Perceraian Melangit, Dominan Dipicu Faktor Ekonomi

  • Opini

Oleh Mutiara Aini

Suaramubalighah.com, Opini – Mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi dambaan semua orang. Tak pernah ada yang berharap mengalami keretakan dalam kehidupan rumah tangga yang telah mereka bina. Namun, adakalanya berbagai persoalan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan hingga faktor ekonomi  kerap menjadi sumber keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian.

Di Bojonegoro Jawa Timur seperti yang ditulis celebrities.id (7-7-23) baru-baru ini  melaporkan, sebanyak seribu perempuan menggugat cerai suaminya. Alasannya mayoritas karena sang suami tidak memberi nafkah.

Selama bulan Januari hingga bulan Juni tahun 2023, terdapat 1.500 kasus perceraian yang  tercatat di kantor pengadilan agama kabupaten Bojonegoro. Dari jumlah tersebut mayoritas merupakan cerai gugat atau yang diajukan pihak istri, jumlahnya mencapai 1.063 perkara. Sisanya merupakan cerai talak atau yang diajukan pihak suami. Mayoritas gugatan tersebut dilayangkan karena faktor ekonomi yang dilatarbelakangi pendidikan rendah.

Kasus yang terus meningkat ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa cerai gugat kian menggejala? Mengapa persoalan ekonomi dan pendidikan menjadi faktor penyebab tertinggi yang memicu kasus perceraian?

Akar Masalah Penyebab Gugat Cerai

Perlu kita pahami bahwa sebab-sebab tersebut hanyalah masalah cabang. Karena ada sebab lain yang memunculkan persoalan tersebut, yakni sistem yang diterapkan dalam kehidupan negara dan masyarakat.

Sistem tersebut adalah kapitalisme. Dimana sistem ini menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang akan merasa bahagia ketika mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, primer hingga tersier. Rumah mewah, hiburan dan fashion semua menjadi kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, ia akan merasa kurang bahagia. Sehingga muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga.

Tak hanya itu, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan sumber daya hanya bisa dijangkau oleh orang yang memiliki modal besar. Alhasil muncullah kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Sistem kapitalisme inipun menjadikan semua kebutuhan sebagai ladang bisnis. Sehingga pendidikan dan layanan kesehatan menjadi teramat mahal.

Maka, tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Akibatnya suami rentan melakukan KDRT. Tanpa pikir panjang istri pun dengan mudah mengambil keputusan: pergi dari suami untuk bekerja, menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di negeri orang atau berpaling ke laki-laki lain. Inilah yang memunculkan faktor ekonomi di balik perceraian.

Sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat telah menggiring perempuan ke jurang penderitaan dan menjauhkan perempuan dari fitrahnya sebagai madrasah pertama dalam membina generasi, calon pemimpin umat. Padahal perempuan sejatinya menjadi kunci kesuksesan masyarakat dan juga bangsa yang membawa pengaruh pada pembentukan peradaban dunia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Bojonegoro merupakan salah satu kawasan penghasil minyak terbesar di Indonesia. Bahkan disebut sebagai sumber energi. Namun karena pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing, alhasil rakyat hanya menikmati tetesannya saja, itu pun jika menetes yang dikemas dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).

Kondisi ini juga diperparah oleh arus derasnya kesetaraan gender yang digaungkan oleh kaum feminis yang dikemas dengan istilah gender muslim (kupi/mubadalah). Dimana paham ini mengajarkan perempuan harus setara dengan laki-laki. Hak dan kewajiban suami istri tidak jelas lagi. Kondisi Perempuan semakin sulit ketika posisi nya sebagai pencari nafkah. Atas nama kesalingan bertukar peran. Jelas ini bertentangan dengan fitrah. Bahkan atas nama kebebasan pergaulan pun terjadi di kalangan masyarakat, berakibat perselingkuhan. Hal ini pula yang menciptakan suasana yang mendukung langgeng atau tidaknya sebuah pernikahan.

Cara Islam Mencegah Perceraian

Allah SWT telah menetapkan sejumlah hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah sama. Seperti dalam hal ibadah, berdakwah, menuntut ilmu, dll. Hanya saja berbeda dalam posisinya. Allah memberikan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) dan kepada perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt yang senantiasa taat pada suami dan bersahabat dengan suami.

Kewajiban ini merujuk pada syariat yang Allah tetapkan dalam firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (QS An-Nisâ: 34)

Islam memandang bahwa masalah ekonomi diukur dari segi tercukupinya kebutuhan individu per-individu, baik kebutuhan pokok, pendidikan maupun kesehatan. Dengan demikian, masyarakat dikatakan sejahtera apabila semua individunya sejahtera.

Aturan Islam juga mengenalkan kita pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya menafkahi anak dan istri. Apabila suami ingkar, pengadilan berhak mengambil harta suami dan memaksa suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, maka kewajiban tersebut dialihkan kepada wali dari jalur suami. Apabila ternyata mereka semua tidak mampu, maka negaralah yang memberikan nafkah dari kas negara.

Selain itu, agar para suami dapat menafkahi keluarganya, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang luas. Begitu juga kepemilikan sumber daya alam strategis adalah milik umat dan dikelola secara mandiri oleh negara, tidak diserahkan kepada swasta atau asing. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis ini menyatakan bahwa ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta. Maka, jika sumber daya alam yang ada di Indonesia ini dikelola dengan baik dan memakai aturan Islam, bukan hal mustahil kesejahteraan individu akan terjamin hidupnya dengan pemasukan yang besar dari hasil tambang, hutan, perairan, dan sumber daya alam lainnya. Negara pun dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya. Dengan cara seperti ini, maka penyebab perceraian dari faktor ekonomi dapat terhindarkan.

Perempuan dalam negara Islam (Khilafah) mendapat jaminan penghormatan, yakni sebagai mitra terbaik bagi suami dalam membina rumah tangga sekaligus posisi utama sebagai ibu dan pendidik generasi. Tidak membebani perempuan dengan kewajiban mencari nafkah serta tidak ada eksploitasi ekonomi atas perempuan dalam masyarakat Islam. Negara akan membantu dan memberikan pekerjaan kepada semua kepala keluarga agar mampu memberi nafkah dengan baik.

Negara akan melakukan beberapa pembinaan dan memberi bantuan modal. Bahkan negara Islam akan menasehati dan memberi sanksi bagi suami yang tidak bersungguh-sungguh bekerja mencari nafkah. Negara tidak akan membiarkan kemiskinan menghinggapi kepala keluarga sehingga bertindak kasar sebagai pelampiasannya.

Negara meyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan agar mampu mengamalkan fungsi orang tua dengan baik dan benar agar keduanya memahami bagaimana cara menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebagai pasangan suami istri. Menggauli pasangan dengan baik, berikut memperlakukan anak-anak mereka.

Maka dalam hal ini syariat Islam kaffah bukan sekadar wajib, namun butuh diterapkan oleh negara sebagai solusi berbagai persoalan, termasuk tingginya angka perceraian. Baik karena faktor ekonomi atau karena faktor lainnya. Wallahu ‘alam bishshawab. [SM/Ln]