Mewaspadai Kapitalisasi Tabarruj

  • Opini

Oleh: Yulita Andriani

SuaraMubalighah.com, Opini – Makna kebahagiaan yang ditanamkan oleh sistem sekulerisme kapitalisme yakni kebahagiaan yang bersifat jasadiyah (jasmani) dan material telah mengubah gaya hidup umat Islam. Kepribadian seorang muslim dinilai dari materi yang dimilikinya dan penampilan luarnya seperti wajah yang terawat, ber-makeup , wangi dan berpakaian bagus.

Tidak heran, jika tren produk kecantikan  berkembang sangat pesat. Berbagai permintaan produk kecantikan, mulai dari merek skincare hingga kosmetik, macam-macam hijab hingga tutorialnya. Dan produk-produk ini selalu memenuhi pasar di industri kecantikan. Peredaran uang di dalam industri kecantikan pun luar biasa besar. Sebagai contoh, sebuah riset yang dilakukan Kompas menunjukkan bahwa total penjualan kosmetik bibir di Sh*p** selama Juni 2021 mencapai Rp25,22 miliar. Angka yang sangat besar.

Sebagai negara yang memiliki populasi perempuan lebih dari 150 juta jiwa, Indonesia tentu menjadi pasar besar bagi industri kosmetik global. Indonesia bahkan diprediksi akan menjadi pasar kosmetik terbesar ke-5 di dunia dalam 10—15 tahun mendatang. Walhasil, Indonesia menjadi rebutan para produsen kosmetik global. Aneka merek kosmetik impor pun membanjiri pasar Indonesia, bersaing dengan merek lokal. Berdasarkan data Kemenperin, nilai impor kosmetik mencapai 803,58 juta dolar AS atau sekitar Rp12 triliun pada 2019 dan trennya terus meningkat, sedangkan nilai ekspor kosmetik 506,56 juta dolar AS.

Pesantren (Santriwati), Sasaran Pasar Kapitalis yang Menggiurkan

Para kapitalis pun melirik pesantren, majelis taklim bahkan juru dakwah, ustazah atau mubalighah,  menjadi pasar kosmetik nya. Berpenampilan tabbaruj pun menjangkiti kalangan muslimah di lingkungan ini. Seolah digiring untuk bergaya hidup sesuai standar sekuler kapitalisme. Potensi pesantren yang sangat besar sebagai target pasar jelas sangat menggiurkan bagi para kapitalis. Jumlah pesantren di Indonesia yang terdaftar di Kemenag sebanyak 36.600, dengan jumlah santri sebanyak 3,4 juta dan tenaga pengajar (kiai, ustaz) sebanyak 370 ribu. (Sumber: Situs Kemenag, 5-4-2022)

Menurut laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, ada 4,37 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021. Para santri itu tersebar di 30.494 pondok pesantren. Adapun berdasarkan gendernya, jumlah santri laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan. Tercatat, jumlah santri laki-laki sebanyak 2,3 juta orang, sedangkan santri perempuan 2,07 juta orang. Jelas ini adalah angka yang sangat besar sebagai target pasar.

Jutaan santri alumni pesantren yang masih memiliki hubungan dengan pesantren adalah pangsa pasar yang sangat besar. Oleh karenanya, seiring masifnya proyek moderasi beragama, pesantren mengalami pembajakan potensi santri. Bahkan, arah pendidikan pun telah bergeser ke ranah ekonomi.

Ada proyek yang menarik untuk kita kritisi, yakni adanya upaya penggiringan santriwati untuk terjun ke dunia bisnis. Misalnya, Paragon Goes to Pesantren yang diadakan di Pondok Buntet Pesantren Cirebon, pada Sabtu (8-4-2023). Mengusung tema “Perjalanan Ramadan, Bersama Lebih Bermakna”. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Paragon Corp. denganNU Circle. Paragon Corp. merupakan perusahaan asal Indonesia yang menaungi pionir merek kosmetik halal, seperti Wardah, Kahf, dan Biodef.

Tidak hanya di bidang kosmetik, santriwati juga diarahkan untuk menggeluti dunia fesyen.Fashion showpun kian marak di pesantren maupun sekolah aliah. Madrasah Aliah Ma’arif Nahdlatul Ulama (MA Ma’arif NU) Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menggelarAliyah Fashion Festival (AFF), Kamis (11-5-2023), agar santri bisa mendapatkan sertifikat ketrampilan di sekolah tersebut.

Sebelumnya, ada fashion show oleh para Ning-Gus pesantren, seperti Grand Final Pemilihan Duta Santri Pringsewu 2022Tupal Fashion Nightdi Jawa Timur dalam acara Kick Off 1 Abad NU di Tugu Pahlawan Surabaya, serta masih banyak lagi.

Serangan ideologi kapitalisme terhadap generasi muslim dengan 7 F (fashion, food, film, free thinking (pola pikir liberal)fun, free seks, dan friction(perpecahan), kian nyata di negeri ini. Sistem ini menarget agar generasi muda, termasuk santriwati bergaya hidup konsumtif dan liberal. Tentunya pihak yang paling diuntungkan adalah para kapitalis.

Rekontekstualisasi Makna Tabarruj: Jebakan Pasar Kapitalis

Seiring kebutuhan pasar kapitalis untuk mendapatkan konsumen yang besar, mereka harus didukung legitimasi atau pembenaran tujuan penggunaan kosmetik dikalangan para muslimah, dengan dalil syar’i. Padahal, Islam tidak saja melarang tabarruj, tetapi juga mewajibkan kaum perempuan menutup seluruh auratnya. Tidak hanya sampai di situ, Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. Maka, bagi kalangan kapitalis, butuh ada upaya rekontekstualisasi makna tabarruj dari dalil syariat, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, bahkan jika perlu menarik paksa rekontekstualisasi dengan alasan HAM atau ketidakadilan gender.

Dan salah satu bukti terjebaknya kalangan daiyah atau mubalighah dalam pusaran target kapitalis, adalah seperti yang dipaparkan dalam www.mubadalah.id, yang menanggapi ramainya meme larangan tabarruj dan dalilnya dengan QS Al-Ahzab ayat 33.

Upaya mubadalah sebagai representasi kaum feminis muslim berpendapat bahwa larangan tabarruj  berhias berlebihan dan berperilaku genit, sombong, riya’ dengan tujuan membuat orang lain terpesona dan mengarah pada perzinaan pun berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya, jika ber-makeup dengan tanpa adanya kesombongan, riya’, maupun membuat orang lain terpesona, maka tidaklah dikatakan ber-tabarruj.

Batasan ber-makeup tanpa adanya kesombongan, riya’ dan membuat orang lain terpesona, tentunya sangat subyektif dan tergantung masing-masing orang. Syariat Islam tentang tabbaruj akhirnya sesuai dengan selera masing-masing orang, tentunya ini pemahaman seperti ini sangat berbahaya bagi eksistensi syariat Islam itu sendiri. Terlebih di tengah arus liberalisasi dan sekularisasi yang sangat masif.

Larangan Tabbaruj, Bentuk Negara Menjaga Kehormatan Perempuan

Tabarruj berasal dari kata al-burj yang artinya bintang atau sesuatu yang terang dan tampak. Ibnul Jauzi dalam tafsirnya menyebutkan dua keterangan ulama tentang makna tabarruj,

Pertama, Abu Ubaidah,

التبرُّج: أن يُبْرِزن محاسنهن

Tabarruj: wanita menampakkan kecantikannya (di depan lelaki yang bukan mahram).”

Kedua, keterangan Az-Zajjaj,

التبرُّج: إِظهار الزِّينة وما يُستدعى به شهوةُ الرجل

Tabarruj: menampakkan bagian yang indah (aurat) dan segala yang mengundang syahwat lelaki (non mahram).”

[Zadul Masir fi Ilmi atTafsir, 3/461]

Berdasarkan keterangan di atas maka segala upaya wanita menampakkan kecantikannya di depan lelaki lain yang bukan mahram, termasuk bentuk tabarruj yang dilarang dalam ayat di atas. Karena itu, memakai pakaian ketat, pakaian transparan, atau menutup sebagian aurat, namun aurat lainnya masih terbuka, atau obral makeup ketika keluar rumah, semuanya termasuk bentuk tabarruj yang dilarang dalam syariat.

Islam tidak saja menjaga dan melindungi kehormatan wanita dengan mewajibkan menutup seluruh auratnya, tetapi juga melarangnya untuk berpakaian yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Meski, seluruh auratnya sudah tertutup. Itulah yang dinyatakan Allah,

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى [سورة الأحزاب: 33]

“Dan hendaknya perempuan-perempuan itu tidak melakukan tabarruj sebagaimana tabarruj yang dilakukan orang-orang Jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)

Tabarruj itu menampilkan dandanan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Di zaman jahiliah, kaum perempuan memakai gelang kaki, yang mana ketika mereka berjalan, terdengarlah suara gelang kakinya. Tujuannya untuk menarik kaum pria yang ada di sekitarnya, pun telinga dan matanya tertuju kepadanya. Begitulah, dahulu orang-orang jahiliah melakukan tabarruj.

Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. Jilbab adalah jubah. Allah berfirman,

ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ [سورة الأحزاب: 59]


“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, serta perempuan kaum Mukmin, agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.” (QS Al-Ahzab: 59)

Tidak hanya itu, Allah juga berfirman,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ [سورة النور: 31]


“Hendaknya kaum perempuan itu mengulurkan kerudungnya hingga ke dada-dada mereka.” (QS An-Nur: 31)

Jilbab (pakaian wanita) dan khimar (kerudung) ditetapkan sebagai pakaian wajib kaum perempuan ketika berada di luar rumah dan larangan tabarruj, Semuanya itu untuk menjaga dan melindungi kehormatan wanita. Begitulah Islam menempatkan wanita, sebagai kehormatan yang wajib dilindungi dan dijaga, bahkan dengan taruhan nyawa.

Lihatlah, bagaimana sikap Nabi saw., saat seorang wanita muslimah yang ujung jubahnya diikat orang Yahudi Bani Qainuqa’ di pasar Madinah, hingga saat wanita itu meninggalkan lapak Yahudi itu, dia pun terjatuh, jubahnya tersingkap, dan auratnya terlihat. Dampak dari peristiwa ini, Nabi saw. pun murka. Yahudi Bani Qainuqa’ pun akhirnya diperangi dan diusir dari Madinah.

Lihatlah, bagaimana Khalifah Al-Mu’tashim saat memenuhi jeritan wanita yang memanggil namanya, “Waa Mu’tashimah!” (Wahai Al-Mu’tashim, di manakah engkau!). Khalifah agung itu pun mengerahkan tentaranya untuk menuntut kehormatan seorang wanita nahas yang jilbabnya telah ditarik tentara Romawi. Maka, 30.000 tentara Romawi tewas dan lainnya menjadi sabaya (semacam tawanan). Benteng Amuriah yang angker itu pun berhasil ditaklukkan oleh khalifah yang agung itu (Ibn Katsir, Al-Bidayah, I/1601).

Begitulah Islam memandang kehormatan wanita. Apapun dipertaruhkan untuk menjaga dan melindunginya. Maka, ketika ada wanita yang mengumbar auratnya, dia tidak saja melawan perintah dan larangan Allah SWT, tetapi juga menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Siapa saja yang melecehkannya, tidak saja melecehkan kehormatan wanita, tetapi telah melecehkan Zat Sang Pentitah, Allah SWT.

Maka, berhijab bukan sekadar kewajiban, apalagi fesyen. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Begitulah cara Allah menjaga dan melindungi martabat dan kehormatan wanita. Wallahu ‘alam. [SM/Ln]