Rempang, Jejak Kesultanan Islam yang Dikorbankan

  • Opini

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, S.T.

Suaramubalighah.com, Opini – Melansir Berita Solo Raya, Pulau Rempang dengan luas kurang-lebih 16.583 km² adalah pulau di wilayah pemerintahan kota Batam, provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungkan oleh enam buah jembatan Barelang. Menjadi pusat perhatian dunia saat ini karena upaya penggusuran warga di Pulau Rempang tanah kelahirannya oleh Pemerintan yang akan dibangun Proyek Rempang Eco City di sana.

Tindakan zalim dan otoriter penguasa ini telah menyakitkan rakyat khususnya umat Islam. Pemerintah merampas tanah rakyat dengan sesuka hati, dan mereka menyerahkan kepada investor. Inilah kezaliman yang nyata. Rakyat Melayu di sana terusir dan dianggap tidak memiliki andil apa-apa, sementara pemilik investasi (investor) diberikan karpet merah. Sebenarnya siapa pemilik tanah Rempang? Untuk menjawab hal ini kita perlu tau asal-usul tanah Rempang.

Rempang, Bagian dari Kesultanan Islam

Pulau Rempang memiliki banyak sejarah. Sejarah pulau ini sangat berarti dan memiliki daya tarik tersendiri di hati sebagian besar orang. Jauh sebelum ada insiden penggusuran, Pulau Rempang sudah memiliki daya tarik tersendiri. Popularitas Pulau Rempang di mata mancanegara sudah jauh ada bahkan semenjak zaman Perang Dunia II.

Pulau Rempang memiliki tempat spesial di hati para serdadu Jepang. Tidak kurang dari 27.000 serdadu Jepang menjadikan Pulau Rempang sebagai tempat bernaung. Mereka menjadikan pulau ini sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari kejaran musuh. Banyak dari serdadu Jepang yang memiliki memori bersama Pulau Rempang. Memori Pulau Rempang dan orang-orang Jepang itu diabadikan dalam Tugu Minamisebo. Tugu ini lebih dikenal dengan sebutan Tugu Jepang yang dibangun tahun 1981 di Sembulang.

Tak hanya berhenti di situ, Pulau Rempang mempunyai 16 kampung tua yang menjadi pemukiman warga asli Pulau Rempang semenjak tahun 1834 lalu. Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Pulau Rempang-Galang. Berdasarkan catatan sejarahnya, Pulau Rempang dan Pulau Galang mulanya tak termasuk dalam otoritas Batam. Kedua pulau ini awalnya menjadi bagian dari Pemerintah Daerah Riau.

Penduduk asli Rempang Galang mempunyai akar dalam sejarah Kesultanan Riau Lingga. Riau adalah bagian dari kerajaan Bintan, Kesultanan Malaka yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan Johor Riau. Pada tahun 1811 Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di kesultanan wafat. Seperti kebanyakan kerajaan lainnya, maka terjadilah perselisihan dalam menentukan pewaris takhta.

Kemudian muncul pihak Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Ini memunculkan pertikaian, perebutan kekuasaan, dan memunculkan provokasi, serta mereka mengeruk keuntungan dari perselisihan tersebut. Jadi, keduanya ikut menentukan pewaris Kesultanan Johor. Akhirnya, keinginan dan niat mereka terjadi, yaitu terbelah, yakni Kesultanan Riau terbelah. Pihak Britania Raya (Inggris) mendukung putra tertua dari Sultan Mahmud Syah III yaitu Tengku Husein, sedangkan pihak Belanda mendukung adik tiri Tengku Husein yaitu Abdurahman.

Belanda masuk seolah-olah ingin membuat damai, tetapi hasilnya perpecahan. Justru sebenarnya Inggris maupun Belanda sama-sama tahu memang permainan mereka seperti itu. Kemudian dikuatkan persengketaan yang berhasil mereka lakukan, dan itu dipatenkan dengan Traktat London yang terjadi pada tahun 1824, jadi pada waktu itu solusi untuk masalah kesultanan ternyata sudah dibawa ke kancah Internasional. Dari Indonesia utusan Riau berangkat ke sana untuk membagi kesultanan Johor Riau menjadi dua kesultanan, dan inilah yang diinginkan Belanda dan Inggris.

Kesultanan pun terbelah menjadi dua kesultanan, yaitu Johor dan Riau Lingga. Johor berada dalam pengaruhnya Britania Raya (Inggris) sedangkan Riau dalam pengaruh Belanda. Abdurrahman ditetapkan sebagai sultan pertama dari Kesultanan Lingga dengan gelar Muazzam Syah.

Jadi eksistensi penduduk asli Rempang Galang di Riau Lingga tercatat sejak 1720 yaitu tepatnya pada masa kesultanan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Pada tahun 1782-1784 terjadi perang Riau pertama. Selama perang terjadi masyarakatnya bergabung sebagai prajurit di bawah komando langsung Raja Haji Fisabilillah. Kemudian perang Riau kedua pada tahun 1784-1787 mereka menjadi prajurit setia Sultan Mahmud. 

Meski komandonya ganti, tetapi mereka tetap berjuang hingga 1787. Ketika Sultan Mahmud pindah ke Lingga Rempang dan Bulan. Bulan menjadi basis pertahanan utama Kesultanan Riau Lingga. Jadi, sangat tidak benar jika dikatakan itu adalah tanah kosong tak bertuan. Penduduk Rempang-lah pemilik sah tanah Rempang.

Kepemilikan Lahan dalam Islam

Banyak persengketaan lahan di negeri ini, termasuk masalah Rempang, dikarenakan tata kelola lahan yang salah. Yakni menggunakan sistem agraria ala kapitalisme. Pemilik modal (kapitalis) berkuasa, menggusur lahan rakyat atas nama investasi.

Berbeda dengan syariat Islam. Syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan.

Islam juga membolehkan Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw. misalnya pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al-Harits Al-Mazani.

Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Beliau juga bersabda:

‌مَنْ ‌سَبَقَ إِلَى مَا ‌لَمْ ‌يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

“Siapa saja yang lebih dahulu sampai pada sebidang tanah, sedangkan belum ada seorang muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ath-Thabarani).

Dengan demikian, lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Nabi saw. bersabda:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ath-Thabarani).

Namun demikian, syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya, lahan itu bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra.. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan),” (Abu Yusuf, Al-Kharâj, 1/77, Maktabah Syamilah).

Imam Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwâl meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin Al-Harits Al-Mazani. Sebelumnya, lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah saw.. Namun, Khalifah Umar ra. melihat lahan tersebut ditelantarkan.

Kemudian beliau memerintahkan agar Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 328, Maktabah Syamilah).

Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Malah terbukti, ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka terjadinya perampasan lahan.

Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan terancam status kepemilikannya. Bahkan karena tidak ada sertifikat, negara bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga yang sudah turun-temurun mereka kelola dan mereka huni.

Perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah Swt. telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain. Allah SWT, berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (TQS Al-Baqarah [2]: 188).

Ayat di atas secara tegas mengancam siapa saja yang ingin menguasai harta orang lain, termasuk lahan orang lain, dengan cara menyuap penguasa. Suatu hal yang dipandang lumrah hari ini. Tidak jarang orang-orang kaya, termasuk pengusaha, menyuap pejabat agar dapat menguasai lahan sekalipun dengan cara merampas lahan tersebut dari orang lain.

Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa Allah SWT menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah menurunkan siksa-Nya, tidak ada yang dapat lolos dari azab tersebut. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُمْلِـي لِلظَّالِـمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَـمْ يُفْلِتْهُ

“Sungguh Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang zalim. Namun, jika Allah telah menyiksa orang zalim itu, Allah tidak akan melepaskan dirinya.” (HR Al-Bukhari).

Wahai kaum muslim, sengketa lahan dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan syariat Islam. Aturan hari ini akan terus mengancam pemilik lahan, terutama rakyat. Mereka kesulitan mendapatkan pengakuan atas kepemilikan lahan mereka. Sebaliknya, penguasanya justru lebih sering berpihak pada korporasi atas nama investasi.

Hari ini saja di Tanah Air jauh lebih banyak lahan dikuasai oleh pengusaha daripada oleh rakyat biasa. Walhi menyebutkan 94,8% lahan dikuasai oleh para pengusaha. Begitu sedikit yang tersisa untuk rakyat. Ini akibat tata kelola lahan yang rusak dan keberpihakan penguasa kepada pengusaha, bukan kepada rakyat. Inilah sumber kerusakan tersebut.

Hanya syariat Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya. Dengan penerapan syariat Islam, Allah SWT pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (TQS Al-A’raf [7]: 96).

Wallahu a’lam. [SM/Ah]