereka. Sabda Rasulullah saw.

Siapa saja yang (meninggal dunia) meninggalkan harta, maka (hartanya itu) untuk ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan beban (berupa hutang atau keluarga) maka kepada kami (tanggungannya). (HR Bukhari)

Dalam keadaan sangat sulit, syariat membolehkan seseorang untuk meminta-minta kepada penguasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasulullah saw.  bersabda,

Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri, kecuali jika ia meminta-minta kepada penguasa atau pada perkara-perkara yang benar-benar ia butuh. (HR Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Dari sini jelaslah bahwa negara di dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga umat dari praktik perdukunan. Dijalankannya fungsi negara sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus rakyat) akan menghantarkan masyarakat pada kesejahteraan yang sebenarnya, sehingga masyarakatpun tidak akan mudah terbujuk oleh rayuan dengan iming-iming mendapatkan harta secara instan. Tentu kondisi seperti ini hanya akan terwujud di dalam masyarakat yang di dalamnya diterapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Tidakkah kita merindukan hal itu? Wallahu a’lam. [SM/Ln]