Pencegahan Narkoba  Tidak Sekadar Menerapkan Kurikulum  Pencegahan Narkoba

  • Opini

Oleh : Padliyati Siregar

Suaramubalighah.com, Opini – Badan Narkotika Nasional mengungkap 49 jaringan narkotika internasional dan nasional telah menyasar seluruh kalangan di desa dan kota di Indonesia. Prevalensi pengguna narkoba menunjukkan peningkatan mencapai 4,8 juta orang sehingga perlu sinergi kuat antarlembaga dan warga untuk memberantas narkorba.

Indonesia masih menjadi pasar potensial peredaraan narkotika. Hal itu dilihat dari hasil sitaan barang haram dan tingkat prevalensi yang masih tinggi. Sepanjang 2022, BNN telah  menangkap 23 jaringan internasional dan 26 jaringan nasional. (Kompas.com)

Terbaru, melalui operasi gabungan pada pada 24 Febuari 2023, BNN mengungkap jaringan narkotika internasional yang melibatkan 8 warga negara Iran dengan barang bukti 319 kilogram sabu. Total dari rentang usia 15-64 tahun ada sekitar 4,8 juta penduduk desa dan kota pernah memakai narkoba sepanjang 2022-2023.

Melihat fakta yang begitu besar tentang peredaran narkoba dan pemakainya tentu ini menjadi perhatian  serius karena kerusakan yang akan ditimbulkannya akan berdampak kepada rusaknya sebuah peradaban.

Adanya usulan dari Gerakan Nasional Anti Narkotika (Ganas Annar) MUI meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menerapkan kurikulum pencegahan narkoba. Karena dianggap selama ini kurikulum pencegahan narkoba ini belum ada, termasuk juga di Kurikulum Merdeka. Padahal dari fakta yang ada, peningkatan kasus narkoba memerlukan penanganan serius,  khususnya di kalangan generasi muda.

Permintaan ini disampaikan dalam kegiatan seminar internasional yang  diinisiasi oleh Ganas Annar MUI bekerja sama dengan Universitas Al-Azhar Indonesia, Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), dan Asosiasi Dosen Indonesia (ADI). Harapan nya dalam kurikulum tersebut bisa masuk informasi, edukasi-edukasi, bagaimana peserta didik bisa memiliki (karakter) daya tangkal dan juang melawan narkotika.

Dan forum itu  juga  menyampaikan bahwa dibutuhkan regulasi dan kolaborasi dari kementerian terkait seperti Kementerian Agama, Kesehatan, Ketenagakerjaan, maupun Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan adanya kurikulum pencegahan narkoba, diharapkan mampu  menciptakan generasi unggul, khususnya dalam menyambut bonus demografi 2035.

Yang menjadi pertanyaan bagi kita mampukah kurikulum pencegahan  narkoba menjadi solusi? Sementara kurikulum pendidikan kita saat diliputi banyak persoalan akibat kapitalisasi pendidikan.

Selain itu kurikulum pendidikan  hanya sebatas  slogan yang jauh dari realitanya dalam kehidupan, para pelajar pun dipengaruhi dan dikepung oleh ide sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme merupakan  dasar dari ideologi kapitalisme yang saat ini diterapkan.

Faktanya, kini agama bukan saja dijauhkan dari pendidikan tetapi secara halus diabaikan melalui istilah-istilah yang membius seperti moderat dalam beragama, pluralisme, toleransi, dan sebagainya. Lebih parahnya agama dimonsterisasi dengan istilah radikal, fundamental, dan ekstrem bagi penganutnya yang taat.

Tentu saja  berbagai upaya dan wacana diklaim sudah dilakukan, namun peredaran barang haram ini tetap saja ada, bahkan ancamannya semakin besar dan menyebar. Hanya  berharap pencegahan narkoba dan pelajar di kalangan mahasiswa tidak akan cukup hanya dengan menerapkan kurikulum pencegahan narkoba dengan  melihat kasusnya yang begitu besar. 

Harus dilihat secara mendasar tentang persoalan tersebut. Sanksi juga bukan hanya kepada pelaku yang mengonsumsi benda haram tersebut, tapi negara akan menindak penjual atau pengedarnya, serta pabrik-pabrik yang memproduksinya.

Padahal penangkapan pelaku dan pengedar sudah sering diberitakan, namun kasus pun terus bermunculan. Ibarat peribahasa “mati satu tumbuh seribu”. Karena negeri yang menerapkan kapitalisme akan sulit meninggalkan apa pun yang berbau uang. Bisnis narkoba diakui sangat menggiurkan dan berpeluang mendatangkan limpahan rupiah. Karenanya, keberadaannya seolah dipertahankan dan “sayang untuk dibuang”.

Penangkapan yang dilakukan pun terkesan setengah hati. Pelaku amatir kelas teri terus dikejar sampai mati, sementara gembong pemilik bisnisnya tidak pernah terungkap sehingga luput dari sentuhan hukum. Wajar jika penyebaran narkoba terus merajalela dan sulit diberantas.Ini menjadi bukti bahwa peredaran narkoba terus berkembang tanpa solusi tuntas.

Pemerintah malah sibuk membongkar rekening gendut mafia narkoba demi pungutan pajak. Semestinya, mereka menutup semua pintu berkembangnya aktivitas haram tersebut karena menjerumuskan ribuan anak bangsa dalam kerusakan.

Memang, dalam sistem demokrasi kapitalistik, semua kebijakan mengarah pada keuntungan, bukan menuntaskan permasalahan. Demi fulus, hingga ke lubang jarum pun mafia narkoba dikejar karena memilik sejumlah rekening gendut yang berlimpah uang. Jika uang tersebut dikuasai oleh pemerintah, bukankah sangat menguntungkan?

Kerakusan kapitalisme diperparah dengan watak sekuler, sistem yang tidak mengakui aturan agama dalam kehidupan. Dalam sistem busuk ini tidak dikenal halal-haram. Tidak ada ketakutan pada sanksi berat yang akan didatangkan pada para pelaku maksiat. Jadilah agama sebatas keyakinan, namun kosong dari pengamalan berupa keterikatan pada hukum syariat sebagai bukti keimanan.

Alhasil, mekanisme pemutusan rantai peredaran narkoba tak pernah usai. Pada akhirnya, penyalahgunaan narkoba masih saja sulit untuk ditumpas. Untuk itu memberantas peredaran dan pemakaian  narkoba haruslah bersifat sistemis. Mengajak masyarakat untuk bersama-sama memerangi narkoba tak cukup sekadar ajakan, tapi juga patut didasarkan atas penyadaran paradigma mendasar dalam hidup manusia bukan hanya sekedar membuat kurikulum pencegahan.

Tuntas dengan Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa narkoba adalah haram secara mutlak. Hadis dari Ummu Salamah ra., “Bahwa Nabi saw. telah melarang setiap zat yang memabukkan dan setiap zat yang melemahkan.”(HR Abu Dawud)

Dalam Islam, negara sebagai penanggung jawab utama terhadap rakyat. Oleh karenanya, negara akan membina keimanan dan ketakwaan rakyat dan mencegah kemaksiatan berdasarkan aturan syariat.

Rakyat  juga memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga diri dan lingkungannya dari bahaya narkoba. Penanaman akidah yang kuat oleh negara melalui sistem pendidikan mampu mencetak aparat yang memiliki integritas tinggi dalam menunaikan amanah pekerjaannya dan menyadari akan pertanggungjawabannya.

Sistem pendidikan Islam dibangun berbasis akidah Islam sehingga akan terbentuk muslim yang berkepribadian Islam dan paham akan ajaran Islam serta melakukan setiap perbuatan dengan mempertimbangkan halal dan haram.

Begitu pula dalam sistem ekonomi, keadilan antara golongan kaya dan miskin pun akan tercipta. Masyarakat merasa adil, sejahtera, dan penuh harapan. Mereka tidak perlu mencari jalan keluar dengan mengonsumsi atau mengedarkan narkoba sebagai cara untuk mendapatkan uang ataupun melarikan diri dari kenyataan. Alhasil, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan cara halal dan bermanfaat.

Negara juga  menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku baik pemakai, pengedar, maupun produsen yang memproduksi narkoba berdasarkan aturan Islam sehingga memberikan efek jera bagi pelaku maupun bagi masyarakat lainnya.

Sistem sanksi di dalam Islam pun memiliki dua fungsi, yaitu fungsi zawajir dan jawabir. Sebagai zawajir, sanksi itu benar-benar membuat jera pelakunya serta mencegah orang lain dari melakukan kejahatan yang sama. Sedangkan fungsi jawabir akan menghindarkan di pelaku dari azab Allah SWT kelak di akhirat.

Pada intinya, episode panjang narkoba yang belum jua menemukan titik solusi yang solutif dan komprehensif hanya bisa dihentikan apabila negara ini menerapkan Islam secara kaffah sebagai aturan bernegara dalam sistem Khilafah. Wallahu’alam. [SM/Ln]