Oleh: Mutiara Aini
Suaramubalighah.com, Opini – Heboh. Sebuah produk minuman beralkohol wine dengan merek ‘Nabidz’ diklaim telah memiliki sertifikat halal. Kabarnya, produk minuman fermentasi anggur tersebut telah dibuat sedemikian rupa hingga tersertifikasi oleh MUI. Hal inipun ramai dibahas di berbagai lini masa media sosial.
Namun, MUI menjelaskan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan fatwa halal untuk produk yang berhubungan dengan wine maupun khamr. Menurutnya yang mengeluarkan fatwa halal adalah Komite Halal di bawah Kementrian Agama dengan jalur Halal Self Declare (tanpa audit).
Kemenag pun mengakui bahwa pihaknya benar telah mengeluarkan sertifikat halal untuk merk Nabidz minuman juz buah pada tgl 25 Mei 2023 dan telah diverifikasi dan divalidasi pada tanggal yang sama. Namun dalam perjalanannya, BPJPH mendapatkan pengaduan bahwa sertifikat halal yang diterbitkan dipergunakan untuk produk lain (wine minuman beralkohol). (kompas.com, 27-7-23).
Berdasarkan undangan baru, sertifikasi halal diambil alih oleh Kemenag, sehingga prosedur sertifikasi halal yang sebelumnya sangat ketat itu menjadi karut marut. Padahal, ketika masih dipegang oleh LPPOM MUI, standar halal Indonesia mejadi acuan 40 negara.
Melansir dari catatan viva.co.id, (7-10-22). Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Muhammad Aqil Irham menyatakan, sebanyak 80 lembaga halal luar negeri dari 40 negara melakukan pendaftaran produk halal di Indonesia. Hal ini dikarenakan produk halal saat ini sedang menjadi tren global.
Ia mengatakan, dari ke 40 negara yang melakukan pendaftaran tersebut merupakan negara dengan mayoritas penduduk nonmuslim. Mereka menganggap bahwa kategori halal merupakan hal yang penting bagi sebuah produk.
Bisnis Kapitalistik
Dalam sistem sekuler seperti saat ini sangat sulit untuk mendapatkan produk yang benar-benar halal apalagi toyib. Meskipun sudah ada sertifikat halal, namun tidak ada jaminan benar-benar halal. Terlebih ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan sertifikat halal hanya untuk meraih kepercayaan dari umat Islam dalam mengkonsumsi produknya meski telah jelas keharamannya.
Berstandar pada halal-haram adalah harapan dan kewajiban setiap muslim, utamanya di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Sehingga dibutuhkan sertifikat halal sebagai bentuk jaminan keamanan kaum muslim dalam menggunakan suatu produk.
Konon, MUI berperan sebagai salah satu lembaga rujukan umat muslim khususnya terkait sertifikasi halal suatu produk. Namun sayangnya, sertifikasi halal berpotensi musnah dengan disahkannya Omnibus Law UU Ciptaker. Dimana MUI tak lagi menjadi pemeran utama setelah pemerintah membentuk lembaga serupa Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Undang- undang Cipta Kerja nyatanya telah merusak esensi dari sertifikasi halal. Sebab, UU Cipta kerja lebih fokus pada perlindungan produsen, bukan pada konsumen.
Dari sini, tampak jelas bahwa tujuan sertifikasi halal bukan semata demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar keimanan. Bukan pula demi memberi fasilitasi kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merebut ceruk pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi target menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global.
Di samping itu rakyat dibebani untuk mengurus sertifikat dengan biaya yang sangat mahal. Padahal, ketika menjalani usaha, rakyat sudah terbebani dengan berbagai pungutan, seperti perizinan usaha, pajak dan biaya lainnya. Maka tak heran, jika produksi berbiaya tinggi ini menjadikan harga produk ikut mahal.
Inilah efek samping dari penerapan sistem kapitalis sekular yang kemudian dimanfaatkan untuk meraup keuntunngan. Tak dimungkiri, gerakan ‘sadar halal’ sudah mulai terwujud di tengah-tengah masyarakat. Tentu kita tak boleh terjebak pada siapa yang mengeluarkan sertifikasi halal. Karena sejatinya pemerintah berkewajiban menjamin kehalalan setiap produk yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana Islam memandang, bahwa semua komoditas ekonomi harus halal tidak mengandung zat-zat yang diharamkan.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal telah membuat umat hidup dalam kesengsaraan. Kehalalan dan keharaman bercampur di dalam banyak hal, sehingga tidak jarang sangat sulit dibedakan.
Alhasil, dalam sistem kapitalis saat ini, sertifikasi produk halal menjadi penting adanya. Mengingat perekonomian lebih didominasi oleh kepentingan bisnis. Sehingga banyak menabrak aturan halal-haram yang digariskan oleh syariat.
Kembali pada Aturan Islam
Dalam sistem Islam, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Karena sejatinya, dalam sistem Islam jaminan halal dan toyib tidak harus ada sertifikasi halal. Karena yang dihalalkan Allah SWT tentunya lebih banyak daripada yang diharamkan. Ditambah lagi semua aturannya dilandasi oleh akidah islamiyah. Sehingga segala aktivitasnya terikat dengan hukum syara.
Sebagaimana yang terjadi pada kaum muslimin di masa peradaban Islam. Saat itu syariat menjadi landasan utama untuk mengatur seluruh aspek. Syariat merupakan hal yang menjadi perhatian paling mendasar bagi setiap individu pada saat mereka akan produksi sebuah barang ataupun mencari barang yang mereka butuhkan di pasar. Karena itu, jaminan halal di dalam peradaban Islam adalah jaminan yang muncul dari para produsen yang mereka takut kepada Allah.
Sehingga senantiasa taat kepada syariat. Karena, apa yang mereka lakukan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan. Tapi mereka ingin mendapatkan keberkahan sekaligus ingin mendapatkan pahala bekerja dan pahala atas keuntungan yang mereka dapatkan. Maka mereka akan selalu memastikan mereka mengeluarkan produk yang halal bukan hanya pada hasil akhir produk tersebut. Tetapi mulai dari bahan baku hingga proses pembuatannya sampai pada pengemasannya dilakukan berdasarkan syariat.
Terkait khamr, Islam telah mengatur dan memberikan solusi praktis. Islam menggariskan dengan sangat terperinci tentang produksi, promosi, dan distribusi suatu komoditas di tengah masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda: “Khamr itu haram karena bendanya itu sendiri. Minuman yang lain haram kalau memabukkan.” (HR Anas bin Malik)
Peraturan syariat terkait khamr sangatlah jelas. Khamr merupakan barang haram, sekalipun bernilai ekonomi. Produksi, promosi, dan distribusi khamar di tengah masyarakat sangat dilarang. Bahkan ada sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan ini. Islam tidak memperbolehkan ada pemilik usaha yang memproduksi dan mengedarkan khamr dalam kehidupan publik secara bebas. Sehingga negara tidak direpotkan dengan sertifikasi halal dan celah kapitalisasi. Sertifikasi halal benar-benar ditutup dalam sistem Islam. Khamr hanya diperbolehkan bagi non muslim saja.
Allah SWT mewajibkan kepada umat Islam untuk mengonsumsi produk halal, sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS Al-Baqarah: 168)
Maka jelaslah bahwa hanya sistem Islam yang diberlakukan oleh negara yang mampu menjamin keberadaan produk halal di tengah-tengah masyarakat. Umat membutuhkan penerapan aturan Islam secara kaffah. Niscaya hukum syara’ tentang konsumsi makanan dan minuman halal dan toyib, bahkan menggunakan kosmetik berbahan halal pun dapat dijalankan oleh kaum muslimin secara sempurna. Bukan semata kesadaran individu, tapi ada peran negara yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya.
Jika negara abai menjamin beredarnya produk halal di masyarakat apalagi sampai melegalisasikan proses sertifikasinya, niscaya negara menjerumuskan masyarakat terutama kaum muslim pada pelanggaran hukum syara.
Sejatinya, jaminan produk halal merupakan hak rakyat dari pemimpinnya. Oleh karena itu, atas dorongan iman dan kewajiban, negara sudah seharusnya melakukan berbagai upaya untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal. Tentunya aturan tersebut tidak boleh membebani rakyat, terutama para produsen barang. Mereka justru harus diberi kemudahan, termasuk dalam hal regulasi dan pembiayaan. Wallahu ‘alam bishshawab . [SM/Ln]