Kontrol Tempat Ibadah: Narasi Gegabah Membungkam Dakwah

  • Opini

Oleh: Atik Hermawati

Suaramubalighah.com, Opini – Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI pada Senin (4/9), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel mengusulkan kepada pemerintah untuk mengontrol semua tempat ibadah agar tidak menjadi sarang radikalisme. Usulan pengontrolan tempat ibadah tersebut merespons pernyataan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Safaruddin, yang menyampaikan bahwa ada masjid di wilayah Kalimantan Timur yang kerap digunakan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. 

Rycko berpendapat bahwa masjid atau tempat ibadah harus sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah seperti aturan yang telah berlaku di Malaysia, Singapura, beberapa negara di Timur Tengah, hingga Afrika. BNPT sudah melakukan studi banding di beberapa negara, seperti Oman, Qatar, Arab Saudi, dan lain-lain di mana negara-negara tersebut mengawasi semua khatib yang memberikan tausiah. Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah tidak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia, maka pengurus rumah ibadah dan tokoh agama, serta masyarakat setempat bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran apa pun yang berpotensi radikal. (detik.news, 06/09/2023).

Apakah benar tempat ibadah, khususnya masjid, menjadi sarang radikalisme? Lalu usulan pengontrolan tempat ibadah menjadi maslahah atau masalah bagi umat?

Narasi Gegabah dan Represif Membungkam Dakwah

Usulan ini tentu menuai kritikan dan penolakan dari berbagai pihak termasuk dari kalangan nonmuslim. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anwar Abbas sangat menyesalkan hal itu dan menilai sebagai langkah mundur, serta mengarah kepada corak kepemimpinan yang tiranik dan despotisme, yang lebih mengedepankan pendekatan security approach dan mengabaikan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat dialogis, objektif, dan rasional. Menurutnya negara seharusnya menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Selanjutnya Sekjen Jamaah Yasinan Nusantara (Jayanusa) Nawawi Syahroni, mengatakan bahwa usulan tersebut sepintas baik untuk menekan paham radikalisme, intoleran, dan terorisme. Namun jelang tahun politik, hal itu dinilai mengandung kepentingan politik yang justru tidak baik untuk pendewasaan umat. 

Berbagai ormas dan tokoh masyarakat pun turut menolak dan menyayangkan usulan tersebut. Salah satunya Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Ustaz Dr. Jeje Zaenudin yang mengatakan lebih baik pemerintah mengontrol tempat/ aktivitas yang mengarah kepada kemaksiatan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai akhlak bangsa daripada mengontrol rumah ibadah. Menurutnya hal ini yang akan berakibat jangka panjang kepada kualitas moral generasi milenial sebagai pengganti dan penerus estafet kepemimpinan bangsa.

Kecurigaan terhadap tempat ibadah, lebih khususnya terhadap masjid sebagai sarang radikalisme dan terorisme, tentu merupakan sangkaan buruk yang tidak berdasar. Hal ini berpotensi membuat gaduh di masyarakat dan saling mencurigai sesama muslim. Allah SWT telah melarang berprasangka buruk dan itu merupakan dosa. Firman Allah SWT,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49]: 12)

Narasi itu pun menggiring bahwa masjid dan aktivitas dakwah di dalamnya ialah suatu keburukan. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai ekspresi radikalisme, padahal itu adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dan menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik. Allah SWT berfirman,

كُنتُمْ خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوْفِ وَتَنهَوْنَ عَنِ ٱلمُنْكَرِ وَتُؤمِنُوْنَ بِٱللَّهِ

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110)

Aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) ialah tanda peduli umat muslim agar tetap pada aturan Sang Pencipta Alam. Dan muhasabah lilhukkam (mengoreksi penguasa) atas kebijakannya yang melanggar syara‘ ialah amar makruf nahi mungkar yang terbesar. Nabi saw. menyebut hal ini sebagai jihad yang paling utama. Beliau bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Dailami).

Beliau saw. pun menyebutkan kedudukannya yang mulia di akhirat. Beliau bersabda,

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabarani)

Justru menjadi hal yang sangat berbahaya apabila aktivitas amar makruf nahi mungkar tersebut tidak dilaksanakan, terlebih lagi dalam mengoreksi kebijakan penguasa. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa akan menyebabkan terhalangnya doa dan munculnya pemimpin yang jahat.

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ ثُمَّ لَيَدْعُوَنَّ خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ

“Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan.” (HR Al-Bazzar)

Dengan begitu pengontrolan tempat ibadah/ masjid sejatinya ialah untuk membungkam dakwah secara refresif. Ini pun menunjukkan sikap pemerintah yang antikritik. Menghalangi amar makruf nahi mungkar ialah suatu kemungkaran. Hal ini tentu sarat dimanfaatkan untuk kepentingan para pemangku kekuasaan yang secara jelas kebijakannya menzalimi dan merampas hak-hak rakyat.

Hal ini pun menyempitkan fungsi masjid untuk pembinaan umat akan syariat Islam secara kaffah. Masjid hanya dipandang untuk tempat salat dan zikir, serta dakwah yang menyangkut ibadah ritual saja. Dengan begitu syariat Islam dipilih-pilih agar tidak menggangu kepentingan pemangku kebijakan. Padahal hal itu sangat berpengaruh pada kehidupan umat atau masyarakat.

Sehingga usulan tersebut seolah-olah menjadikan umat Islam/ masyarakat itu sebagai lawan penguasa, bukan sebagai objek yang harus diurus kebutuhan hidupnya sesuai aturan Sang Pencipta. Pengontrolan masjid menjadikan penguasa memata-matai umat Islam/ masyarakatnya sendiri. Padahal telah jelas keharaman memata-matai, sesuai sabda Nabi saw.,

«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا»

“Jauhilah oleh kalian prasangka karena sungguh prasangka itu ujaran yang paling dusta. Jangan pula kalian melakukan tahassus, tajassus (mematai-matai), saling hasad, saling membelakangi dan saling membenci.” (HR Al-Bukhari).

Masjid: Pusat Pembinaan Umat

Usulan pengontrolan tempat ibadah (lebih khususnya masjid) tersebut bukanlah kali pertama. Kapitalisme sekularisme saat ini telah meniscayakan hal tersebut. Syariat Islam dijauhkan dari kehidupan umat, Islam dipandang sebagai ritual saja. Syariat Islam mengenai politik, sosial, ekonomi, dan lainnya dibungkam agar kebijakan penguasa yang memihak para kapital (pemilik modal) berjalan lancar walaupun menzalimi masyarakat.  Dalam sistem sekuler ini, masjid ditempatkan sebagai sumber masalah apabila membangkitkan pemikiran umat untuk taat syariat dan kritis terhadap berbagai kebijakan yang ada.

Padahal masjid itu seharusnya dianggap sebagai tempat pembinaan umat agar menjadi insan berkualitas yang taat, peka dan muhasabah terhadap permasalahan yang ada, demi kemajuan dan luhurnya peradaban negara. Maraknya kriminalitas, korupsi para pejabat, dan kejahatan lainnya seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Bukan malah mencurigai orang-orang yang melakukan nasihat dan perbaikan.

Tidak dimungkiri, masjid begitu penting dalam Islam. Masjid Quba menjadi sejarah yang begitu terpatri sebagai masjid yang pertama dibangun Baginda Nabi saw.. Pun Masjid Nabawi kala itu yang dibangun untuk membentuk masyarakat Islam di Madinah. Masjid dengan segala aktivitas di dalamnya menyatu dengan kehidupan umat muslim, bukan hanya sebagai tempat salat.

Allah SWT berfirman,

فِيْ بُيُوْتٍ اَذِنَ اللّٰهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهٗۙ يُسَبِّحُ لَهٗ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِۙ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,” (QS An-Nur [24]: 36)

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءِ الزَّكٰوةِۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُۙ

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS An-Nur [24]: 37)

لِيَجْزِيَهُمُ اللّٰهُ اَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“(Mereka mengerjakan yang demikian itu) agar Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS An-Nur [24]: 38).

Rasulullah saw. telah mencontohkan masjid sebagai pusat pembinaan umat, bukan hanya tempat melaksanakan salat. Masjid adalah tempat dakwah dan madrasah untuk memahamkan syariat Islam secara kaffah, bukan sebagian saja. Pun  Beliau saw. melakukan berbagai pertemuan dengan para sahabatnya untuk bermusyawarah tentang permasalahan umat di masjid. Selanjutnya masjid sebagai tempat kegiatan sosial, perlindungan, dan tempat singgah yang waktu itu dikenal dengan nama “ashabush shuffah”. Latihan dan strategi peperangan pun tak terelakkan dilakukan di lingkungan masjid pada saat zaman Nabi saw., sebagai bentuk kesungguhan untuk meninggikan Islam dan institusinya yakni Daulah Islam/ Khilafah Islamiyah, saat beliau wafat diteruskan oleh para sahabatnya yang mulia dan para khalifah setelahnya.

Dengan demikian, upaya pengontrolan masjid ialah untuk membungkam dakwah. Membiarkan kemungkaran yang terjadi, khususnya kebijakan yang menzalimi rakyat, ialah dosa besar. Negeri ini akan semakin terjajah dan masyarakat pun akan semakin susah. Sehingga penting sekali memakmurkan masjid sesuai fungsinya, sesuai tuntunan Rasulullah saw. yakni menegakkan amar makruf nahi mungkar.

Para mubalighah harus tetap teguh menyuarakan kebenaran, memahamkan Islam secara kaffah kepada umat. Mencerdaskan pemikiran umat agar tidak terlena dengan berbagai kerusakan yang terjadi. Memotivasi umat agar berjuang bersama demi tegaknya syariat Islam secara kaffah karena itu adalah perintah Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]