Takut Miskin Jual Bayi, di Mana Peran Negara?

  • Opini

Oleh: Mahganipatra           

Suaramubalighah.com, Opini – “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra’: 31).

Kabar duka kembali menghentak jagat raya, betapa putusnya naluri dan fitrah ibu kian mengiris kalbu. Betapa tidak, seorang ibu di Sulawesi Tengah tega menjual bayinya secara online dengan harga yang sangat murah yaitu 12 juta rupiah. Kasus ini  berawal dari laporan si ibu berinisial SS yang melaporkan bahwa bayinya telah diculik. Namun setelah diselidiki oleh aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, kasus ini ternyata merupakan kasus sindikat perdagangan bayi yang dijual ke Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dilansir dari kompas.com, 23 Juni 2023.

Munculnya ragam kasus kriminalitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kasus ibu atau ayah yang tega melakukan perbuatan keji dengan menjual anak mereka, telah memantik pertanyaan besar di benak kita, “Apa yang telah terjadi di negeri ini? Mengapa bisa, mereka yang nota bene adalah orang tua yang semestinya melindungi tapi justru malah menjual atau membunuh darah dagingnya sendiri?”

Liberalisme Membunuh Akal Sehat

Mudahnya sebagian anggota masyarakat melakukan tindak kriminal berupa perdagangan anak, terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah: faktor ekonomi. Kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan, telah mendorong orang tua yang lemah iman menjadi frustasi karena merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan buah hatinya.  Sehingga terpaksa memilih jalan pintas dengan menjual bayi atau anak mereka.

Terlebih lagi pada mereka yang tidak memiliki kesadaran serta pemahaman mengenai hak serta kewajiban memberikan perlindungan terhadap anak, sehingga hal ini berdampak pada perbuatan mereka, yang lebih memilih menjual atau memberikan anak mereka kepada orang lain (adopsi) sebagai solusi dari persoalan yang mereka hadapi. Dibandingkan berjuang dan bertahan untuk merawat dan mendidik buah hati mereka.

Hal ini sering terjadi pada anak-anak yang menjadi korban grooming, atau terpapar konten seksual kemudian berkontak dengan para predator. Telah menciptakan wabah yang sangat mengerikan yaitu merebaknya kasus seks bebas di kalangan remaja dan dewasa yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Selanjutnya berujung pada kasus perdagangan bayi atau anak berkedok adopsi.

Kasus ini terungkap berdasarkan investigasi dari harian kompas, yang menemukan terdapat jaringan sindikat perdagangan bayi berkedok adopsi yang juga melibatkan fasilitas kesehatan (Faskes) dan tenaga kesehatan (Nakes). Dalam investigasi tersebut ditemukan bahwa praktik perdagangan bayi berkedok pengangkatan bayi atau adopsi ditemukan di beberapa klinik kesehatan dan rumah sakit.

Contohnya di salah satu klinik di kota Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (29/3/2023). Para bidan di klinik ini menawari ibu-ibu yang tidak menginginkan bayinya akan difasilitasi kelahirannya dengan syarat bayi diserahkan ke pihak klinik. Mereka juga menawarkan bayi untuk diadopsi dengan uang pengganti Rp29 juta. Dilansir dari www.kompas.id, 11 Mei 2023.

Mirisnya, sampai hari ini negara tidak mampu memberantas kasus perdagangan anak atau bayi. Tiap tahun angkanya terus meningkat. Hal ini terjadi disebabkan karena lemahnya sistem aturan berupa sanksi yang diterapkan pada pelaku. Selain hukumannya tidak mampu melahirkan efek jera bagi pelaku, ditambah lagi dengan lemah dan lambatnya aparat penegak hukum dalam menangani dan mengungkap perkara tersebut. Karena pada umumnya kasus perdagangan anak telah melibatkan jaringan atau sindikat yang beroperasi secara rapi dan terorganisir. 

Dalam beberapa kasus hukum di Indonesia terkait perdagangan anak, sangat sulit terjangkau oleh penegak hukum. Sebab negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme-sekuler. Dalam sistem ini negara dituntut untuk membuat berbagai aturan, namun pada waktu yang sama negara juga harus mampu menjamin kebebasan bagi rakyatnya untuk bebas melakukan berbagai aktivitas. Seperti kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan berakidah dan kebebasan berbuat dan bertingkah laku tanpa memandang halal-haram. Sehingga tampak jelas dalam sistem ini, adanya inkonsisten terhadap aturan.

Dan ini sangat berdampak pada perubahan mendasar terhadap pola dan gaya hidup di masyarakat. Tanpa sadar masyarakat semakin jauh dari pemahaman agama terutama kaum muslim. Kaum muslim telah mengadopsi paham sekularisme-liberalisme yang sangat memengaruhi interaksi mereka di masyarakat. Umat Islam telah digiring agar melampiaskan hawa nafsu dan syahwatnya hanya sekadar untuk memenuhi seluruh keinginannya semata. Mereka berjuang demi meraih ambisi sesaat tak peduli pada standardisasi halal-haram sebagai landasan perbuatan bagi manusia.

Hal ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Sebab Islam adalah dien yang sempurna, kesempurnaan Islam tampak pada setiap aturan yang muncul dari syariat-syariatnya berupa hukum syarak.  Hukum syarak bersifat konsisten terhadap aturan yang berlaku sepanjang masa tanpa melihat kondisi dan tempat. Di dalam Islam setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syarak, umat Islam diperintahkan agar setiap perbuatannya berjalan sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT. berfirman;

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS Al-Hasyr: 7)

Oleh karena itu terkait dengan maraknya perdagangan bayi atau anak berkedok adopsi, sistem Islam pun memiliki solusi yang sempurna. Maka di dalam Islam, hukum mengadopsi anak yang dinasabkan kepada bapak angkatnya dan diperlakukan sebagai anak kandung dalam berbagai aspek hukumnya, telah diharamkan secara mutlak. Hal ini berdasarkan firman  Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 4 dan 5 (Tafsir Ibnu Katsir, 4/508; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).

Kemudian jika terjadi pelanggaran, negara memiliki wewenang untuk melaksanakan dan menegakkan seluruh hukum syariat Islam secara kaffah bagi seluruh masyarakat yang memiliki status warga negara. Setiap warga negara yang melakukan pelanggaran terhadap syariat-syariat Islam, akan ditindak tegas dengan sanksi hukum oleh negara. Negara Islam yaitu Khilafah Islamiah akan memberikan sanksi hukum sesuai dengan ketetapan hukum syarak. Baik sanksi yang berupa hudud Allah SWT maupun hukuman berupa sanksi hukum-hukum jinayat, ta’zir maupun mukhalafat.

Setiap hukuman yang ditegakkan oleh Khilafah akan berdampak pada rendahnya angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Sebab sanksi hukum yang diberikan oleh negara akan melahirkan efek jera pada masyarakat. Sehingga dapat mencegah manusia dari perbuatan maksiat serta menjaga dari tindakan pelanggaran yang sama. Karena hukuman (sanksi) yang ditetapkan oleh syariat Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang berfungsi sebagai jawazir (pencegah) sekaligus jawabir (penebus). Artinya ketika sanksi telah dijatuhkan oleh negara terhadap pelaku maksiat maka dosanya di akhirat kelak telah gugur. Hingga memungkinkan setiap manusia yang datang menghadap Allah SWT berada dalam kondisi fitrah (suci) tanpa dosa. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]