Politik dan Kepemimpinan Islam Berpihak pada Laki-Laki dan Perempuan

  • Opini

Oleh: Bunda Nurul Husna

SuaraMubalighah.com, Opini – Baru-baru ini, perempuan PKB mengumpulkan sejumlah aktivis perempuan untuk merumuskan kebijakan kesetaraan gender bagi kepemimpinan nasional. Tujuannya agar isu perempuan menjadi isu strategis kepemimpinan nasional. Wakil Ketum DPP PKB, Ida Fauziyah menyoroti rendahnya akses dan partisipasi politik perempuan di negeri ini. Sementara menurutnya banyak problem perempuan dan anak yang membutuhkan keterlibatan perempuan dalam penyelesaiannya, seperti masalah stunting dan kemiskinan perempuan serta anak perempuan.(news.republika.co.id, 18-9-2023)

Di sisi lain, Wakil Ketum MPR, Lestari Moerdijat (Ririe) mengaku pesimis terhadap keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen pada 2024 bakal terwujud. Ririe menilai demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memberikan penghormatan pada kemanusiaan dan kesetaraan. Sehingga berdemokrasi sesungguhnya merupakan salah satu kanal perwujudan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. Karena itu sehatnya demokrasi apabila perempuan benar-benar dilibatkan dalam kepemimpinan nasional. (news.republika.co.id, 18-9-2023)

Pembahasan tentang politik dan kepemimpinan perempuan dalam jabatan publik memang masih menjadi pro dan kontra. Apalagi mendekati tahun politik. Seruan tentang partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam politik terus digaungkan. Namun sayangnya, seruan itu masih saja berplatform feminisme dan kesetaraan gender. Hal ini bisa dimengerti, karena dunia memang sedang dalam cengkeraman kapitalisme sekuler demokrasi yang liberal. Sedangkan feminisme gender adalah ide yang lahir dari rahim sekularisme, bukan dari Islam. Maka wajar jika opini feminisme gender terus dibesarkan dan disupport atas nama program dunia internasional.  Hal ini tampak dalam isi Deklarasi Beijing Platform for Action (BPFA) 1995, sebuah kesepakatan negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) yang menetapkan 12 area kritis pemenuhan hak perempuan. Dan salah satu fokus area kritisnya adalah tentang perempuan dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan.

Dalam perspektif feminisme gender, berbagai problem sosial yang nyata terjadi di negeri ini, seperti stunting, kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kriminalitas, tingginya angka kematian ibu dan anak, kekerasan seksual dan sebagainya, adalah persoalan yang sangat dekat dengan perempuan dan anak. Feminisme gender beranggapan, penyelesaian problem itu semua membutuhkan peran perempuan dalam politik kekuasaan dan terlibatnya perempuan dalam proses pengambilan kebijakan (legislasi). Para pengusung ide feminisme gender mengklaim bahwa makin inklusif perempuan ke dalam parlemen atau keputusan politik tingkat tinggi, akan sangat bermanfaat bagi perempuan dan bisa mengentaskan perempuan dari segala persoalan. Benarkah demikian?

Mencerabut Fitrah Perempuan

Harus disadari bahwa penataan kehidupan masyarakat yang ada saat ini bercorak kapitalisme sekuler. Agama tidak punya peran dalam interaksi masyarakat. Standar halal atau haram tidak lagi dipakai, diganti dengan asas manfaat sesuai timbangan akal manusia. Wajar jika kehidupan masyarakatnya penuh dengan problem sosial, termasuk persoalan hidup kaum perempuan dan anak. Sementara kehidupan bernegaranya pun dikelola oleh para pemimpin yang tidak amanah, tidak takut pada Rabb-nya, dan mencampakkan syariat sebagai panduan sahih dalam bernegara.

Berpijak pada fakta masyarakat sekuler yang sakit, yang diwarnai oleh ketidakadilan dan diskriminasi kaum perempuan, gerakan feminisme gender menetapkan fokus gerakannya pada menjadikan perempuan berdaya, mandiri dan setara dengan laki-laki. Perempuan dipandang harus bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki, baik secara finansial maupun nonfinansial. Inilah solusi salah arah yang diambil oleh pengusung feminisme gender. Alih-alih menghentikan ketidakadilan dan penderitaan kaum perempuan yang terzalimi, solusi yang ditetapkan justru menambah masalah baru dan mencerabut fitrah perempuan sebagai ibu, pengelola rumah suaminya serta pencetak generasi unggul calon pemimpin bangsa dan peradaban dunia.

Lihatlah bagaimana perempuan didorong untuk keluar dari area domestik mereka dalam rumah, demi karier dan mengejar materi (uang). Asumsinya, perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang akan menjadikannya lebih diperhitungkan, tidak mudah didiskriminasi, dan dinilai lebih mulia. Meski faktanya perempuan dipaksa juga untuk bersaing dengan laki-laki di dunia kerja yang keras.

Tidak cukup itu, perempuan juga didorong untuk meraih posisi kepemimpinan politik dan kekuasaan. Kaum feminis gender berasumsi, jika perempuan yang memegang kekuasan penentu kebijakan, mereka akan mampu membela kepentingan perempuan, mengembalikan hak-haknya, serta menelurkan kebijakan yang berpihak pada perempuan, sehingga dapat mengeluarkan perempuan dari berbagai problem yang menimpanya. Namun faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Karena ketika perempuan harus berkarier, mereka dipaksa untuk meninggalkan anak-anaknya di rumah bersama pembantu, baby sitter, bahkan di tempat penitipan anak. Meski dalam beberapa kasus, anak diasuh oleh neneknya, tetap saja tidak akan mampu menggantikan peran ibu seutuhnya dalam mendidik anak-anaknya. Terlebih kondisi fisik sang nenek memang tidak didisain oleh Sang Pencipta untuk mengasuh dan mendidik cucunya yang masih kecil. Akibat dari kondisi ini, muncullah anak-anak “bermasalah” dan “lapar” pengasuhan. Akhirnya, para ibu dan perempuan lagi yang dipersalahkan. Malang nian, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Dengan kata lain, tuntutan perempuan untuk berkarier dan berpolitik praktis bahkan dalam kepemimpinan politik dan jabatan publik ala feminisme gender ini, justru menyimpan bahaya bagi perempuan itu sendiri, bagi keluarga dan masa depan generasi bangsa. Karena meniscayakan tidak maksimalnya perempuan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab utamanya sebagai ibu, manajer rumah tangga, pendidik anak-anaknya, dan pencetak generasi calon pemimpin peradaban. Apalagi jika ditambah dengan terbatasnya kemampuan perempuan dalam manajemen rumah tangga, menjadikan perempuan cenderung meninggalkan peran strategisnya itu. Ketahanan keluarga pun terancam dan berpotensi berantakan. Tentu ini tidak boleh terjadi. Apalagi di keluarga-keluarga muslim. Maka, seruan pemberdayaan perempuan ala feminisme gender itu tidak layak dijadikan rujukan dalam menyolusi masalah perempuan dan anak. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru memunculkan problem lemahnya generasi bangsa, rapuhnya ketahanan keluarga, dan membebani perempuan dengan beban ganda bahkan lebih.

Kapitalisme Biang Kerok Problem Masyarakat

Sesungguhnya, problem perempuan dan anak adalah bagian tak terpisahkan dari problem sosial masyarakat seluruhnya. Masalah ini harus dilihat secara holistik, tidak hanya bertumpu pada perempuan yang menurut klaim feminisme gender selalu menjadi obyek diskriminasi dan pihak yang dirugikan. Dalam teori feminisme gender, untuk menyelesaikan berbagai problem yang menimpa perempuan dan anak, maka perempuan harus masuk dalam sistem politik praktis, bahkan posisi penting penentu kebijakan dan legislasi. Hal ini menurut mereka, untuk melindungi perempuan melalui kebijakan dan peraturanyang ditetapkan. Benarkah demikian?

Jika kita jujur pada kondisi yang ada, sejatinya negeri ini pernah dipimpin oleh perempuan. Namun nyatanya di masa kepemimpinannya tersebut, kasus-kasus yang menimpa perempuan, seperti perkosaan, pelecehan seksual, KDRT, tingginya angka kematian ibu dan anak, stunting dan sebagainya tidak juga selesai. Lalu di era Ketua DPR RI yang dipimpin seorang perempuan pun sama kondisinya. Meski lembaga legislator tertinggi di negeri ini sudah di tangan seorang perempuan, namun faktanya kondisi perempuannya tidak sepi dari persoalan. Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, kemiskinan perempuan dan anak masih tinggi, dan sebagainya. Demikian pula yang terjadi di negara AS sebagai kampiunnya demokrasi sekuler kapitalistik. Meski Wakil Presidennya yang ke-49 saat ini seorang perempuan, nyatanya tidak berkorelasi positif dengan turunnya angka kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan.

Jadi, tawaran solusi feminisme gender yang mengklaim bahwa perempuan harus menjadi subyek dalam politik kekuasaan, posisi kepemimpinan nasional dan jabatan publik, serta terlibat langsung dalam proses legislasi, adalah salah total. Karena sejatinya bukan itu problemnya. Problem yang menimpa perempuan dan anak, adalah problem sistemik. Yaitu akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler demokrasi liberal, yang mencampakkan halal haram dalam interaksi masyarakat, dan menihilkan peran agama dalam mengelola negara. Penguasanya absen dari fungsinya sebagai raa’in dan junnah. Masyarakatnya hidup dalam kesenjangan sosial akibat distribusi kekayaan yang tidak merata, dan terjadinya salah kelola terhadap SDA yang berlimpah. Kekayaan alam strategis negeri ini justru dikuasai oleh swasta asing dan aseng, bahkan dilegalkan oleh peraturan yang ditetapkan oleh sistem demokrasi negeri ini atas nama investasi. Walhasil, rakyat jauh dari kondisi sejahtera, baik laki-laki dan perempuan. Artinya, yang mengalami problem sosial tersebut bukan terbatas pada perempuan saja, tapi laki-laki pun terdampak oleh berbagai kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler demokrasi liberal di negeri ini.

Islam Solusi Sempurna, Berpihak pada Laki-Laki dan Perempuan

Jika ingin menyudahi berbagai problem masyarakatnya, negeri ini harus segera mengakhiri penerapan sistem hidup kapitalisme sekuler liberal demokrasi yang menjadi biang kerok semua problem bangsanya. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Sudah sepantasnya negeri ini segera mencampakkan kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak, lalu kembali pada Islam kaffah. Sebagai sebuah ideologi yang sahih dan sempurna dari Allah SWT, Islam memiliki cara pandang khas tentang laki-laki dan perempuan serta seluruh problem hidup mereka di masyarakat.

Dalam Islam, laki-laki dan perempuan sebagai rakyat sebuah negara, wajib dilindungi dan disejahterakan. Dalam Islam, tidak ada konsep yang menyatakan bahwa perempuan akan sejahtera dan terlindungi hanya jika dipimpin oleh perempuan juga, seperti yang dikhayalkan oleh pegiat feminisme gender. Meskipun khalifah sebagai kepala negara dalam sistem Islam haruslah laki-laki, namun khalifah wajib terikat pada hukum syarak dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) di tengah-tengah rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Khalifah wajib melayani mereka dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi, hingga benar-benar sejahtera.

Walaupun perempuan haram menjadi pemimpin di pemerintahan, namun Islam membolehkan perempuan berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan sepanjang dilakukan sesuai batasan hukum syarak. Bahkan Islam mewajibkan perempuan terlibat dalam aktivitas politik, berupa amal dakwah Islam ideologis dalam rangka meninggikan Islam, ikut memikirkan pengaturan urusan rakyat, dan melangsungkan kembali kehidupan masyarakat Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Islam juga membolehkan perempuan untuk memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam), dan memberikan masukan terhadap kebijakan penguasa terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum perempuan.

Jadi, dalam Khilafah, perempuan tidak sekedar diambil suaranya lalu dibajak untuk kepentingan penjajah dan kaki tangannya. Perempuan juga tidak dieksploitasi problemnya demi memuluskan target politik pragmatisnya para politisi petualang demokrasi. Karena dalam Khilafah, meskipun kepala negara dan pemimpin politik tertingginya adalah laki-laki,  suara kaum perempuan benar-benar didengar, dipenuhi hak-haknya, dijamin kesejahteraannya, dilindungi kehormatannya, dimuliakan dan dibela, serta disupport oleh negara dalam menyempurnakan peran strategisnya sebagai ibu, pengelola rumah suaminya, serta pencetak generasi calon pemimpin bangsa dan pembangun peradaban. Artinya, Khilafah akan menjamin kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil, sebagai rakyat, tanpa pembedaan dan diskriminasi, sesuai tuntunan syariat.

Dengan demikian, untuk mengatasi berbagai persoalan masyarakat termasuk masalah perempuan dan anak, yang dibutuhkan adalah kemauan kuat dan kemampuan pemimpinnya secara politik untuk segera menyelesaikan problem hidup rakyatnya itu dengan benar sesuai tuntunan syariat Islam kaffah. Bukan tentang ada atau tidaknya perempuan di posisi kepemimpinan dan legislasi. Dan pemimpin yang mau serta mampu melakukan itu hanya ada dalam sistem kepemimpinan Islam. Oleh karena itu butuh adanya perjuangan dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]