Oleh: Siti Murlina, S.Ag.
Suaramubalighah.com, Al-Qur’an –
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah) itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ma’idah [5]: 3)
Surah Al-Ma’idah termasuk surah madaniyah. Ayat ini turun ketika hari Jumat, pada hari Arafah, setelah Ashar dalam situasi Haji Wada’, tahun ke-10 Hijrah. Ibnu Abbas berkata: ayat ini turun pada dua hari yang mulia, yaitu bertepatan dengan hari Jumat dan hari Arafah. Juga merupakan ayat yang terakhir turun tentang halal dan haram.
Ayat di atas secara jelas memaparkan kepada kaum muslimin bahwa Allah SWT telah mengharamkan berbagai macam makanan. Pertama, bangkai atau maytah. Imam Ibnu Katsir rahimahullah, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya suatu berita yang mengandung larangan memakan semua yang diharamkan, yang terdiri dari bangkai binatang, yaitu binatang yang mati bukan karena disembelih dan bukan karena diburu. Yang demikian itu karena di dalamnya mengandung bahaya, yaitu adanya darah beku, yang sangat berbahaya bagi agama maupun bagi tubuh manusia. Oleh karena itu Allah mengharamkannya.
Pengecualian yang dimaksud dalam ayat ini bahwa ada dua bangkai yang boleh dimakan adalah ikan dan belalang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَال
Artinya:
“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR Ibnu Majah)
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِل مَيْتَتُهُ
Artinya:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Abu Daud, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Kedua, ad-dam yaitu darah. Yaitu darah yang mengalir (surah Al-An’am: 145) baik darah sembelihan maupun yang bukan. Semua darah haram kecuali hati dan limpa. Perbuatan ini termasuk perbuatan orang-orang jahiliah. Jika salah seorang dari mereka lapar, maka ia akan mengambil tulang yang tajam atau semisalnya, kemudian dipergunakan untuk mengeluarkan darah untanya atau binatang apa saja, lalu ia mengumpulkan darahnya dan meminumnya.
Ketiga, lahmul-khinzir yaitu daging babi, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa daging babi itu yang mencakup untuk seluruh orang tubuh, termasuk lemak dan lainnya. Sebagaimana dalil dalam hadis. Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, daging babi, dan patung.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai, sesungguhnya ia dipergunakan untuk mengecat kapal, meminyaki kulit, dan dipakai oleh manusia sebagai lampu penerang?” Maka beliau menjawab, “Tidak, hal itu adalah haram [menjualbelikannya haram].” (HR Bukhari dan Muslim)
Keempat, binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Ibnu Katsir menjelaskan: yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Misalnya nama berhala atau taghut. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai tidak membaca basmalah dengan sengaja atau lupa.
Kelima, al-munkhaniqah yaitu hewan yang tercekik. Baik disengaja (dicekik) maupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati.
Keenam, al-mauquudzah artinya hewan yang mati karena dipukul dengan benda berat yang tidak tajam. Sebelum turun syariat penyembelihan menurut Qatadah mengatakan, bahwa dahulu orang-orang jahiliah memukul binatang dengan tongkat sampai binatang itu mati, maka mereka pun memakannya. Maka sejak turun ayat ini Allah SWT telah mengharamkannya.
Dan dikuatkan dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa ‘Adi bin Hatim berkata, Aku bertanya, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku pernah melemparkan tombak ke arah binatang dan mengenainya.” Maka beliau bersabda, “Jika kamu melemparnya dengan anak panah, lalu menusuknya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenai adalah batangnya, maka sesungguhnya binatang itu mati terpukul, janganlah engkau memakannya.”
Ketujuh, al-mutaraddiyah artinya hewan mati terjatuh. Misalnya jatuh dari atas bukit dan jatuh ke sumur.
Kedelapan, an-nathiihah artinya hewan yang mati karena ditanduk hewan lainnya.
Kesembilan, hewan yang mati karena diterkam binatang buas seperti singa, harimau, serigala, atau anjing liar. Kecuali jika hewan yang diterkam itu masih hidup dan sempat disembelih, ia menjadi halal. Ini juga berlaku untuk hewan yang tercekik, hewan yang terpukul dengan benda berat yang tidak tajam, hewan yang mati terjatuh, dan hewan yang mati ditanduk hewan lainnya. Jika mereka masih hidup dan sempat disembelih, menjadi halal.
Dan juga boleh dimakan binatang hasil buruan yang ditangkap oleh binatang pemburu, seperti anjing, singa, harimau, burung yang telah dilatih untuk berburu. Dan bukan untuk dimakan binatang pemburu itu, sewaktu melepas binatang pemburu itu dengan menyebut nama Allah.
Kesepuluh, binatang yang disembelih untuk berhala. Misalnya binatang yang dijadikan qurban untuk berhala, jin, dan sejenisnya.
Selanjutnya, ayat ini mengharamkan azlam yakni mengundi nasib dengan anak panah dan menjelaskan tentang kesempurnaan syariat Islam.
Haramnya kesepuluh makanan di atas, dikecualikan bagi orang-orang yang terpaksa. Pada akhir ayat Allah SWT menyatakan dalam kondisi darurat (jika tidak memakannya ia bisa mati) terpaksa memakan dari sepuluh jenis makanan tersebut. Maka dalam kondisi seperti itu, ia tidak berdosa memakan sekadar untuk bertahan hidup. Hal ini disebabkan ampunan dan kasih sayang Allah sangat luas bagi hamba-Nya.
فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari pemahaman ayat ini juga berarti apa yang Allah SWT haramkan bagi hamba berupa sesuatu yang pengharamannya dinyatakan oleh nas syar’i (berupa makanan, minuman atau benda) maka haram pula menjual, membeli, atau memilikinya.
Sistem sekuler kapitalisme saat ini telah merusak cara pandang umat Islam hingga akhirnya memengaruhi gaya hidup mereka. Serta mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Karena pengaruh gaya hidup ala Barat. Yang menggiring pada lemahnya kesadaran umat dan mereka kekurangan literasi tentang halal-haram.
Contoh kasus, seorang selebgram harus masuk jeruji besi menanggung ulahnya sendiri setelah memakan daging babi sembari mengucapkan basmalah. Perbuatannya pun terkena delik penistaan agama. Kemudian ada di suatu daerah masyarakat berebut daging bangkai yang mati karena terkena PMK, dan banyak lagi kasus lainnya.
Dalam Islam, seperti kepastian halal pada produk-produk yang beredar, adalah tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama.
Maka negara membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku usaha yang melanggar ketentuan.
Selanjutnya, negara wajib mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan makanan. Negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram, apalagi sampai memproduksi makanan haram lalu memperjualbelikannya ke tengah umat muslim. Seorang muslim yang sengaja mengonsumsi makanan haram pun akan dikenai sanksi sesuai nas syara.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]