Oleh: Hj.Padliyati Siregar, S.T.
Suaramubalighah.com, Opini – Indostrategic baru saja merilis hasil survei yang mereka lakukan untuk periode 9-20 Juni 2023. Salah satu yang menjadi sorotan tingginya tingkat setuju publik soal narasi perubahan untuk Indonesia.
Direktur Eksekutif Indostrategic Khoirul Umam mengatakan 80,6 persen responden sudah pernah mendengar visi perubahan untuk 2024. Dari 1.400 responden, hanya 19,3 persen yang mengaku belum pernah mendengar.
Yang masih menjadi pertanyaan adalah ke arah mana perubahan yang diinginkan oleh masyarakat? Perubahan seperti apa sebenarnya yang dibutuhkan umat Islam?
Perubahan Sebuah Keniscayaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS Ar-Ra’d: 11)
Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah. Perubahan merupakan realitas kehidupan. Sejak peradaban manusia dimulai di permukaan bumi, tidak ada yang bersifat tetap. Semuanya berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Perubahan tidak hanya terjadi pada tataran individu, tetapi juga negara/ kekuasaan. Dulu dunia menyaksikan kebesaran Romawi dan Persia. Seiring waktu, kedua imperium tersebut lenyap. Dunia juga pernah dibuat kagum dengan kebesaran Khilafah Islamiyah yang berlangsung selama ribuan tahun. Dengan berbagai konspirasi yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, institusi milik kaum muslim tersebut pun runtuh pada tahun 1924 melalui tangan anak keturunan Yahudi, Mustafa Kamal. Dan hari ini dunia diatur oleh Amerika Serikat dengan segala arogansinya.
Suka atau tidak, kepemimpinan AS atas dunia ini pun pasti berakhir. Tidak ada yang abadi, kecuali Zat Yang Mahaabadi. Dia tidak pernah berubah. Bahkan Dialah yang mengubah segalanya.
Realitas kehidupan rusak yang saat ini dihadapi kaum muslim juga pasti akan berubah. Sejak kaum muslim kehilangan institusi warisan Nabi saw., yakni Khilafah, mereka hidup penuh penderitaan. Tiap saat terjadi pembantaian di berbagai negeri muslim. Kekayaan alam mereka dirampas. Hak-hak mereka dizalimi. Bahkan pelecehan serta penghinaan terhadap Islam jamak terjadi tanpa ada pembelaan yang berarti. Kehidupan mereka di bawah kungkungan ideologi kapitalisme-demokrasi merupakan potret kehidupan tanpa kebebasan menjalankan agamanya secara sempurna sesuai perintah Allah SWT.
Realitas ini tidak akan selamanya. Pasti akan berubah. Dari lembah kapitalisme menuju puncak kejayaan dengan Islam. Melihat situasi saat ini, perubahan tersebut menjadi sebuah kenicayaan karena berbagai potensi yang dimiliki kaum kaum muslimin.
Perubahan Hakiki Menuju Islam Kaffah
Menginginkan perubahan tapi masih menggunakan sistem kapitalisme demokrasi yang berasaskan sekularisme yang diemban AS dan negara kapitalis lainnya, niscaya tidak akan ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Yang ada hanyalah perubahan parsial yang tambal sulam bagi umat Islam dan melanggengkan penjajahan kapitalisme di dunia termasuk negeri muslim.
Perubahan hakiki bagi umat Islam adalah menata kehidupan individu, masyarakat, dan negara dengan syariat Islam, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntut kita untuk menerapkan Islam secara kaffah sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْن
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 208)
Untuk memahami bahwa harus ada perubahan hakiki kaum muslimin sejatinya membutuhkan tiga hal. Pertama, adanya pemahaman terhadap realitas masyarakat yang bobrok berikut akar masalahnya. Kedua, adanya pemahaman mengenai bentuk kehidupan (konstruksi) masyarakat yang ideal yang seharusnya diwujudkan. Ketiga, paham bagaimana road map/ peta jalan perubahan yang harus dilakukan.
Untuk yang pertama, siapa pun sudah bisa menangkapnya dengan jelas. Namun yang kedua dan ketiga, tampak belum mengkristal. Wajar jika arah perubahan yang digagas sering kali tak jelas arah dan cenderung asal berubah. Bahkan umat sering kali jadi korban pembodohan yang berujung kekecewaan.
Semestinya umat benar-benar memahami situasi buruk hari ini memang berakar dari kerusakan sistem. Yakni sistem demokrasi sekuler kapitalis neoliberal yang tegak di atas akidah rusak dan bertumpu pada akal manusia yang serba lemah dan aturan-aturannya melahirkan kekacauan.
Perubahan hakiki yang bisa membalik keadaan tentu tak cukup hanya dengan pergantian orang. Harus dengan mencampakkan sistem rusak ini dan menggantinya dengan sistem yang benar. Yakni sistem yang tegak di atas akidah sahih, dan darinya lahir aturan yang mampu memecahkan seluruh masalah kehidupan dengan pemecahan yang benar dan mendasar. Itulah sistem atau kepemimpinan Islam!
Oleh karenanya, menghadirkan sistem Islam harus menjadi visi perubahan yang diperjuangkan umat. Dan untuk itu dibutuhkan upaya serius dan terarah agar terwujud kesadaran umat akan realitas Islam sebagai sebuah ideologi.
Islam tidak hanya dipahami ritual, tetapi sebagai solusi seluruh problematik kehidupan. Islam yang tak hanya bicara urusan langit, tapi juga mengatur urusan-urusan kehidupan.
Jalan Perubahan yang Dicontohkan oleh Rasulullah
Semua fakta kegagalan perubahan tersebut harus menjadi bahan introspeksi yang sangat serius jika kita ingin melakukan perubahan ini secara serius pula. Bagi seorang muslim, pada sosok Baginda Rasulullah saw. kita bercermin untuk melakukan perubahan ini.
Beliau melakukan perubahan yang nyata di Kota Makkah dengan perubahan yang paling mendasar. Landasannya akidah Islam. Islam benar-benar dijadikan dasar oleh Baginda Rasul dalam visi dan misi perubahan yang beliau lakukan.
Selama kurang lebih 13 tahun, Rasulullah saw. menancapkan fondasi pemikiran dasar perubahan tersebut. Rasul saw. menghunjamkan akidah Islam sebagai dasar perubahan. Pemikiran yang paling dasar ini menggambarkan visi-misi hidup seorang muslim: dari mana ia berasal? Akan ke mana ia setelah terjadi kematian? Lalu apa yang harus dilakukan? Ini adalah pemikiran dasar (akidah Islam).
Islam adalah pranata masyarakat yang dibangun atas dasar akidah yang jelas. Akidah “Laa ilaaha illalLaah Muhammad Rasulullaah” menjadi asas yang bersifat pemikiran terhadap Islam sebagai ideologi kehidupan (fikratun kulliyatun yanbatsiqu anha nizham), yakni bahwa di balik alam semesta dan kehidupan ini ada Allah yang menciptakan yang ada dari ketiadaan. Artinya pula, di sana tidak ada Tuhan selain Allah.
Perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah perubahan yang bersifat inqilabiy (revolusioner). Artinya, bukan perubahan yang bersifat parsial dan tadarruj (bertahap).
Hal demikian karena kerusakan yang terjadi di Makkah kala itu realitasnya adalah kerusakan yang sistemis. Kebobrokan terjadi di berbagai sisi kehidupan yang saling kait. Islam memandang kondisi tersebut dengan zaman jahiliah (kebodohan).
Kerusakan masyarakat mulai dari akidah, kehidupan bermuamalah, bidang hukum, adat istiadat, dan sisi kehidupan bermasyarakat lainnya. Dalam konteks kekinian, kerusakan yang terjadi ini bersifat sistemis dan ideologis. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan pun sejatinya adalah perubahan yang bersifat sistemis dan ideologis.
Maka arah perubahan sudah seharusnya adalah perubahan hakiki, perubahan dari masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam. Bukan sekadar perubahan kepemimpinan atau rezim, melainkan perubahan yang berasal dari akar dan sistemis.
Arus perubahan inilah yang sejatinya harus terjadi pada dunia dan kaum muslim saat ini. Perubahan dari kondisi sistem kapitalisme liberal atau sosialisme komunis, menuju masyarakat Islam. Perubahan ini yang akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta, insyaAllah.
Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman. (Al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241). Rasulullah saw. telah mengabarkan berita gembira kemenangan umat Islam:
ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
“…Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud Al-Thayalisi dan Al-Bazzar).
Wallahu a’lam. [SM/Ah]