Sekularisasi Pesantren di Balik Gagasan Pesantren Semua Agama

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Belum reda kontroversi tentang sebuah pesantren besar di kawasan provinsi Jawa Barat, kini pesantren kembali jadi sorotan. Di Jawa Timur, ada pesantren yang baru dibangun dengan tujuan nyentrik. Rencananya, pesantren itu tidak hanya menerima pelajar dari santri muslim saja, tapi berasal dari pemeluk berbagai agama di Indonesia, baik yang beragama Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain. Pesantren itu disebut sebagai Pesantren Jati Diri Bangsa.

Dalam salah satu portal media online diberitakan bahwa kepala pusat penerangan TNI Laksda Julius Widjono ikut meletakkan batu pertama pembangunan Pesantren Jati Diri Bangsa itu di Kediri, Jawa Timur. Pesantren tersebut dibangun di Kawasan Situs Ndalem Pojok Persada Soekarno, lokasi yang termasuk petilasan Presiden Pertama RI, Soekarno. (Timesindonesia.co.id)

Pesantren Jati Diri Bangsa ini dibangun atas inisiasi Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi. Adapun alasan pendirian pesantren tersebut adalah untuk memperkuat ideologi Pancasila. Sementara kurikulumnya akan difokuskan pada pembangunan kepribadian, manunggalnya keimanan dan kemanusiaan.

Hakikat Pesantren

Menurut KBBI, pesantren berarti pondok, asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Sedangkan santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang salih, orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren.

Dalam sebuah artikel dalam Jurnal Kajian Islam dan Budaya, Ibda’ yang terbit pada Desember 2011, pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pesantren umumnya didirikan oleh para wali, kiai dan para pengemban dakwah dan penyebar agama Islam ke seluruh penjuru negeri. Istilah pesantren sendiri merujuk pada tempat belajarnya kaum intelektual muslim yang disebut santri. Merekalah para calon ulama pewaris tradisi keilmuan Islam dan penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia.

Dengan kata lain, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mengajarkan ilmu agama (tafaqquh fiddin) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya, dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan (Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi pesantren, Jakarta, LP3ES). Adapun tujuan pendidikan pesantren, sama dengan tujuan pendidikan Islam yaitu mencetak output pendidikan yang berkepribadian Islam (bersyakhshiyyah Islamiyyah).

Pesantren juga merupakan istilah khas yang dipakai dalam Undang-Undang Pesantren Nomor 18 tahun 2019 dengan definisi tertentu. Dijelaskan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren yang berbasis kitab kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan yang merupakan kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang terstruktur sistematis dan terorganisasi.

Maka, jika mengacu pada definisi undang-undang pesantren tersebut, pendirian pesantren untuk semua agama, jelas tidak tepat. Hal ini karena dapat mendistorsi makna pesantren itu sendiri, juga dapat mengaburkan pemahaman serta melemahkan keyakinan umat akan jati diri bangsa ini, yang sejatinya tidak bisa dilepaskan dari Islam.

Sedangkan gagasan kurikulum pesantren berupa manunggalnya keimanan dan kemanusiaan, juga akan mengaburkan makna keimanan yang sesungguhnya, yaitu keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan konsekuensi tunduk patuh pada syariat-Nya, mengambil dan menjalankan Islam secara kaffah. Karena hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah, maka jati diri bangsa pasti akan terwujud.

Sekularisasi Pesantren

Jika ditelaah lebih mendalam, tampak bahwa inisiasi pembangunan Pesantren Jati Diri Bangsa tersebut, makin menguatkan aroma sekularisasi dunia pesantren di negeri ini. Karena realitasnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, pesantren memang tengah menjadi primadona proyek moderasi beragama. Proyek yang masif disosialisasikan di berbagai instansi, lembaga pendidikan, bahkan hingga tingkat RT/RW dan keluarga sebagai unit masyarakat terkecil negeri ini. Artinya, diakui atau tidak, kini dunia pesantren telah masuk dalam pusaran kapitalisme global sekuler melalui proyek moderasi beragama. Bahkan pesantren, santri, kiai serta nyai pesantren, kini dibidik dan diarahkan menjadi corong moderasi beragama. Yakni, menjajakan ide-ide Islam moderat yang intinya adalah sekularisasi agama dalam wajah yang lain.

Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM), Syukron Jamal, bahwa santri merupakan garda terdepan untuk mengkampanyekan Islam moderat di Indonesia. “Santri garda terdepan mengkampanyekan Islam moderat untuk melawan gerakan paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di Indonesia” (Antaranews.com, 20-2-2022)

Dalam rangka menjawab tantangan zaman, pada Hari Santri 2021 lalu, pemerintah telah  mengesahkan Perpres No. 82 tentang Pendanaan Pesantren. Perpres ini merupakan turunan dari UU N0. 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Dan jika ditelaah lebih jauh, sesungguhnya UU Pesantren ini pun menebarkan aroma sekuler yang begitu kuat. UU Pesantren tersebut membahas pesantren dengan bingkai kerangka filosofis moderat. Seperti dalam pasal 33, 38 dan 40, yang secara eksplisit mendorong pondok-pondok pesantren untuk mengusung Islam moderat. Belum lagi pasal-pasal lainnya yang sangat perlu dikritisi karena amat berpotensi menghilangkan independensi pesantren dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Akibatnya, pesantren makin mudah diintervensi pihak luar. Menyeret pesantren ke pusaran arus sekularisme kapitalistik, bahkan menjadikan pesantren sebagai corong moderasi beragama yang sekuler, yang sama sekali bukan dari Islam.

Adapun Pesantren Jati Diri Bangsa, yang dirancang untuk menampung pelajar dari semua agama,  sungguh tampak sejalan dengan proyek moderasi beragama yang sekuler, bahkan makin menguatkan proses sekularisasi dunia pesantren. Hal ini dapat dipahami dari empat pilar moderasi beragama itu sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam situs resmi kemenag.go.id. Moderasi beragama tercermin dalam pertama, komitmen kebangsaan yang menjunjung keberagaman. Kedua, toleransi yang menghargai perbedaan keyakinan. Ketiga, penolakan terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama. Keempat, penerimaan dan akomodasi terhadap kekayaan budaya dan tradisi yang ada dalam masyarakat.

Dari sini jelas bahwa sikap toleransi yang menghargai perbedaan keyakinan termasuk salah satu pilar moderasi beragama. Pesantren Jati Diri Bangsa yang akan menampung santri dari berbagai penganut agama, seolah ingin menegaskan keberpihakannya terhadap moderasi beragama secara implementatif. Padahal moderasi beragama itu jelas ide sekuler yang tidak lahir dari akidah Islam. Bagaimana mungkin pondok pesantren yang akarnya adalah Islam dan merupakan lembaga pendidikan Islam, justru mewadahi pelajar dari berbagai penganut agama. Terlebih fungsi strategis pesantren adalah mencetak calon ulama pewaris Nabi yang bertakwa, berkepribadian Islam, tafaqquh fiddin, bermental pemimpin, serta siap mengemban dakwah dan berjuang menegakkan Islam kaffah. Tentu tujuan istimewa ini tidak cocok dengan pelajar yang beragama selain Islam, karena secara prinsip memang mereka belum iqna’ pada akidah Islam.

Seputar Toleransi

Adapun tentang toleransi, sesungguhnya Islam telah memiliki pandangan yang khas dan batasan tegas dalam implementasinyaa. Toleransi sering disebut juga tasaamuh. Tasaamuh artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, halaman 702, Pustaka Progesif, cet. 14). Toleransi secara bahasa berasal dari kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest”, yang berarti menahan perasaan tanpa protes. Menurut Websters New American Dictionary, arti toleransi adalah memberikan kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain. Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi.

Dalam KBBI, toleransi diartikan sebagai sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya.  Jadi, jika dikaitkan dengan keberagaman di masyarakat dalam hal agama, makna toleransi itu adalah menghargai dan membiarkan pemeluk agama lain menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka dan tidak mengganggunya. Artinya, toleransi itu membiarkan dan tidak mengganggu, bukan membenarkan keyakinan agama lain atau bahkan ikut larut dalan kegiatan ritual agama lain. Karena jika demikian, tentu ini toleransi yang kebablasan.

Meski demikian, tidak berarti Islam mengajarkan sikap intoleransi, kekerasan yang merugikan pihak lain, dan abai pada penjagaan ketentraman dalam masyarakat yang beragam. Islam sungguh memiliki aturan lengkap dan rinci tentang penataan kehidupan masyarakat yang majemuk. Bahkan Islam telah mempraktikkannya secara riil dalam sejarah peradaban Islam dalam naungan Khilafah, dalam rentang waktu belasan abad lamanya. Dan itu semua telah tercatat secara gemilang dalam berbagai dokumen sejarah dunia.

Maka, di manakah letak urgensitasnya menggagas pesantren yang mewadahi pelajar dari berbagai penganut agama berbeda? Karena sejatinya, pesantren itu lembaga pendidikan khas Islam, dengan peran dan fungsi strategis yang khas pula. Yaitu mencetak calon ulama yang berkepribadian Islam, tafaqquh fiddin, dan siap melanjutkan perjuangan Rasulullah saw. dalam mengemban risalah Islam kaffah ke seluruh penjuru dunia. Sungguh tidak cocok target pendidikan pesantren tersebut diterapkan pada pelajar yang secara prinsip hidupnya belum iqna’ pada akidah dan ajaran Islam. Bahkan, bisa mendistorsi hakikat pesantren dan fungsi strategisnya bagi Islam. Juga dapat memunculkan opini keliru tentang strategi pendidikan Islam pada masyarakat, serta mengokohkan sekularisasi di dunia pesantren dan pendidikan secara umum. Jadi, hal ini tidak boleh terjadi.

Umat harus mengembalikan peran dan fungsi strategis pesantren bagi Islam. Bukan malah membiarkan pesantren terseret pada arus sekularisasi yang berbahaya bagi kemuliaan umat dan ketinggian Islam. Di sinilah pentingnya terus mengeksiskan dakwah Islam di tengah-tengah umat. Memberikan pencerdasan pada umat tentang Islam secara utuh, baik pengokohan akidah, akhlak, syariat, muamalah berbagai bidang (ekonomi, sosial pergaulan, pendidikan, kesehatan, politik dalam dan luar negeri, politik pemerintahan, sanksi dan lain-lain) juga dakwah. Sehingga terbentuk ketakwaan pada individu masyarakat, dan terwujud kepekaan serta kepedulian pada urusan umat dengan aktif melakukan amar makruf nahi munkar. Hingga pada akhirnya umat menyadari kebutuhan dan kewajibannya untuk kembali pada Islam. Terdorong untuk ikut berdakwah dan berjuang mewujudkan kembali masyarakat Islam dalam institusi negara khilafah, yang akan menjadi pelindung umat, pelaksana hukum Islam kaffah serta penegak keadilan yang hakiki bagi rakyatnya.

Maka, para mubalighah, ulama, kiai dan nyai pemangku pondok pesantren, para santri, harus terus bergerak bersama umat, melakukan dakwah Islam kaffah dan berjuang demi tegaknya kehidupan masyarakat Islam tersebut. Santri dan pesantren serta umat secara keseluruhan harus diselamatkan, dijauhkan dari bahaya sekularisasi yang merusak, dan mengembalikan kemuliaan umat sebagai khairu ummah, mengembalikan peran fungsi strategis pesantren sebagai lembaga pencetak ulama pewaris Nabi yaang tafaqquh fiddin dan siap mengemban dakwah Islam kaffah. [SM/Ln]