“Islam Demokrasi” dan “Demokrasi Islam”, Sama-sama Menyimpang dari Islam

Oleh: Wiwing Noeraini

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Menjelang tahun politik, selalu ada upaya untuk mendekatkan antara demokrasi dan Islam, seolah keduanya adalah hal yang bisa berdampingan. Sebagaimana baru-baru ini di republika[dot]id, ada sebuah artikel yang mengajak umat Islam untuk beralih dari “Islam demokrasi” menuju “demokrasi Islam”. Artikel yang menyadur tulisan Dawam Raharjo tersebut diawali dengan menjelaskan bahwa upaya demokratisasi di dunia Islam sudah berlangsung cukup lama.

Penganut Islam demokrasi berkeinginan menggunakan demokrasi untuk meraih pemerintahan Islam. Hal ini sebagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sedangkan yang dilakukan Ennahda di Tunisia adalah contoh dari demokrasi Islam. Sebelumnya, Ennahda juga penganut Islam demokrasi, tetapi berkembang menganut demokrasi Islam.

Perbedaan keduanya adalah pengusung Islam demokrasi berpendapat bahwa syura itu bukan demokrasi, sedangkan penganut demokrasi Islam menganggap syura adalah demokrasi.

Penganut demokrasi Islam meyakini bahwa kedaulatan Tuhan bisa dikompromikan dengan kedaulatan rakyat. Misalnya, dalam QS Asy-Syura [42]: 38, kedaulatan Tuhan dilaksanakan berkaitan dengan urusan ibadah seperti salat dan zakat, sedangkan kedaulatan rakyat diejawantahkan dalam bentuk musyawarah yang dilakukan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan. (Republika, 28/01/2023).

Demikianlah, pemikiran tentang “Islam demokrasi” dan “demokrasi Islam”, senantiasa menjadi bagian perjuangan berbagai kelompok dan gerakan kaum muslim hingga hari ini. Bagaimana menyikapi hal tersebut?

Islam dan Demokrasi, Bertentangan secara Diametral

Apabila kita cermati lebih mendalam, baik Islam demokrasi maupun demokrasi Islam, keduanya sama-sama mengompromikan Islam dan demokrasi. Padahal, demokrasi sangat bertentangan dengan Islam dari sisi sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, juga berbagai ide dan peraturan yang dibawanya. Oleh karena itu, kaum muslim diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi.

Demokrasi lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideologi kapitalisme. Demokrasi adalah produk akal manusia, tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu maupun agama apa pun. Sedangkan Islam jelas adalah agama yang berasal dari Allah Ta’ala.

Pertentangan mendasar demokrasi dan Islam adalah karena demokrasi berlandaskan ide kedaulatan rakyat bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya; ataupun menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya sebab rakyat adalah pemilik kedaulatan mutlak.

Islam justru sebaliknya, menolak ide kedaulatan rakyat. Islam mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak membuat hukum, sedangkan rakyat adalah pihak yang menjalankan hukum tersebut. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan demikian.

Di antaranya, Allah SWT berfirman,

ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS Al-An’am: 57).

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya).” (QS An-Nisa’ 59).

 “Tentang apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS Asy-Syura: 10).

Demokrasi juga bertentangan dengan Islam karena demokrasi mengakui dan menjamin kebebasan individu, sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan. Kebebasan individu ini tampak dalam empat macam kebebasan berikut ini, beragama, berpendapat, berkepemilikan, dan bertingkah laku.

Sebaliknya, Islam mengatur semua sikap dan perilaku manusia. Sekalipun Islam juga memberikan kebebasan kepada individu, tetapi semuanya harus dalam koridor syara, yakni dalam batasan aturan dan hukum Allah Ta’ala (lihat QS Al-Hasyr: 7, An-Nisa’: 65).

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mengada-adakan—dalam urusan (agama) kami ini—sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (HR Bukhari).

Semua dalil tersebut menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara dan terikat dengannya adalah wajib.

Dengan demikian, jelaslah bahwa demokrasi dan Islam bertentangan secara diametral, tidak mungkin bisa dipersatukan. Menyatukan keduanya sama saja berislam secara setengah-setengah, setengah Islam dan setengah demokrasi. Tentu ini melanggar perintah Allah untuk berislam secara kaffah/ totalitas (lihat QS Al-Baqarah: 208).

“Islam Demokrasi”, Jelas Keliru

Menjadikan demokrasi sebagai alat untuk meraih kekuasaan Islam—sebagaimana dilakukan oleh para penganut Islam demokrasi—adalah jalan keliru. Pasalnya, beramal dengan sesuatu yang kufur (yakni demokrasi), sekecil apa pun, berarti telah beramal dengan selain Islam. Allah tidak akan menerima amal tersebut, sebaik apa pun tujuannya.

Allah Swt. berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran 85).

Terlebih lagi, faktanya, demokrasi tidak bisa dijadikan jalan untuk meraih kekuasaan Islam, bahkan kaum muslim menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dari hal yang menimpa beberapa gerakan dakwah Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina, dan FIS di Aljazair.

Di Mesir, melalui jalan demokrasi, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres 2012. Namun, setahun kemudian, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah as-Sisi menteri pertahanan. Para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.

Di Palestina, pada 2006, Hamas memenangkan pemilu legislatif. Namun ternyata, kursi kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan koalisi di Palestina yang berbagi kursi menteri antara Hamas dan Fatah. Sejak itu, konflik antara Hamas dan Fatah—yang telah menelan korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak—tidak pernah berhenti.

Di Aljazair. Melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991, FIS dinyatakan menang telak. Namun, Mohammed Boudiaf, mewakili militer yang loyal pada Barat, segera menunjukkan kebohongan demokrasi. Mereka menggulingkan FIS, ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bahkan sampai dibunuh. Pemimpin FIS Abassi Madani dan Ali Belhadj juga dipenjarakan.

Demikianlah, demokrasi memang bisa mengantarkan seseorang atau sebuah gerakan pada tampuk kekuasaan. Namun, Barat, dalam hal ini Amerika dan sekutunya, tidak akan membiarkan Islam sampai pada kekuasaan melalui jalan demokrasi.

Jelaslah, Islam demokrasi tidak mampu membawa kemaslahatan bagi umat, bahkan justru membuat umat makin terjerumus ke dalam dekapan sistem sekuler kapitalisme.

Demokrasi Islam, Sekularisasi Ajaran Islam

Penganut demokrasi Islam berusaha mengompromikan Islam dan demokrasi dengan cara mendampingkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Kedaulatan Tuhan berlaku hanya pada hal-hal tertentu, sedangkan dalam hal lain, kedaulatan rakyatlah yang berlaku.

Oleh sebab itu, demokrasi Islam hakikatnya adalah sekularisasi Islam, yakni memisahkan ajaran Islam kafah dari kehidupan umat Islam. Ketika demokrasi Islam ini diadopsi oleh sebuah pemerintahan, kaum muslim hanya boleh berhukum pada sebagian hukum Islam dan terlarang untuk berhukum dengan sebagian hukum Islam lainnya. Inilah fakta kaum muslim di semua negeri muslim hari ini, termasuk di Indonesia.

Sementara itu, agar kaum muslim mau menerima demokrasi Islam, para pengusung ide ini menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai hujah. Beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang perintah bermusyawarah (syura) sering mereka jadikan sebagai dalil bahwa Islam sama dengan demokrasi karena sama-sama mengajarkan konsep musyawarah. Ini berarti Islam mengakui adanya kedaulatan rakyat yang merupakan ajaran inti dari demokrasi. Padahal, musyawarah atau syura yang diajarkan Islam, sangat jauh berbeda dengan musyawarah dalam pandangan demokrasi.

Dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 1, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa Islam membedakan antara syura (pengambilan pendapat) dan penyampaian pendapat. Penyampaian pendapat bisa dilakukan oleh muslim maupun nonmuslim. Akan tetapi, syura atau pengambilan pendapat tidak boleh dilakukan selain atas kaum muslim. Ini karena Allah SWT menyeru kepada Rasul hingga berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran [3]: 159).

Kalimat “wa syaawir-hum fil-amr (dan bermusyawarahlah dengan mereka)”, kata “hum (mereka)” yang dimaksud adalah kaum muslim. Ini karena ayat tersebut seluruhnya adalah perintah Allah kepada Rasul-Nya tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap kaum muslim, yakni berlaku lemah lembut dan memaafkan kaum muslim, memohonkan ampun bagi kaum muslim, dan juga bermusyawarah dengan kaum muslim. Jadi, ayat ini seluruhnya berbicara tentang kaum muslim. Jadi, jelaslah bahwa syura dilakukan hanya atas kaum muslim.

Syura di kalangan kaum muslim merupakan perkara masyhur dan telah diketahui. Syura juga dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya dari pada Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya.” (Sunan Al-Baihaqi).

Hadis ini jelas menyebutkan bahwa Rasulullah saw. banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya yang berarti dari kalangan muslim, bukan nonmuslim. Namun, hadis ini sering dipotong oleh para pengusung demokrasi hanya sampai kata “Rasulullah saw.” sehingga seolah-olah mengandung makna bahwa Rasulullah saw bermusyawarah dengan siapa pun, baik muslim maupun nonmuslim, padahal tidak demikian.

Dengan demikian, jelas pula bahwa di dalam Islam, syura dilakukan hanya terhadap kaum muslim. Sedangkan dalam demokrasi, baik demokrasi liberal ala Barat maupun demokrasi Islam yang banyak diambil dan diterapkan oleh negeri-negeri muslim saat ini, syura dilakukan ke semua orang, baik muslim maupun nonmuslim.

Di samping itu, Islam juga menetapkan sejumlah batasan dalam bermusyawarah yang sangat berbeda dengan demokrasi. Oleh karenanya, mengompromikan Islam dan demokrasi sama saja memutilasi Islam, menghilangkan sebagian besar pemikiran, ajaran, maupun hukumnya, serta menyisakan hanya sedikit hal yang masih sesuai Islam. Tentu ini adalah tindakan yang haram, tidak boleh kaum muslim melakukannya.

Khatimah

Sangat jelas bahwa Islam demokrasi maupun demokrasi Islam sama sama menyimpang dari Islam. Tidak mungkin mempersatukan demokrasi dengan Islam. Sekalipun ada titik-titik yang sama antara Islam dan demokrasi, tetapi dengan landasan yang berbeda, paradigmanya tentu berbeda.

Tidak mungkin dipaksakan untuk mempersatukan keduanya, apalagi mencari-cari “dalil demokrasi” dalam Islam yang realitasnya semata demi legitimasi paksa ide yang sebenarnya tidak ada dalilnya, melainkan hanya untuk bantalan politik praktis yang sedang berlangsung, melanggengkan kekuasaan, serta menggiring suara umat Islam.

Sudah saatnya umat kembali pada politik Islam dengan menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan institusi Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]