Pesantren Lahirkan Mujahid Ekonomi, Menyalahi Tupoksi

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini – Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendorong pesantren melahirkan mujahid-mujahid ekonomi yang bisa memanfaatkan pesantren menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat.

“Kami ingin sekarang ini pesantren juga menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jadi, pesantren kalau dulu melahirkan mujahid-mujahid yang berjuang mengusir Belanda, sekarang mujahid ekonomi,” kata Ma’ruf Amin saat menghadiri Haul ke-34 K.H. Aqil Siroj dan Tasyakkur Khotmil Qur’an dan Juz Amma di Pondok Pesantren (Ponpes) Kiai Haji Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Gempol, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (26-8-2023). (republika.co.id, 26-8-2023)

Wapres pun menyampaikan bahwa pesantren harus ikut berkontribusi dalam pembangunan nasional. Hal tersebut disebutnya sebagai jihad ekonomi. Yaitu, pertama, dengan membangun kemandirian pesantren, kemandirian umat, sehingga tidak tergantung pada siapa pun. Kedua, memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembangunan nasional. Jihad ekonomi dianggap menjadi bagian dari tanggung jawab kebangsaan yang dimiliki pesantren.

Menyalahi Tupoksi

Pesan serupa mengenai peran pesantren dalam ekonomi, memang sudah sering disampaikan oleh pemerintah. Hal ini dianggap sesuai amanat UU Pesantren 18/2019. Hanya saja, dari tiga fungsi utama pesantren, fungsi pengembangan masyarakat lebih menonjol dikembangkan. Bahkan Kemenag telah menyusun Peta Jalan Kemandirian Pesantren. Turunannya adalah segala bentuk program untuk mewujudkan kemandirian ekonomi pesantren.

Beberapa program yang sudah dijalankan antara lain, ‘Program Akselerasi Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pesantren dan Komunitas’, Pengembangan ekonomi pesantren melalui penguatan kewirausahaan, lembaga keuangan mikro syariah, sektor riil, dan upaya ketahanan pangan bermuara pada kesejahteraan masyarakat pesantren. Di Jawa Barat dan Jawa Timur sudah berjalan program One Pesantren One Product (OPOP). Program ini dianggap mendorong kreativitas santri menciptakan produk pesantren sehingga pesantren bisa lebih mandiri dan berkembang. Intinya, pesantren saat ini lebih didorong untuk menjadi penggerak ekonomi.

Sepintas, nampaknya tidak ada yang salah. Namun, perlu kita kritisi, jika pesantren lebih didorong untuk fungsi penggerak ekonomi, bagaimana dengan tugas dan fungsi utamanya? Yakni fungsi pendidikan dan dakwah.

Sejak awal, pesantren didirikan dengan visi pendidikan dan dakwah. Para Kiai mendirikannya untuk menjadi lembaga pendidikan para santri agar bisa menjadi faqih fiddin, memahami berbagai kitab-kitab tsaqofah Islam dan hukum-hukum syariat, bahkan menjadi para ulama. Pesantren pun lembaga dakwah, lewat pesantren parah santri dibekali ilmu untuk didakwahkan kembali di tengah-tengah masyarakat, juga beramar makruf nahi munkar. Sehingga syiar Islam terus diestafetkan. Bahkan di masa penjajahan, pesantren telah terbukti menjadi pusat perjuangan umat Islam melawan penjajah.

Tugas pokok di atas teramat penting dan menjadi ciri khas pesantren. Jika pesantren disibukkan dengan aktivitas ekonomi, sangat dikhawatirkan akan mengalihkan pesantren dari tugas pokok tersebut. Para asatidz dan santri-santri malah sibuk menjadi pelaku bisnis, mempelajari ekonomi digital, membuat produk, memasarkannya. Hal ini sangat jauh dari ekosistem pesantren yang sesungguhnya. Bukan khittahnya. Jika pesantren seperti itu, apa bedanya dengan lembaga pendidikan vokasi?

Walaupun tidak sedikit memang, banyak pesantren yang selama ini melakukan aktivitas ekonomi untuk menopang penyelenggaraan pendidikan. Namun, hal itu bukan aktivitas utama, melainkan ‘terpaksa’. Karena tidak bisa bergantung kepada pemerintah yang sangat minim memberikan support dana.

Seharusnya, negara menopang penuh peran pesantren ini dengan menyediakan dana dan berbagai fasilitas agar pesantren fokus pada tugas utamanya. Bukan malah membebani pesantren untuk membiayai dirinya sendiri dengan dalih menjadi penggerak ekonomi. Ini adalah bentuk pengabaian negara dari tugasnya sebagai pe-riayah rakyat. Bukankah pendidikan adalah bagian dari pelayanan yang wajib diberikan untuk rakyat?

Tumbal Kebobrokan Kapitalisme

Tak bisa dipungkiri, pemerintah sedang kelabakan mengatasi permasalahan ekonomi negeri ini. Utang yang terus meningkat, proyek-proyek mangkrak, pertumbuhan ekonomi melambat. Akibatnya, kebutuhan rakyat tak terpenuhi, inflasi tinggi, harga-harga barang naik, angka kemiskinan semakin tinggi. Sementara pemasukan negara saat ini hanya mengandalkan pajak dan utang. Dengan dalih menyelamatkan ekonomi bangsa, pemerintah menyerukan kepada rakyat, termasuk pesantren, untuk ikut serta menjadi penggerak ekonomi.

Terkhusus pesantren, Pemerintah melihat potensi pesantren yang luar biasa, baik kuantitas maupun kualitas. Potensi kuantitas dengan jumlah pesantren mencapai 36.080 dengan jumlah santri sekitar 4,2 juta orang. Diperkirakan sebanyak 12.469 atau 39,7% pesantren memiliki potensi ekonomi yang bisa menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan, ekonomi syariah, dan UMKM halal. Potensi kualitas, selama ini para santri dikenal sebagai orang-orang yang militan dan mandiri dengan spirit keagamaan. Maka tak aneh, untuk memotivasi, dimunculkan istilah mujahid ekonomi, jihad ekonomi, seperti yang disebutkan oleh Wapres di atas.

Padahal, jika kita cermati, permasalahan ekonomi negeri ini bukan karena kurangnya keterlibatan rakyat atau lembaga seperti pesantren dalam mendukung pembangunan negara, melainkan abainya pemerintah dalam pengurusan ekonomi dan penjamin kesejahteraan rakyat. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalisme liberal yang diterapkan di negara ini.

Sistem kapitalisme menempatkan negara sebagai regulator. Penyambung kepentingan-kepentingan individu. Undang-undang dibuat untuk menengahi agar setiap kepentingan individu rakyat bisa terpenuhi. Namun, faktanya individu yang dilayani oleh undang-undang adalah mereka pemilik modal (kapitalis) bukan rakyat keseluruhan. Gara-gara, kolusi jahat sejak awal antara calon penguasa dengan pemilik modal yang mensponsori biaya politik yang mahal. Rakyat hanya sebagai stempel bagi kekuasaannya. Bukan pihak yang akan dilayani.

Sistem ekonomi kapitalisme liberal pun membiarkan Sumber Daya Alam yang dimiliki negara untuk dikelola oleh individu atau swasta, bahkan asing sekalipun. Akibatnya, yang paling mendapatkan keuntungan adalah perusahaan-perusahaan yang mengeruk sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti emas, minyak bumi, gas, hutan. Sementara negara hanya harus puas dengan pemasukan dari pajak yang sedikit.

Seharusnya negara mencampakkan sistem ekonomi kapitalisme yang terbukti bobrok dan gagal menyejahterakan rakyat. Bukan malah memeras lagi rakyat untuk menyelamatkan ekonomi negara. Termasuk menumbalkan pesantren dengan potensi mulianya.

Melahirkan Mujahid Hakiki

Jika Wapres menggunakan istilah jihad ekonomi dan mujahid ekonomi untuk menarik simpati, maka penting kita memahami makna syar’i dari istilah jihad dan mujahid tersebut.

Secara bahasa jihad memang bermakna sungguh-sungguh. Namun, secara syar’i, menurut para ulama mu’tabar, jihad bermakna perang di jalan Allah (Lihat: Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 3/336; Asy-Syirazi, Al-Muhadzzab, 2/227; Ibn Qudamah, Al-Mughni, 10/375; dll)

Di dalam Al-Qur’an kata jihad (dalam pengertian perang) disebutkan 24 kali (Lihat: Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/12).

Jihad hukumnya wajib. Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an di dalam banyak ayatnya (Lihat, misalnya: QS An-Nisa’ 4]: 95; QS At-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS Ash-Shaf [61]: 4; dll).

Karena itu di dalam Kitab Al-Mabsûth dinyatakan:

وَإِذَا قَعَدَ الْكُلُّ عَنْ الْجِهَادِ حَتَّى اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى بَعْضِ الثُّغُورِ اشْتَرَكَ الْمُسْلِمُونَ فِي الْمَأْثَمِ بِذَلِكَ

Jika seluruh kaum muslim berdiam diri atau tidak melakukan jihad hingga kaum kafir menguasai sebagian wilayah kaum muslim, mereka sesungguhnya telah sama-sama berdosa (Al-Mabsuth, 34/119).

Orang yang berjihad, disebut sebagai mujahid. Mujahid akan mendapat berbagai keutamaan. Hal ini telah banyak dinyatakan baik di dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan seolah-olah mereka seperti bangunan yang kokoh (QS Ash-Shaf [61]: 4)

Rasulullah saw. pun bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Siapa saja yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi tinggi maka ia berada di jalan Allah ‘Azza wa Jalla (HR Al-Bukhari)

Pesantren sebagai tempat pendidikan dan dakwah sudah seharusnya menjadi tempat lahirnya para santri faqih fiddin yang paham akan keutamaan jihad dan bersiap untuk melaksanakannya jika dibutuhkan.  Seperti halnya dilakukan saat mengusir sekutu pada masa lalu. ‘Resolusi Jihad’ yang dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1945 oleh pendiri NU, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, saat itu menggerakkan para santri untuk ikut turun berjihad melawan penjajah. Inilah mujahid yang hakiki.

Adapun jika dikaitkan dengan permasalahan ekonomi, maka sumbangsih penting yang dibutuhkan dari pesantren bukanlah aktivitas ekonomi, melainkan diharapkan lahir para mujtahid ekonomi. Mujtahid adalah orang yang mampu berijtihad, menggali hukum-hukum syariat untuk menjawab berbagai permasalahan umat, termasuk masalah ekonomi. Inilah para pembaharu yang seharusnya dilahirkan oleh pesantren. Dengan adanya mereka, untuk mengatasi masalah ekonomi, Negara tidak perlu lagi meminta bantuan ahli-ahli ekonom yang berkiblat pada Barat yang menjerumuskan.

Khatimah

Pesantren harus dikembalikan kepada tupoksi utamanya, sebagai lembaga pendidikan dan dakwah yang melahirkan para faqih fiddin, para da’i dan ulama. Lebih utama, bisa melahirkan para mujtahid sekaligus paramujahid. Jangan biarkan pesantren dialihkan dari tupoksi yang utama dengan aktivitas ekonomi dengan dalih membantu ekonomi negara.  Pemerintahlah yang seharusnya berbenah, mencampakkan sistem ekonomi kapitalisme dan beralih kepada sistem ekonomi Islam yang terintegrasi dalam naungan sistem Khilafah. Sistem yang diridai Allah SWT, akan mendatangkan keberkahan dunia akhirat. Bukan sistem kapitalisme yang rusak yang membuat Allah menghinakan kita.

Rasulullah saw. bersabda,” Jika kalian telah berdagang dengan ‘Inah (sistem riba’), mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk beternak), rela bercocok tanam dan meninggalkan jihad, pasti Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu hingga kalian kembali ke ajaran agama kalian.(HR Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Wallahu A’lam bishawab. [SM/Ln]