Oleh: Lulu Nugroho
Suaramubalighah.com, Opini – Kasus bunuh diri di negeri ini, tampaknya masih akan terus terjadi. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika seorang suami mengakhiri hidupnya di hadapan istrinya dengan cara terjun, melompat dari jembatan Suramadu, Madura, pada Rabu, 21/6/2023. Pria lain pun melakukan aksi yang sama, terjun ke sungai Brantas. Ternyata tidak hanya Jawa Timur, di beberapa wilayah di tanah air, beberapa warga memilih bunuh diri sebagai solusi menyelesaikan persoalan hidupnya.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, Indonesia memiliki rasio bunuh diri sebesar 2,4 per 100 ribu penduduk. Angka ini menunjukkan bahwa ada dua orang di Indonesia yang melakukan bunuh diri dari 100 ribu jiwa di tahun itu. Dengan asumsi jumlah penduduk sebanyak 270 juta jiwa, maka kasus bunuh diri pada tahun tersebut diperkirakan sebanyak 6.480 kasus. Meski belum ditemukan data terbaru, tetapi tentu hal ini membutuhkan perhatian serius, sebab data tadi bukan sekadar angka biasa.
Bahkan di kalangan kepolisian, tercatat ada 15 personel Polri yang melakukan bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Menurut Asisten Kapolri Bidang SDM (As SDM) Irjen Pol. Dedi Prasetyo, personel Polri menghadapi tantangan tugas yang beragam, kompleksitas perubahan lingkungan strategis yang luar biasa, pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19, pengamanan tahapan Pemilu 2024, penanggulangan kejahatan konvensional, serta kejahatan digital yang semakin marak.
Fakta ini menunjukkan bahwa tidak hanya individu lemah yang melakukan bunuh diri, terbukti manusia yang kita anggap sebagai sosok kuat seperti seorang ayah, sang kepala keluarga, atau polisi, juga memilih bunuh diri. Kasus bunuh diri terjadi pada siapa saja, baik pria dan wanita, tua atau muda, mahasiswa hingga bocah berseragam putih merah, bahkan menggejala pada para ibu. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Cilacap, ketika seorang ibu bunuh diri bersama balitanya, dengan menenggak air bercampur potasium sianida, pada Sabtu (8/7/2023).
Miris, hal ini tidak dapat kita abaikan, namun perlu solusi tuntas. Menurut sejumlah pakar, kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia. Sebuah studi pada 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. WHO menyatakan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15—29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Sekularisme Biang Keladi
Tren bunuh diri menjangkiti berbagai kalangan, karena tak tahan tekanan hidup. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), sebuah survei kesehatan mental nasional pertama, pada Oktober 2022 merilis angka kejadian gangguan mental pada generasi muda 10—17 tahun di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak muda Indonesia memiliki masalah mental health (kesehatan mental), sedangkan 1 dari 20 anak muda Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Apa jadinya jika generasi muda negeri ini memiliki masalah kesehatan mental, senang menyiksa diri (self harm) akibatkrisis kepribadian pada dirinya. Padahal sejatinyamereka adalah agen perubahan (agent of change), yang di pundak mereka diletakkan harapan umat. Generasi rapuh dan mudah putus asa tentu tidak layak dijadikan sebagai pemimpin.
Meskipun mayoritas muslim berada di negeri ini, sayangnya tidak berbanding lurus dengan kemampuannya mengelola kehidupan. Hal ini wajar saja terjadi, sekularisme yang dijadikan sebagai pola asuh kehidupan bermasyarakat. Padahal ia telah menimbulkan banyak kerusakan dan persoalan, pun membuat anak-anak bangsa tak mampu berdiri tegak menghadapi kehidupannya. Berbagai masalah melatari kasus bunuh diri di kalangan remaja, di antaranya melalui tayangan.
The Guardian Center for Countering Digital Hate (CCDH) menemukan bahwa TikTok menampilkan konten yang mendukung self harm, dan mereka menganggapnya keren. Bentuknya berupa sharing session, juga tutorial melakukan self harm. Maka banyak yang kemudian mengunggah video di media sosial yang berkisah tentang perjuangan dirinya dalam menghadapi masalah, hingga akhirnya memutuskan melakukan self harm. Konten ini pun menjadi tren kekinian.
Kasus bullying atau perundungan, juga turut andil menyebabkan bunuh diri. Para korban yang tak mampu keluar dari jerat perundungan, memilih mati ketimbang berhadapan dengan para pelaku kejahatan. Korban tidak mendapat pembelaan dari siapapun. Sedangkan perundungan terus terjadi, berganti pemain dengan beragam aksi jahatnya. Sekularisme meniscayakan terjadinya hal ini. Tanpa kendali agama, hilang rasa berkasih sayang pada sesama. Maka menghina dan menyakiti baik secara verbal maupun tingkah laku,dan dianggap sebagai keumuman di tengah masyarakat.
Selain itu, masalah ekonomi masih menjadi sebab utama terjadinya bunuh diri. Kehidupan yang sempit serta tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas menyelesaikan persoalan. Beban kehidupan pun semakin berat, seperti melambungnya harga kebutuhan pokok, akses kepada pendidikan dan kesehatan yang semakin sulit, serta berkelindannya masalah pengangguran dan kemiskinan di tengah masyarakat.
Sementara arus kebebasan meraja di panggung kehidupan, membentuk hedonisme. Selebriti dan pejabat unjuk kekayaan di media sosial. Tayangan televisi juga mempertontonkan kehidupan glamour. Tanpa nilai ruhiyah, muncullah budaya pamer di tengah masyarakat (flexing), baik di dunia maya atau pun nyata. Alhasil masyarakat kelas bawah semakin nelangsa menghadapi hari esok.
Menelisik berbagai faktor tadi, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kasus bunuh diri bukan hanya disebabkan satu sebab saja, tetapi banyak hal yang saling berkaitan secara sistemik. Ini menunjukkan alarm keras bagi penguasa, bahwasanya masyarakat perlu diriayah dengan baik, tetapi tidak dengan pengasuhan sekularisme lagi. Sebab sistem yang satu ini, menegasikan peran Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya kehidupan tidak berjalan dengan baik. Sekularisme yang menjauhkan manusia dari tuntunan, menjadikan kehidupan hampa tanpa dekapan Ilahi. Tak mampu lagi mengimani kekuatan Allah SWT. Akhirnya tak mampu menghadapi masalah.
Islam Solusi Hakiki
Basis pendidikan di dalam Islam adalah akidah Islam. Dari sinilah terbentuk pemahaman untuk bersandar kepada Allah semata, dan kewajiban terikat dengan hukum syarak. Muncul pula kesadaran bahwa kehidupan berasal dari Allah SWT dan kembali kepada Allah SWT. Karenanya manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh keputusan dan aktivitasnya di hadapan Allah SWT.
Pendidikan Islam melahirkan kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yang tangguh, bertakwa dan siap mengarungi kehidupan. Maka hasilnya adalah penguasa-penguasa yang taat kepada Allah SWT, yang menerapkan seluruh syariat tanpa kecuali. Seluruh aspek kehidupan diatur dengan Islam, baik pendidikan, keluarga, sosial, hukum dan persanksian, pemerintahan, dan sebagainya.
Masyarakat pun tidak akan dibiarkan sendiri berjibaku dengan problematika hidupnya. Khalifah akan menyelesaikannya sesuai syariat. Khalifah memahami bahwa kekuasaan adalah amanah. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Demikian pula halnya dengan masyarakat, akan menjalani kehidupannya sesuai hukum Allah SWT. Tidak lantas bunuh diri karena ditimpa musibah, akan tetapi mengambil sikap tawakal dan menyelesaikannya sebagaimana tuntunan syariat. Mereka memahami bahwasanya Allah SWT yang menetapkan setiap perkara di dalam kehidupan, dan memberikan panduan yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, bagi manusia.
… Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisa’ (4): 29).
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu. (HR Bukhari no. 6105 dan Muslim no. 110).
Khalifah juga tidak akan membiarkan konten-konten atau tayangan yang berpotensi merusak akal dan jiwa masyarakat. Sebaliknya atmosfer keimanan memayungi penerapan Islam. Negara mendorong ketakwaan, masyarakat pun berlomba-lomba dalam kebaikan. Maka wajar jika di sana terbentuk umat terbaik (khairu ummah).
Tampak betapa bagusnya pengaturan Islam. Sekularisme tak layak bersanding dengan Islam, tidak dapat memberi kebahagiaan hakiki, pun tak menuntaskan persoalan manusia. Hanya Islam yang mampu menumbuhkan sosok manusia yang siap memimpin peradaban, menjaga kemuliaan Islam, mendakwahkan serta memperjuangkannya. Tsumma takuunu khilafatan a’la minhajinnubuwwah. [SM/Ah]